Malam itu (11/5/2012) suasana
Pendopo Tedjokusumo ramai, tak seperti biasanya. Satu per satu orang datang dan
membanjiri tempat itu. Itulah gambaran sekilas, mengenai pelaksanaan Diskusi
Publik bertemakan Eksistensi Budaya Lokal, Budaya Kita Budaya Mana?. Kegiatan yang
berlangsung dari pukul setengah delapan sampai pukul sepuluh ini mendapatkan
antusiasme yang cukup besar dari teman-teman LPM se Jogja.
Pembicara dalam diskusi ini
antara lain Drs. Hajar Pamadi, M, A., salah satu staf khusus wakil menteri
pendidikan dan kebudayaan di bidang kebudayaan, dosen Seni Rupa FBS UNY, serta
ketua jaringan peneliti Jogja. Selain itu ada Wahmuji, S.S, yang tengah
mendalami ilmu budaya di Universitas Sanata Dharma, dan terakhir ada Muhammad
Shodiq, mahasiswa FBS yang merupakan pegiat seni dan budaya di UNY.
Diskusi kali ini mengetengahkan
eksistensi budaya lokal. Kartika Lisna Mutia, selaku Pemimpin Umum Kreativa
menyebutkan bahwa tema ini dipilih sebagai
wujud refleksi terhadap generasi muda tentang hakikat dan keberadaan
budaya Indonesia. Dia beranggapan, bahwa generasi muda saat ini sudah mulai
melunturkan budaya sendiri. Sikap inferioritas pun semakin berkembang, dengan
indikasi maraknya budaya asing yang mudah sekali diterima.
Dalam uraiannya Bapak Hajar
menjelaskan hakekat eksistensi itu sendiri apa, beliau juga mengungkapkan
kendati kita bersifat terbuka dan demokratis, bukan berarti harus melupakan
budaya bangsa sebagai cermin jati diri. Sementara itu, Wahmuji, S. S. Memfokuskan
diri pada inferioritas bahasa, beliau beranggapan bahwa inferioritas bahasa ini
timbul karena adanya perebutan ruang semantik, namun ketika kita menilik lebih
jauh kita harus menyadari kompleksitas permasalahan sehingga tidak serta merta
menganggap penggunaan budaya asing sebagai bentuk inferioritas. Lain dengan dua
pembicara yang lain, Muhammad Sodiq tampil secara santai, dia beranggapan bahwa
perubahan itu perlu juga sepanjang memliki manfaat dan memberikan pengaruh yang
baik. Eksistensi menurutnya tergantung dari para pemilik budaya itu sendiri. Kita
tidak bisa membatasi ruang budaya, hanya sekedar sesuatu yang diturunkan secara
turun temurun, namun budaya itu bergerak.
Acara yang dimeriahkan oleh
Edsacoustic ini juga dihadiri oleh Dekan FBS UNY, Prof. Dr. Zamzani. Dalam sambutannya
beliau mengharapkan kegiatan yang baik ini tidak hanya menjadi sekedar wacana
melainkan ada tindak lanjut sehingga bermanfaat. Beliau juga merespon positif
kegiatan semacam ini. Lisna sendiri, mengaku bahwa kegiatan ini berjalan dengan
sukses. Hal ini terlihat dari banyaknya peserta yang hadir, bahkan sampai acara
berakhir pun tak banyak peserta yang beranjak. Namun, dia mengaku masih
mengalami beberapa kendala, terutama dalam hal persiapan, karena dia tidak menyangka
bahwa peserta yang hadir lebih dari 100 orang.
Senada dengan Lisna, Bapak Hajar
Pamadi, selaku pembicara pun tidak menyangka, bahwa antusiasme peserta
sedemikian tingginya. Hal ini disebabkan, berdasarkan pengalaman beliau diskusi
yang mengambil tema budaya arang digemari oleh generasi muda.