Label

Kamis, 20 Juni 2013

MENJADI “SOSOK” MAHASISWA

Indah Afiani

Sosok adalah bentuk rupa seseorang dalam menciptakan karakter dalam tokoh masyarakat. Karakter tersebut melahirkan pandangan masyarakat terhadap dirinya atau kebanyakan orang. Pemuda boleh jadi wujud representasi puncak spirit seseorang dalam mengarungi bahtera hidup. Pemuda adalah tulang punggung dalam mencapai tujuan kolektif suatu bangsa sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945 alinea empat.

Sosok pemuda yang diharapkan mampu menjadi teladan dalam mencapai tujuan bangsa ialah mahasiswa. Mahasiswa selama ini diharapkan mampu menjadi duta-duta intelektualitas.  Seseorang yang berpegang teguh  terhadap tujuan, bahkan ketika pertama kali mereka menginjakkan kaki di gerbang perguruan tinggi. Tujuan utama tersebut bukan hanya belajar untuk mendapat nilai bagus, melainkan juga menyentuh aspek yang paling esensial untuk sebuah peradaban yang lebih baik. Tujuan kedua selain menjadi kaum terpelajar, juga mempersiapkan diri menjadi seorang pemimpin yang adil, profesional, humanis, dan dapat membawa perbaikan ke arah yang lebih baik serta sabar dan agamis. Kenapa mahasiswa harus agamis? Karena seorang pemimpin yang baik tidak hanya mempertimbangakan logika, tapi juga emosional dan spiritual.

Jika kita berbicara mengenai sosok mahasiswa, maka ingatan kita tidak  akan pernah lepas dari sosok Budi Oetomo, seorang penggagas dan penggebrak perubahan. Dalam 5 tahun permulaan, Budi Oetomo menjadi satu wadah pergerakan sekaligus corong bagi suara-suara kaum inteletual. Perkumpulannya mempunyai kedudukan monopoli, oleh karena itu Budi Utomo maju pesat. Tercatat akhir tahun 1909, Budi Oetomo telah mempunyai 40 cabang dengan.10.000 anggota.

Sayangnya, mahasiswa saat ini justu banyak yang memicu anarkisme. Pergolakan yang belakangan ini terjadi antara mahasiswa dan pemerintah menjadi satu realitas ironis. Begitu banyak kesia-siaan yang mereka lakukan. Demo yang mereka lakukan pun tidak cukup dengan melakukan orasi menggunakan toa, lebih mengerikan lagi, mereka membakar diri, menanam diri, dan yang paling anarkis adalah menjahit mulutnya sendiri.

Sebuah pertanyaan muncul. Apa yang melahirkan sikap oposan mahasiswa terhadap pemerintah? Mereka cukup penting, untuk menjadi alat pengawas dan pengontrol kebijakan, namun bukan berarti mereka berhak untuk menggunakan cara-cara tidak terdidik. Tidak sedikit masyarakat yang mengatakan bahwa mahasiswa berada pada posisi yang salah.Mengapa hal semacam ini bisa terjadi? Mahasiswa sering kali menggunakan cara-cara fundalisme dalam melawan pemerintah. Segala bentuk carut marut ini pun sebenarnya dilahirkan bukan tanpa alasan, mereka merasa  lelah dengan keadaan negara ini, mereka merasa dibayangi ketidakpuasan. Mereka butuh eksistensi yang lebih, supaya para pengambil kebijakan melongok, melihat mereka dan mendengarkan suara-suara kalangan akar rumput. Sayangnya, apa yang mereka koar-koarkan sebagai tindakan membela hak-hak rakyat kecil, seringkali justru menebas hak-hak orang lain, yang juga merupakan bagian dari rakyat. Lantas berbagai pertanyaan pun mengawang di benak, siapa yang mahasiswa bela dengan membabi buta?

Mahasiswa bukan sekumpulan manusia tak beradab. Menjadi mahasiswa yang kreatif dan menawarkan inovasi-inovasi atas segala bentuk permasalahan bangsa, merupakan dambaan founding father negara ini. Kita tentu masih mengingat pekikan Soekarno, ketika dengan lantang menyatakan “Beri aku sepuluh pemuda, maka akan aku guncang dunia”. Mahasiswa sebagai kaum terpelajar, sudah semestinya juga bersikap adil, menyitir salah satu kutipan Pramodya Ananta Toer dalam Tetralogi Pulau Buru “Kaum terpelajar hendaknya sudah adil sejak dalam pikiran”.

INDAH AFIANI pemimpin redaksi buleti Aksara

1 komentar:

Ruang selasa Sastra mengatakan...

kenapa anda memakai budi utomo sebagai contoh. bukankah apa yang dilakukan budi utomo hanyalah kegiatan yang bisa mewadahi orang-orang yang mempunyai keddudukan? anak-anak para pejabat saja yang boleh belajar di sekolahnya....aneh.
kalau pikiran oposan tidak boleh ada lantas anda akan menyetujui kematian munir dan menyetujui kematian Wiji Tukul. mereka orang-orang oposan dan terpelajar. Adil dalam pikiran bukan berarti tidak boleh menentang, bahkan apa yang dilakukan oleh Pramoedya anantatoer dengan sastra realisme sosialisnya dia tetap mempunyai tujuan revolusioner dan saat itu dia menjadi seorang oposan, seseorang yang menentang pemerintahan waktu itu yaitu kolonialisme dan orde baru. lantas apa yang salah menjadi oposan? terima kasih.