Label

Minggu, 29 Mei 2011

MAHASISWAKU SAYANG, MAHASISWAKU MALANG

Apa yang menjadi tugas utama seorang mahasiswa? Pertanyaan itu dilontarkan oleh seorang kakek tua asal kampung dengan pakaian lusuh, entahlah dia orang yang punya rumah tetap, atau hanya seorang gelandangan yang tak pernah dipedulikan oleh siap
Dengan lagak angkuh sok keturunan aristrokat, gaya petentang petenteng menaikan kerah baju dengan tidak sopan, berdehem-dehem sebentar seperti seorang proklamator hendak memulai orasi, lagaknya saja seperti orator ulung. Baju tak dimasukkan, ada yang sobek sana-sini entah tersangkut dimana. Celana jeans sobek di bagian dengkulnya yang menghitam, kasihan sekali tak punya uang untuk beli yang baru mungkin. Rambutnya kusut, tak keramas berapa tahun entahlah, seperti orang perempuan saja sebahu, lebih baik tersisir rapi, kalau model satu ini awut-awutan.
“Tentu saja bela rakyat seperti aki ini” jawabnya sok mantap, dan meyakinkan, kakek tadi hanya melengos, menatap tak percaya, kemudian sedikit menyindir, beliau bertanya apakah anak muda di depannya itu betul-betul mahasiswa atau bukan. Lha wong punya sebutan maha yang artinya besar begini kok, nggak kaya orang berpendidikan saja. Menghisap rokok sembarangan klepas klepus sesekali terbatuk.
“Kamu ini mahasiswa bukan?”
“Ya mahasiswa lah ki, ini bukti ktp saya di kampus”
“Lha terus kamu bilang membela aki ini apa? Kapan kamu pernah bela aki, kapan?” sampai terbatuk-batuk aki memprotes. Tubuhnya ikut terguncang-guncang. Dalam hatinya menggerutu kepada pemuda di depannya itu. Dia anggap kalau anak sekarang itu sama saja dengan para petinggi negara ini yang hanya bisa ngomong tanpa menyelesaikan masalah.
“Aduh, aki ini bagaimana sih, yang terus-terusan mengawasi pemerintah itu siapa, ki? Ya kita-kita ini?” tiba-tiba dari arah seberang jalan, seorang pemuda lainnya memanggil pemuda di depan aki sambil mengibar-kibarkan spanduk bekas penutup warung mungkin. Anak itu kembali lagi bicara.
“Kalau aki mau bukti, ni lihat saja” katanya sambil berlari.
Aki mencak-mencak juga, sudah tua begini kok diajak ngomongin politik, setengah mengusir dia menyuruh anak itu pergi, dongkol juga dia bahkan sempat menyumpah-nyumpah segala, bukti gudhulmu itu, bisanya cuman mengawasi thok, memang situ mandor apa? Lha mbok ya kerja yang lebih intelek sedikit, daripada hanya sebagai pengawas.
Kakek terus menatap ke arah jalanan itu, ratusan anak muda ter blok menjadi dua, ada yang pro dengan keputusan pemerintah, namun ada juga yang kontra. Suara mereka berbaur bercampur jadi satu tenggelam bersama tuntutan mereka yang entah darimana sumbernya. Mereka membela orang yang entah salah atau tidak, toh kalau pun orang yang di bela tidak bersalah apa untungnya bagi mereka? Apakah para petinggi itu juga akan peduli dengan rakyat seperti kita-kita ini? Dan kenapa juga ada yang menghujat toh belum tentu salah, memangnya para mahasiswa itu tahu sebab musababnya hanya terpancing koar-koar provokator yang tidak beranggung jawab.
“Orang bisanya kok ikut-ikutan, mau-maunya mereka turun ke jalanan yang panas. Memangnya ada yang bayar? Kalau pun di bayar paling dibayar dengan nasi kucing seharga seribu lima ratus rupiah. Orang kok bisanya ngritik, kaya dia itu bisa saja menggantikan tugas orang yang dikritik, lha mbok yo’o jadi orang itu intropeksi sebelum menginterupsi orang lain...!” cerocosnya pada seorang pemulung yang tengah istirahat. Pemulung tadi hanya mengangguk, takut dianggap durhaka kalau menyangkal. Lagian takut juga dia kalau sampai dikutuk batu seperti Malin Kundang di Sumatera Barat.
Belum lagi sempat melanjutkan omelan, dari arah seberang sana terdengar teriakan provokator-provokator kacangan yang saling ejek. Ah itu sudah biasa di Indonesia, gampang sekali terpecah belah. Ada yang jadi kompor bodhol saja, semuanya bisa meledak, lebih hebat dari ledakan tabung elpij ukuran 3 kilogram.
Kakek tua itu hanya mengelus dada. Belum sampai elusan dadanya sampai ke bawah, para mahasiswa yang entahlah kerasukan setan dari mana asalnya itu pontang-panting lari ke sana kemari saling lempar batu sembunyi tangan, saling pukul. Astaghfirullah, sekali lagi sang kakek mengurut dadanya.
Belum hilang keterkejutan kakek tadi, tiba-tiba di jalan, depan dia duduk-duduk sekarang ini mahasiswa-mahasiswa tersebut membakar macam-macam poster, terlibat bentrok dengan aparat, merusak fasilitas publik disekitarnya ketika menolak dibubarkan, beberapa mobil di bakar, kantor pengadilan dilempari menggunakan batu-batu, sebagian lagi menggunakan bom molotov untuk lebih menjadikan suasana. Wah...kakek ini hanya dapat memaki-maki dari tempat dia beristirahat, kemudian teriaknya lantang.
“Woe anak muda edan, tidak eling lagi. Itu katamu yang disebut membela kami? Cih...” dia mulai meludah umpatan-umpatannya sudah tak terkontrol lagi, dia sudah kepalang jengkel dengan para mahasiswa yang seumuran dengan cucunya tersebut. Pemulung yang tadi di dekatnya hanya mampu geleng-geleng kepala “Kalian benar-benar tidak menghargai pendahulu kalian, Bapak seperti ini, itu veteran, jangan main-main”
Lantas saja dia marah. Bagaimana dia tak marah, melihat dengan mata kepala sendiri kalau generasi penerusnya adalah generasi ondel-ondel yang tak punya kemampuan babar pisan. Bagaimana dia tak jengkel, mendengar langsung umpatan-umpatan mereka yang justru memperlihatkan kebodohan dan ketololan mereka? Pakai acara anarkis, merusak fasilitas umum. Apa itu tugas utama seorang mahasiswa? Kemana saja pelajaran yang mereka peroleh dari bangku kuliah, sama saja jadi bedebah.
Benar-benar merasa ngenes, dulu dia dan kawan-kawan berjuang mati-matian hanya untuk mempertahankan kemerdekaan, mempertaruhkan segalanya, harta, nyawa. Tapi apa yang di dapat sekarang, hanya kotoran yang di lempar ke muka sendiri. Anak turunnya justru hanya mampu menjajah bangsa mereka sendiri, dengan dalih demokrasi, revolusi. Apa itu? Bukan begitu demokrasi dan revolusi, itu cermin orang yang tak pernah makan bangku sekolah.
Keringatnya mengucur deras, dari tadi mengacung-acungkan tongkat yang menyangga bentuk tubuh tambunnya. Dia berpikir, tentu akan bangga sekali kalau sampai mampu melihat generasi muda Indonesia membangun negara ini menjadi negara yang lebih maju dan bermartabat, membuat Indonesia setidaknya dikagumi negara-negara sekitar. Dan betapa bangganya juga kalau generasi muda ini mampu berpikir menggunakan otak dan mempertimbangkannya menggunakan hati, daripada mereka-mereka yang berpikir menggunakan dengkul dan mempertimbangkan menggunakan otot. Apaan itu, ini bukan jaman perang bung.
Kalau memang mereka anggap negara ini sudah bobrok, ya pikir bagaimana solusinya agar negara ini kembali menjadi negara yang lurus, bukan malah menambah bobrok dan menyalahkan pemerintah. Apa-apa kok menyalahkan pemerintah, padahal kadang warganya sendiri yang susah diatur. Oh cucuku tersayang, cucu-cucuku yang malang begitu batinnya dalam hati
Oleh: Okta Adetya  Kadiv.Litbang dan Jaringan LPPM Kreativa

Selasa, 03 Mei 2011

RANAH 3 WARNA: ANTARA RELIGIUSITAS DAN REALITAS

JudulRanah 3 Warna
SeriNegeri 5 Menara
ISBN / EAN9789792263251 / 9789792263251
AuthorAhmad Fuadi
PublisherGramedia Pustaka Utama (GPU)
Publish23 Januari 2011
Pages488
Weight175 gram
Dimension (mm)130 x 200
TagFiksi,
Satu lagi novel inspiratif, Ranah 3 Warna, bercerita mengenai perjuangan seseorang untuk meraih mimpinya. Alif, tokoh utama dalam novel ini, yang baru saja menyelesaikan studinya di Pondok Madani (PM) kembali ke kampung halamannya, Maninjau. Alif masih dengan mimpinya untuk kuliah di ITB dan menjadi seperti Habibie. Ia juga bertahan dengan mimpinya untuk bisa pergi ke Amerika.


Sayangnya Alif hanya lulusan pondok, tidak memiliki ijazah, sehingga harus mengikuti ujian persamaan SMA. Randai, sahabat kecil Alif, yang sudah lebih dahulu diterima di ITB menjadi motivasi terbesarnya. Ia belajar keras seperti orang kesetanan, tapi ia memang lebih menonjol di bidang bahasa daripada ilmu pasti cukup banyak mengalami kesulitan saat menghadapi soal ilmu pasti.

Menghindari kelemahannya, ilmu pasti, Alif memilih jurusan IPS saat UMPTN. Pilihannya jatuh pada jurusan Hubungan Internasional Universitas Padjajaran, dengan mantera man jadda wajada dan usaha kerasnya ia akhirnya diterima.

Diceritakan Alif mengalami berbagai masalah ketika memasuki perkuliahan. Puncak permasalahan Alif adalah sang Ayah meninggal dunia. Sebagai anak lelaki tertua ia merasa memiliki kewajiban untuk mmbantu Amaknya membiayai sekolahnya dan adik-adiknya.


Alifpun mencoba bekerja se-rabutan, prestasi akademiknya berantakan. Ia hanya bermodal Man Jadda Wajada waktu itu. Namun kemudian ia teringat satu mantera lagi yang diajarkan sewaktu dirinya di PM. Mantera itu adalah Man Shabara Zhafira. Barang-siapa yang sabar, akan ber-untung.

Mantera ini terbukti sangat manjur. Kehidupan berat yang dialami-nya di tanah rantau Alif lewati dengan sabar, ia pun beruntung. Sedikit demi sedikit permasalahan yang ada terselesaikan. Berkat kegemarannnya sejak di PM, jurnalistik, di kampus Alif bertemu Togar, redaksi senior pers di kampusnya. Togar memberikan banyak ilmu dan latihan super keras untuk Alif, hasilnya tulisan Alif dimuat di media kampus bahkan media lokal Bandung. Mulai dari sana Alif  tidak lagi bekerja serabutan, ia hanya perlu menulis untuk menghidupi dirinya.


Diceritakan di tengah banyak hal yang ia alami, Alif masih terobsesi untuk pergi ke Amerika. Hingga pada akhirnya ia bisa mengalahkan Randai pada seleksi pertukaran mahasiswa ke luar negeri. Alif pun terbang ke Kanada. Di Kanada Alif pun beruntung karena bisa bekerja magang di salah satu stasiun televisi di Quebec, salah satu kota kecil di sana. Berbagai pengalaman ia dapatkan selama di Kanada. Mendapat teman serta keluarga baru. Sampai ia kembali pulang ke tanah air dan menyelesaikan studinya di Unpad.


Tak ada kehidupan yang sempurna, meskipun banyak impiannya terpenuhi, Alif harus berbesar hati dengan mengakui kekalahannya dari Randai dalam merebut hati Raisa. Randai yang lebih dulu lulus dan telah bekerja lebih dulu melamar Raisa, dan Raisa  menerimanya. Alif berusaha tegar, bagaimana pun Randai adalah Sahabatnya sejak kecil dan Raisa adalah sahabatnya saat di Kanada.


Beberapa orang berpendapat novel ini kalah bagus dari novel sebelumnya. Namun tidak terlepas dari pendapat pribadi beberapa orang, Novel ini masih bisa menginspirasi pembacanya. Inspirasi dan motivasi untuk bisa mengejar mimpi dan cita-cita. Dari novel ini kita kembali diingatkan dalam bermimpi yang dibutuhkan bukan hanya kerja keras dan usaha, tapi juga kesabaran.


Novel ini disajikan apik dan menarik, mungkin ini juga karena Ahmad Fuadi seperti bertutur mengenai nostalgia kehidupannya. Patut dibaca, selain nuansa religiusitas yang dibangun tergarap secara matang, pengarang menyampaikan relitas sosial yang dihadapinya secara nyata.