Label

Kamis, 16 Mei 2013

MENDETEKSI SUPREMASI HUKUM INDONESIA

Oleh Eka Rusdiana

Indonesia dikenal sebagai negara hukum, sejak keberhasilan gerakan reformasi melanda bangsa Indonesia, sebutan “supremasi hukum” menjadi kata yang sering diucapkan dan didengar.

Istilah ini akan menjadi objek kajian yang menarik dan tidak ada habis-habisnya untuk dibahas. Hal ini disebabkan karena masalah supremasi hukum adalah bukti nyata proses penegakan hukum suatu bangsa. Hukum sebagai aturan, norma, dan kaidah akan selalu mempunyai posisi khas, ia langsung berada dan bekerja di tengah-tengah masyarakat. Keberagaman cita rasa masyarakat yang terkemas dalam budaya tradisional dan modern akan menyatu dalam suatu dimensi hukum.


Pengertian supremasi hukum sendiri adalah upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali. Hal ini juga termuat dalam UUD ’45 pasal 27 ayat 1, yang berbunyi segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajid menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Adapun penegakan hukum yang bertanggungjawab (akuntabel) dapat diartikan sebagai suatu upaya pelaksanaan penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, bangsa dan negara yang berkaitan terhadap adanya kepastian hukum dalam sistem hukum yang berlaku, juga berkaitan dengan kemanfaatan hukum dan keadilan bagi masyarakat. Namun sudah menjadi rahasia umum bahwa penegakan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan, di samping itu anehnya masyarakatpun tidak pernah jera untuk terus melanggar hukum.

Pada akhirnya, masyarakat menjadi sangat terlatih untuk mengatasi masalah mereka jika terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukannya, apakah itu bentuk pelanggaran lalu-lintas, atau melakukan delik-delik umum, atau melakukan tindak pidana korupsi, dan sebagainya sudah tidak menjadi masalah.

Sebagian besar masyarakat kita yang telah terlatih benar bagaimana mempengaruhi proses hukum yang berjalan agar ia dapat terlepas dari jerat hukumannya, dan yang lebih ironis dari segala bentuk fenomena tersebut adalah ketika hukum berubah menjadi nominal-nominal uang yang sangat mudah ditukar dan diperjualbelikan. Kenyataan ini merupakan salah satu indikator buruknya pelaksanaan hukum (law enforcement) di negeri ini.

Sebagai contoh yang paling sederhana dan sangat tidak asing lagi bagi kita semua, bahkan hampir menyandang “makan paling lezat” bagi negara yaitu korupsi berikut para pelakunya. Kasus ini dapat dibilang kasus nomor teratas dari sekian banyak kasus kejahatan yang ada di Negeri tercinta ini. Namun, pada kenyataannya kasus yang begitu sakral tersebut seakan menguap begitu saja dan menjadi sangat sulit diberantas.

Menurut Deputi Pemberantasan Pusat Pelaporan dan Analisi Transaksi Keuangan (PPATK) Wizral Yanuar, ada beberapa hal yang membuat korupsi sulit dihilangkan di Indonesia. Pertama, korupsi adalah kejahatan yang terorganisir dan melibatkan aparat," ungkapnya dalam diskusi bertema Caleg dan Pencegahan Korupsi di kantor DPP PPP, Jakarta, Rabu (20/3/2013). Selain itu, sulitnya memberantas korupsi juga disebabkan adanya persepsi dari masyarakat Indonesia yang memandang korupsi sebagai kebiasaan."

Hal ini sudah sangat cukup untuk mengabarkan kepada khalayak betapa lemahnya system hukum Indonesia.

Lantas seperti apa Supremasi Hukum yang Ideal yang selama ini menjadi mimpi tanpa ujung setiap masyarakat di Indonesia. Beberapa poin penting untuk bisa mencapai supremasi hukum, bergantung pada bagaimana pelaksanaan hukum itu sendiri. Ada beberapa pendapat tentang tujuan hukum yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk mencapai supremasi hukum yang ideal. Geny mengatakan bahwa hukum bertujuan semata-mata untuk mencapai keadilan. Sebagai unsur keadilan, ada kepentingan daya guna dan kemanfaatan (Budiyanto, 2004: 54).

Untuk dapat mencapai keadilan hukum, maka penegakan hukum sangat perlu. Hukum dan perundang-undangan harus benar-benar adil, benar-benar ditegakkan dan dipatuhi secara utuh tentunya. Hukum harus mampu mencerna segala perubahan secara tenang dan baik-baik. Globalisasi, dunia tanpa pembatas, skenario elit politik, suksesi, korupsi, kolusi, nepotisme, supremasi hukum, demokratisasi, HAM, perpecahan (disintergrasi) bangsa dan intrik-intrik politik, semuanya harus dihadapi oleh hukum. Hukum harus mampu secara langsung berhadapan dengan perilaku yang muncul tersebut.

Hal itulah yang menjadi poin agar supremasi hukum dapat mencapai standar ideal, unsur-unsur penegak hukum yang seperti itulah yang dibutuhkan untuk menghadapi segala permasalahan agar supremasi hukum dapat terwujud dengan cepat. Jika tidak, kembali lagi kita hanya akan menjadi ”Beo” yang berkoar-koar dan peraturan perundang-undangan hanya akan menjadi ”wacana mati” tanpa fungsi.

*Reporter Aksara


Tidak ada komentar: