Label

Sabtu, 02 Juli 2011

KASUS TKI BATU LONCATAN?

Kasus TKW dan TKI yang bekerja di luar negeri belakangan mendapat sorotan dari berbagai pihak. Setelah berbagai persoalan warga negara kita yang bekerja di sektor informal luar negeri didera masalah, akhirnya pemerintah mulai mengambil tindakan. Tak tanggung-tanggung satgas dan berbagai instrumen pendukung mengenai TKI dibentuk dengan cara yang terkesan instan.
Masalah ini mengundang banyak protes, kala pemerintah Indonesia kecolongan atas meninggalnya Ruyati. Ruyati meninggal di Arab Saudi karena hukuman pancung. Dia dituduh membunuh majikannya sendiri dengan cara menusukkan pisau ke tubuh majikan. Hal yang melatar belakangi tindakan tersebut, tak lain karena ketidakmampuan Ruyati untuk terlepas dari belenggu sang majikan yang memperlakukannya secara buruk. Ruyati mengakui semua yang dia lakukan. Namun apakah hukum kisas –dalam hal ini pancung- menjadi hal yang cukup adil diterima Ruyati yang sebenarnya menjadi korban arogansi majikan?
Dalam kasus Ruyati pemerintah jelas lalai untuk melindungi warga negaranya. Alasan tak diketahuinya prosesi hukuman, menjadi hal yang dipertanyakan. Seolah menyadari kesalahan, pemerintah Arab secara resmi menyampaikan permintaan maaf. Namun ketidaktahuan pemerintah Indonesia juga menjadi pertanyaan besar, sejauh mana transparansi hukum dan akuntabilitas publik diterapkan di Arab?
Sungguh suatu ironi, ketika mendengar para pahlawan devisa itu mengalami nasib yang mengenaskan. Tak hanya sekali dua kali, kasus seperti ini bahkan sudah seringkali terjadi sejak zaman dahulu. Namun pemerintah seolah tak bergeming. Menilik realitas yang ada, pemerintah khususnya telah gagal menjalankan undang-undang dasar. Dalam UUD 1945 disebutkan bahwa “…kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia, yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia dengan berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”
Selain Ruyati masih banyak TKW yang akan menghadapi hukuman mati di Arab. Salah satunya Sumartini yang terancam hukuman mati dengan tuduhan menggunakan ilmu sihir untuk membunuh anak majikannya, sungguh alasan atau dakwaan yang mengada-ada. Bagaimana mungkin hukum bisa membuktikan apakah Sumartini benar-benar menggunakan sihir atau tidak? Namun ironisnya, proses hukum terus berlanjut, satu-satunya cara untuk menyelamatkan Sumartini dari hukuman mati adalah dengan membayar diat yang tidak sedikit jumlahnya. Sesuai data Kemenakertrans jumlah TKI yang terancam hukuman mati di luar negeri mencapai 230 orang, dengan rincian 177 TKI di Malaysia, 23 TKI di Arab Saudi, dan 30 TKI di China.
Sejauh ini langkah yang sudah diambil pemerintah untuk melindungi TKI adalah melaksanakan moratorium pengiriman TKI ke Arab Saudi terhitung mulai 1 Agustus, mengirimkan surat protes, membentuk satuan tugas khusus penanganan TKI, membentuk Atase Hukum dan HAM di negara penerima TKI, dan mengumpulkan dana penghematan Kementrian untuk membuka lapangan kerja bagi TKI senilai 15,1 triliun. Setali tiga uang, pemerintah Arab pun sudah mengeluarkan kebijakan, larangan masuk bagi TKI informal.
Belajar dari kasus yang sudah ada, mengapa baru sekarang pemerintah berpikir untuk melakukan penyediaan lapangan kerja terhadap TKI yang diambilkan dari dana penghematan Kementerian? Apakah harus menunggu jatuh korban untuk mencairkan dana tersebut? Namun terlepas dari semua itu, langkah yang dilakukan pemerintah patut diapresiasi.
            Indonesia adalah negara besar dan kaya, sudah sepatutnya memaksimalkan segala potensi yang ada untuk kemakmuran masyarakat, sebagaimana yang disebutkan dalam UUD 1945 bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memajukan kesejahteraan umum. Berangkat ke luar negeri mungkin menjadi pilihan terakhir untuk merubah nasib. Sehingga cerita akan berbeda, ketika pemerintah mampu mengakomodasi kebutuhan masyarakat, dalam hal ini lapangan kerja.
Moratorium dan segala macam tindakan pemerintah saat ini sementara waktu dapat dilakukan. Akan tetapi kita tidak dapat selamanya bersandar pada negara lain untuk menampung tenaga kerja Indonesia yang berlimpah. Sudah sering bangsa ini dilecehkan, harga diri bangsa ini dianggap rendah. Inilah waktunya seluruh elemen masyarakat menyisihkan ego dan bersatu padu membangun Indonesia yang lebih jaya, membangun Indonesia yang mandiri dan disegani. Optimisme ini tidak hanya isapan jempol, ketika kita menilik segala potensi yang ada di tanah air. Kita bisa mewujudkannya. Salam jaya Indonesia.

Oleh: Okta Adetya Kadiv. Litbang dan Jaringan LPPM Kreativa dan mahasiswa S1 Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS, UNY