Label

Rabu, 29 Juni 2011

PUISI SISWA


Bingkisan
Telah ku belah matahari jadi
,delapan belas
ku kantongi dalam saku kemejaku
ku lipat bulan jadi
,sebelas
semesta jadi
,sembilan tiga
ku wadahi dalam
kotak kadoku
untuk mu


Wihdatul Wujud
:Jenar
Ingin Ku kawinkan :
siang dan malam
gunung dan laut
langit dan bumi
hitam dan putih
madu dan racun
baik dan buruk
cinta dan benci
api dan angin
air dan minyak
terang dan gelap
hidup dan mati
tapi tak ada yang mau
jadi penghulu dalam upacara
sakral mereka

sedang Tuhan dan Aku
kini menyatu


MEMBEKUKAN MATAHARI
Ida,
Aku takkan lagi mencintaimu
jika bulan membekukan
matahari
di dadaku





Siluet Sutardji Calzoum Bachri dan Universalitas Cinta
Oleh: Okta Adetya
Sebuah karya sastra, tak akan pernah ada yang murni, karena “mereka” hanya buah dari reduplikasi, tambal sulam, penggubahan, hasil identifikasi dan upaya mencacah-cacah raga kalimat. Artinya seorang penulis atau pun penyair, khususnya penulis pemula, pasti memiliki seseorang yang dijadikannya tempat berkaca. Bahkan seorang penulis Priangan Si Jelita, Ramadhan K.H pun mengaku tergila-gila dengan sastrawan Amerika Latin seperti Miguel Angel Asturias, Pablo Neruda, J. Luis Borges, dan terutama sekali F.G. Lorca, yang kemudian mempengaruhi karya-karyanya.
Membaca Wihdatul Wujud, akan mengingatkan kita pada bentuk atau style puisi yang diusung oleh Sutardji Calzoum Bachri. Sebuah gaya kontemporer, dengan bahasa-bahasa mantra yang cukup unik. Lihat saja pada larik siang dan malam, gunung dan laut, langit dan bumi, hitam dan putih, madu dan racun, baik dan buruk, cinta dan benci, api dan angin, air dan minyak, terang dan gelap, hidup dan mati. Ini mirip dengan puisi Sutardji berjudul “Batu”, adapun lariknya adalah sebagai berikut, batu mawar, batu langit, baru duka, batu rindu, batu janun, batu bisu, kaukah itu. Kemiripan kedua puisi ini terletak pada kepadatan diksi serta adanya perulangan. Hanya saja puisi Widhatul Wujud, lebih memiliki citarasa lantaran dibangun oleh kontradiksi.  
            Secara substansial, Widhatul Wujud tampaknya ingin menyisipkan pesan, bahwa hidup itu selalu memiliki dua sisi yang saling berlawanan. Terasa bagai minyak dengan air, tak akan pernah bisa menyatu. Hal ini coba diungkapkan penulis dalam larik yang cukup ritmis, yaitu pada kalimat Ingin Ku kawinkan. Sedangkan kegagalan atas usaha untuk melakukan pembauran kontradiksi tersebut, ditekankan pada kalimat tapi tak ada yang mau, jadi penghulu dalam upacara, sakral mereka, sedang Tuhan dan Aku, kini menyatu. Betapa penulis ingin sesuatu yang seragam, tanpa ada perbedaan-perbedaan, sehingga akan terbentuk cinta di sana. Penulis berpikir, bahwa dengan adanya keseragaman tersebut pertentangan-pertentangan dapat dihindari. Kendati kemudian dia kembali sadar, bahwa menginginkan hal tersebut sama saja dengan punguk merindukan bulan.
            Berbeda dengan puisi Mihdatul Wujud yang mencoba menguntit karya-karya Sutardji C.B, puisi Bingkisan terasa lebih kreatif dalam membungkus ide. Sekilas, puisi ini cukup sulit untuk dipahami. Akan tetapi, penggunaan kata bilangan di dalamnya, membuat esensi karya sastra bagai mengapung dalam deras alir sungai. Bingkisan yang dimaksud tak lain adalah ucapan selamat terhadap seseorang yang terlahir di tanggal 18 Desember 1993. hal ini dapat kita simak, pada penggalan-penggalan berikut Telah ku belah matahari jadi, delapan belas, ku lipat bulan jadi, sebelas, semesta jadi,sembilan tiga, ku wadahi dalam, kotak kadoku.18-11-1993.
            Betapa sebenarnya pesan cinta begitu erat mengikat. Sebuah cinta sederhana, yang diberikan seseorang terhadap orang lain. Entahlah, mungkin seorang teman, sahabat, atau kekasih. Sebuah cinta yang terasa universal.
            Ungkapan cinta yang lebih tekstual, tampaknya hadir dalam puisi Membekukan Matahari. Matahari di sini, bisa diinterpretasikan sebagai gelora cinta yang cukup besar. Apalagi bila dikaitkan dengan pertalian seluruh sajak. Mengapa penulis berani mengatakan, bahwa dia tak akan lagi mencintai seseorang bernama Ida, dengan syarat bulan mampu membekukan matahari di dadanya? Tentu karena penulis tahu bahwa matahari (cinta) di dadanya tidak akan redup, dan bulan pun tidak akan pernah bisa membekukannya. Dia mengatakan semua itu, untuk membuktikan dirinya sebagai sosok yang jantan, untuk tetap konsisten dan menjaga kesetiaan. Tema cinta kentara sekali bermain di dalam puisi ini.
Ketiga puisi tersebut cukup berhasil dan mengejutkan, karena dibuat oleh seseorang yang secara usia masih cukup muda. Akhirnya, tak ada alasan untuk tidak berproses dalam dunia penulisan. Sedikit menggubah sajak Membekukan Matahari, Aku akan berhenti berjuang dengan pena, jika bulan membekukan matahari di dadaku (dan saya berharap tak kan ada matahari yang mampu dibekukan). Atau janganlah menjadi Chairil Anwar yang sekali berarti, sudah itu mati. 
Oleh: Okta Adetya Kadiv. Litbang dan Jaringan LPPM Kreativa FBS UNY

Minggu, 26 Juni 2011

MENILIK KEADILAN HUKUM ISLAM DI ARAB


Pahlawan devisa, itulah nama yang cukup membanggakan, sebuah istilah yang sangat bagus dan mulia. Namun apa yang terjadi dengan mereka? Para TKI dan TKW mendapatkan perlakuan tak seindah namanya. Sebuah ironi dan kontradiksi segera tercipta.
Kekerasan terhadap para TKW kembali terjadi. Belum sempat reda isu-isu mengenai kekerasan yang dilakukan majikan di negeri jiran Malaysia, kini, sebuah realitas yang mengiris hati kembali terulang. Bukan lagi berasal dari negeri tetangga yang seringkali menyulut ketegangan antar dua negara, melainkan dari tanah para nabi, Arab Saudi.
Sepertinya isu keadilan masih juga dihembuskan dari nafas-nafas para TKW. Tak hanya sekedar ketidakadilan dari majikan yang mereka lakukan, bahkan ketidakadilan tersebut mereka dapatkan dari pemerintah setempat. Itulah yang harus mereka alami.
Pemancungan yang dilakukan tanpa sepengetahuan perwakilan dari Indonesia telah dilakukan atas nama Rumiyati. Seorang TKW asal Bekasi, Jawa Barat. Dia menerima hukum pancung lantaran membunuh majikannya sendiri. Memang sekilas apa yang dilakukan Rumiyati cukup kejam, membunuh dengan cara menusuk-nusukkan pisau ke tubuh korban.
Hukum kisas nyawa dibayar nyawa. Itulah hukum yang diterapkan di Arab. Namun apakah itu sudah memenuhi unsur keadilan? Mungkin benar ada kelalaian dari pemerintah, sehingga mereka kecolongan akan hukuman yang terjadi terhadap Rumiyati. Namun, pemerintah Arab pun seharusnya bisa mengkomunikasikan hal-hal urgen semacam ini, kepada Indonesia, selaku negara yang bertanggung jawab terhadap keselamatan Rumiyati.
Terkait dengan kelalaian ini, pemerintah Arab melalui perwakilannya pun sudah mengakui tentang adanya kelalaian, dan mereka sudah melakukan permintaan maaf secara terbuka. Sebuah sikap yang patut diapresiasi. Memang ini sangat terlambat dan tidak banyak membantu, namun bukankah pepatah mengatakan bahwa nasi telah menjadi bubur, tak dapat diubah menjadi nasi lagi?
Saya tak bermaksud menyalahkan pemerintah Arab dalam hal ini. Pemerintah kita pun sebenarnya masih kurang maksimal dalam melindungi TKI dan TKW, meskipun saya juga percaya bahwa pemerintah sudah berusaha sekeras mungkin untuk melakukannya. Akan tetapi yang menjadi persoalan dalam hal ini adalah tentang hukuman mati yang diberlakukan.
Berbicara hukum Arab akan sangat rasisme sekali kedengarannya, karena mau tak mau kita akan menyangkutkan hukum Arab tersebut dengan hukum Islam. Adapun yang menjadi dasar hukum pelaksanaan kisas adalah surat Al Baqarah ayat 178. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.
Tidak ada yang salah dengan ayat tersebut. Namun, yang perlu dicermati di sini adalah, sepanjang apa hukum itu relevan diberlakukan? Karena melihat sejarah turunnya ayat tersebut, kisas diberlakukan kepada kaum terdahulu yang sering melakukan perang antar suku, saling membunuh dan dirasa tidak adil. Yang jadi pertanyaan sekarang, apakah hukum kisas masih relevan untuk diberlakukan di zaman yang sudah sangat berkembang dengan pesatnya?
Kembali ke konteks permasalahan, mengenai hukum kisas. Sebenarnya akan lebih baik lagi, apabila Arab lebih terbuka dalam menjalankan hukum-hukumnya. Arab terlalu tekstual dalam membaca sebuah ayat untuk dijadikan dasar hukum, sementara mereka tidak mempertimbangkan aspek kelaziman zaman dan keadilan itu sendiri. Mengapa keadilan dalam hukum kisas di Arab dipertanyakan?
Sekarang lihat saja kasus Rumiyati, pengadilan Arab yang dinilai kurang memenuhi unsur transparansi hanya terpaku dan terfokus pada pembunuhan. Mereka tidak mau peduli tentang apa yang menjadi latar belakang Rumiyati membunuh. Apakah membunuh orang untuk alasan melakukan perlawanan, membela diri, dan juga mencapai kemerdekaan disalahkan? Mengingat Rumiyati membunuh pun didasarkan pada sikap majikan yang semena-mena terhadap dirinya, suka menyiksa. Jadi dimanakah hukum Islam yang katanya adil ini bisa dipahami?
Sudah dipekerjakan dengan semena-mena dan dizhalimi sekian bulan, sementara ketika dia membunuh sebagai jalan terakhir karena tak mampu melawan kezhaliman itu sendiri, Rumiyati pun harus dibunuh dengan cara yang semena-mena. Hukum pancung. Apakah ini adil? Dimana letak keadilannya? Bukankah di sini Rumiyati sebetulnya menjadi korban, akan tetapi menjadi hal aneh ketika pengadilan melihat dia dari sisi tersangka.
Selain hukuman pancung, apabila dia mendapatkan permaafan dari pihak terbunuh, maka dia harus mmbayar diat. Diat yang diajukan pun seringkali sangat besar. Memang diat diberikan sebagai permintaan maaf. Namun yang terjadi, diat seakan menjadi penebus nyawa orang yang telah meninggal. Seorang yang meminta diat bersikap tidak realistis, menginginkan pembayaran sampai bernilai miliar. Padahal dia tahu, bahwa orang yang mereka gugat, adalah orang yang berekonomi lemah. Karena alasan ekonomi ini pula, yang membuat mereka terpaksa harus menjadi pembantu rumah tangga di negeri orang. Lagi-lagi adakah keadilan di dalamnya?
Kalau permasalahan hukuman pancung dan diat terus dilestarikan, maka akan selalu ada celah untuk para majikan berbuat sewenang-wenang. Mereka tidak akan takut untuk mendzalimi pembantu. Kendati pembantu jauh berbeda dengan budak. Mereka akan merasa aman melakukan itu semua, karena kalau ada masalah apa-apa, bisa dipastikan bahwa pembantu mereka lah yang akan menanggungnya.
Untuk itulah perlindungan terhadap para pahlawan devisa ini mutlak diperlukan. Bukan hanya untuk mempertahankan harga diri kita sebagai bangsa yang besar, namun juga untuk meningkatkan bargaining position kita di negara tujuan. Atau kalau itu tak bisa dilaksanakan maka jawabannya adalah penyediaan lapangan kerja yang cukup di dalam negeri. Meskipun lagi-lagi untuk melakukan itu semua sangat sulit dan membutuhkan dukungan dari semua pihak.

Oleh: Okta Adetya, Kadiv. Litbang dan Jaringan LPPM Kreativa