Indonesia dikenal sebagai negara hukum,
sejak keberhasilan gerakan reformasi melanda bangsa Indonesia, sebutan
“supremasi hukum” menjadi kata yang sering diucapkan dan didengar.
Istilah ini akan menjadi objek kajian
yang menarik dan tidak ada habis-habisnya untuk dibahas. Hal ini disebabkan
karena masalah supremasi hukum adalah bukti nyata proses penegakan hukum suatu
bangsa. Hukum sebagai aturan, norma, dan kaidah akan selalu mempunyai posisi khas,
ia langsung berada dan bekerja di tengah-tengah masyarakat. Keberagaman cita
rasa masyarakat yang terkemas dalam budaya tradisional dan modern akan menyatu
dalam suatu dimensi hukum.
Pengertian supremasi hukum sendiri
adalah upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan. Keadilan harus
diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan
perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali. Hal ini juga termuat dalam UUD ’45
pasal 27 ayat 1, yang berbunyi “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajid menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya.”
Adapun penegakan hukum yang
bertanggungjawab (akuntabel) dapat diartikan sebagai suatu upaya pelaksanaan
penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, bangsa dan
negara yang berkaitan terhadap adanya kepastian hukum dalam sistem hukum yang
berlaku, juga berkaitan dengan kemanfaatan hukum dan keadilan bagi masyarakat. Namun
sudah menjadi rahasia umum bahwa penegakan hukum di Indonesia sangat
memprihatinkan, di samping itu anehnya masyarakatpun tidak pernah jera untuk
terus melanggar hukum.
Pada akhirnya, masyarakat menjadi
sangat terlatih untuk mengatasi masalah mereka jika terjadi
pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukannya, apakah itu bentuk pelanggaran
lalu-lintas, atau melakukan delik-delik umum, atau melakukan tindak pidana
korupsi, dan sebagainya sudah tidak menjadi masalah.
Sebagian besar masyarakat kita yang
telah terlatih benar bagaimana mempengaruhi proses hukum yang berjalan agar ia
dapat terlepas dari jerat hukumannya, dan yang lebih ironis dari segala bentuk
fenomena tersebut adalah ketika hukum berubah menjadi nominal-nominal uang yang
sangat mudah ditukar dan diperjualbelikan. Kenyataan ini merupakan salah satu
indikator buruknya pelaksanaan hukum (law
enforcement) di negeri ini.
Sebagai contoh yang paling sederhana
dan sangat tidak asing lagi bagi kita semua, bahkan hampir menyandang “makan
paling lezat” bagi negara yaitu korupsi berikut para pelakunya. Kasus ini dapat
dibilang kasus nomor teratas dari sekian banyak kasus kejahatan yang ada di
Negeri tercinta ini. Namun, pada kenyataannya kasus yang begitu sakral tersebut
seakan menguap begitu saja dan menjadi sangat sulit diberantas.
Menurut Deputi Pemberantasan Pusat
Pelaporan dan Analisi Transaksi Keuangan (PPATK) Wizral Yanuar, ada beberapa
hal yang membuat korupsi sulit dihilangkan di Indonesia. “Pertama,
korupsi adalah kejahatan yang terorganisir dan melibatkan aparat," ungkapnya dalam diskusi bertema Caleg dan
Pencegahan Korupsi di kantor DPP PPP, Jakarta, Rabu (20/3/2013). “Selain
itu, sulitnya memberantas korupsi juga disebabkan adanya persepsi dari
masyarakat Indonesia yang memandang korupsi sebagai kebiasaan."
Hal ini sudah sangat cukup untuk
mengabarkan kepada khalayak betapa lemahnya system hukum Indonesia.
Lantas seperti apa Supremasi Hukum
yang Ideal yang selama ini menjadi mimpi tanpa ujung setiap masyarakat di
Indonesia. Beberapa poin penting untuk bisa mencapai supremasi
hukum, bergantung pada bagaimana pelaksanaan hukum itu sendiri. Ada beberapa
pendapat tentang tujuan hukum yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk mencapai
supremasi hukum yang ideal. Geny mengatakan bahwa hukum bertujuan semata-mata
untuk mencapai keadilan. Sebagai unsur keadilan, ada kepentingan daya guna dan
kemanfaatan (Budiyanto, 2004: 54).
Untuk dapat
mencapai keadilan hukum, maka penegakan hukum sangat perlu. Hukum dan perundang-undangan harus benar-benar adil, benar-benar
ditegakkan dan dipatuhi secara utuh tentunya. Hukum harus mampu mencerna segala perubahan secara tenang
dan baik-baik. Globalisasi, dunia tanpa pembatas, skenario elit politik,
suksesi, korupsi, kolusi, nepotisme, supremasi hukum, demokratisasi, HAM, perpecahan
(disintergrasi) bangsa dan intrik-intrik politik, semuanya harus dihadapi oleh
hukum. Hukum harus mampu secara langsung berhadapan dengan perilaku yang muncul
tersebut.
Hal itulah yang
menjadi poin agar supremasi hukum dapat mencapai standar ideal, unsur-unsur
penegak hukum yang seperti itulah yang dibutuhkan untuk menghadapi segala
permasalahan agar supremasi hukum dapat terwujud dengan cepat. Jika tidak,
kembali lagi kita hanya akan menjadi ”Beo” yang berkoar-koar dan peraturan
perundang-undangan hanya akan menjadi ”wacana mati” tanpa fungsi.
*Reporter Aksara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar