Label

Kamis, 25 Desember 2014

MENGHADAPI MASALAH MENURUT PANDANGAN ISLAM

Menurut Hudojo (1990: 32) masalah adalah pernyataan seseorang, di mana seseorang tersebut belum mempunyai aturan atau hukum tertentu, yang dapat digunakan untuk menjawab pernyataan itu.

Masalah sering dijadikan alasan seseorang untuk tidak berkembang. Atau melampiaskan suatu amarah terhadap objek tertentu. Di mana objek tersebut bisa berupa benda, manusia, atau (lebih ekstrem lagi) menyalahkan Tuhan.

Untuk alasan yang terakhir itu, yang sering kita temui kejanggalannya. Tuhan Yang Maha Benar, masih saja mendapat pelampiasan amarah dari manusia. Hal ini yang hangat diperbincangkan dunia umum. Perihal masalah, manusia, dan Tuhan. Bagaimana peran Tuhan dalam masalah ini? Bukankah semua hal telah diatur oleh Tuhan? Tentang masalah, bukankah ini juga ‘permainan’ Tuhan?

Orang yang sering menyalahkan Tuhan, terkadang memang berpikir se-ekstrem itu. Mengembalikan semua hal kepada Tuhan-nya. Kembali pada ke-Maha Kuasaan Tuhan. Kembali kepada hak prerogatif Tuhan. Di mana Tuhan bertindak sebagai dalang, dan manusia sebagai wayang.

Padahal, tidak seperti itu. Tuhan memang punya hak mutlak atas kehidupan manusia. Tetapi, Tuhan (pasti) juga memikirkan hal-hal yang di mana itu bukan lagi menjadi kekuasaan-Nya. Di mana Tuhan memberikan kebebasan sepenuhnya kepada manusia. Misal, Tuhan tidak akan mengubah nasib manusia, sebelum manusia itu mengubahnya sendiri (Q.S. Ar-Raad: 11). Jadi, Tuhan memang mempunyai rencana tertentu untuk kehidupan kita. Tetapi, tidak mutlak semua (harus) sesuai rencana awal. Sebab, ada bagian-bagian tertentu, yang di daerah itulah kekuasaan manusia dibebaskan oleh Tuhan. Tempat di mana manusia bisa berekspresi. Bagaimana menjalin hubungan sesama manusia, dan sebagainya.

Lalu, kenapa terkadang ada seseorang yang masih mempunyai masalah dan tidak bisa mengatasinya? Sebenarnya ini adalah hal sepele. Di mana peran manusia sangat penting dalam hal ini. Ketika kita membaca firman Tuhan, bahwa Tuhan tidak akan memberikan beban--masalah, melebihi kemampuan kita. Maka, kita wajib mempercayainya. Sebab, Kebenaran Tuhan adalah hal mutlak. Namun, perlu kita kaji, apa yang dimaksudkan dalam hal ini.

Ketika seseorang mempunyai masalah, lalu, stress akibat terlalu berat memikirkan hal itu. Kemudian, menimbulkan konflik, yang berujung pada penyalahan Tuhan. Kiba wajib instropeksi diri. Apakah hal demikian sudah benar? Apakah kita sudah benar-benar memikirkan jalan keluar dari masalah kita. Karena, sebenarnya, jika kita mau mencoba untuk mencari suatu hal--baik jalan keluar atau yang lain--secara sungguh-sungguh, kita pasti bisa mendapatkan hal itu. Hanya saja, terkadang kita--sebagai manusia--melupakan hal itu. Kita lebih senang menyalahkan objek lain, selain diri kita sendiri.

Memang, terkadang, menilai diri kita sendiri itu, lebih sulit. Menilai orang lain, begitu mudah. Bahkan, menjadi keseharian. Menjadi budaya dalam suatu forum tertentu. Atau, bahasa kerennya, ngerumpi atau ngegosip.

Keduanya tentu tidak seharusnya kita lakukan. Karena menilai diri sendiri lebih penting, dari pada menilai orang lain. Ingat, Tuhan itu tidak akan menguji manusia di luar batas kemampuannya. Jadi, seberat apa pun masalah kita, pasti akan terselesaikan. Entah kapan dan bagaimana itu terjadi. Yang pasti, kita hidup tidak sendiri. Untuk itulah, hablun minannas--hubungan antarmanusia--perlu kita lakukan.[*]

Jogja, Desember 2014


oleh Andrian Eksa

Sabtu, 20 Desember 2014

SURAT IMAJINER BUAT KETUA BEM FBS



Ini adalah penghujung tahun. Tahun di mana saya menjadi warga sah FBS, tahun di mana saya harus siap-siap mengemas lembar-lembar tugas yang berisi pilihan ganda dari para dosen, mengemas jas almamater kebanggaan.



Ketua BEM terpilih,

Saya harus menulis surat ini dengan perasaan yang teraduk-aduk, sedih, campur haru yang meruak. Surat ini anggaplah sebuah silaturrahmi bahasa karena pada hari Kamis 11 Desember lalu saya tidak hadir dalam debat calon ketua BEM FBS. Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya kepada Anda, izinkanlah saya mengajak Anda keliling-keliling di sekitar FBS, dengan tanpa fisik Anda bersama saya, sebagai sebuah upaya pendekatan personal antara saya dan Anda.



Saya akan memulainya dari sini, di taman gedung Cine Club, atau depan C 15, karena di gedung inilah saya kerap melintas pulang dari kuliah. Pembicaraan serius akan saya mulai dari sini, dari mobil-mobil yang diparkir di depan gedung ini. Saya tidak tahu pada tanggal, bulan, dan tahun berapa kebijakan baru FBS turun dengan mengizinkan halaman yang sekaligus area lalu lintas mahasiswa dijadikan tempat  parkir mobil. Saya juga tidak tahu, apakah mobil itu milik tamu pejabat, dosen atau mahasiswa. Saya hanya tahu, tempat ini telah mengganggu stabilitas dan mobilitas warga FBS. Tahun 2011-2012 mobil-mobil itu belum ada, dan kini jumlah kendaraan orang-orang hight class itu jumlahnya lebih dari tiga. Bisa dibayangkan di tahun ketika Anda menjabat sebagai ketua BEM ke depan.



Pak Ketua,

Saya tidak habis pikir, jika mobil-mobil itu milik dosen kita, dan sangat disayangkan jika martabat dan pangkat mereka disetarakan dengan keberhasilannya mengendari roda empat tersebut. Saya begini bukan iri hati, bukan pula sinis pada dosen, atau apatis terhadap teknologi canggih tersebut. Tetapi, jika kaos oblong, celana bolong di lutut, atau rambut gondrong saja diprotes matian-matian, atau kalau tidak ikut perintah tidak dapat nilai dari dosen bersangkutan, akankah kebijakan ini imbang? Tidak. Tidak. Jelas ini yang dimaksud dengan kekerasan epistemologi.



Ketua BEM yang saya hormati,

Saya yakin, dari jurusan mana pun Anda mengambil studi,  Anda pasti membaca buku. Kalau Anda tidak suka membaca buku, saya pastikan Anda bukanlah ketua BEM Fakultas Bahasa dan Seni. Kalau begitu, mari sama-sama ke perpustakaan kita yang terletak di GK 1 bagian muka sayap barat. Anda tahu, perpustakaan ini dikenal sebagai perpustakaan yang tidak boleh berkembang! Mengapa, Mimesis buletin milik KMSI edisi keenam tahun 2014 meliput peristiwa itu, mewawancarai Dr. Widyastuti Purbani, MA. wakil dekan I FBS. Atau, Anda bisa temukan juga investigasi ini saat Aksara buletin bulanan Kreativa yaitu tahun 2013 lampau.


Begini, Pak Ketua BEM,

Kebijakan perpustakaan di UNY bersifat sentralistik, demikian juga yang dikatakan Dr. Widyastuti Purbani, MA. wakil dekan kita sekarang. Kata beliau lagi, Perpustakaan FBS kita tidak boleh membesar. Dari pihak dekanat juga tidak ingin membesarkan perpustakaan fakultas karena fungsinya mengakomodasi yang tidak terakomodasi di perpusktaan universitas (hlm. 4). Ya, begitu kata beliau. Apa yang saya katakan pada Anda tidak ada maksud provokatif. Saya tahu Bu Widi pun tidak bisa apa-apa ketika apa yang disampaikannya pada Mimesis adalah kebenaran dari rektorat. Perlu Anda tahu, perpustakaan kita ini melakukan pengadaan buku yaitu pada tahun 2010. Selebihnya buku-buku tersebut didapatkan secara suka rela dari pengarangnya.


Akhir dari investigasi Aksara dan Mimesis tidak membuahkan hasil. Kata-kata mereka hanyalah teriakan yang tidak perlu didengar. Pers kita di fakultas ini adanya seperti tidak adanya. Pers kita lalu tidak bisa berbuat apa-apa. Tetapi, saya sebagai warga FBS masih optimis, menaruh kepercayaan serta loyalitas seorang ketua BEM yang suaranya dapat didengar oleh seluruh warga FBS mulai dari tukang parkir, satpam, cleaning service, hingga ruang-ruang berdingin dosen kita.


Sebagai ketua BEM, Anda tahu di sana bukanlah tempat rekreasi atau tempat untuk menemukan pengalaman indah dan inspiratif. BEM adalah pejabat tertinggi dalam Organisasi Mahasiswa (Ormawa) yang berkantor di Pusat Kegiatan Mahasiswa. Saya yakin siapa pun Anda juga tidak akan banyak memihak orang-orang yang mendukung Anda saat kampanye. Anda sekarang pasti menganggap, lawan Anda tersebut bukanlah gunung yang membentang yang mencegah gerak Anda ke kursi Ketua BEM. Lawan Anda adalah saksi kreatif, yang selalu memberi Anda tantangan dan stimulus demi membangun FBS yang berbudaya ke depan. Bagi saya, ketua BEM yang baik adalah pribadi yang menjadi tiang sandaran sekaligus kabel penyalur mahasiswa ke birokrat FBS.


Pak Ketua,

Ada banyak hal yang ingin saya tunjukkan kepada Anda. Termasuk Pendopo Tedjokusumo, misalnya. Tentu Anda tahu setiap Ormawa yang hendak memakai tempat itu harus menyewa. Sepertinya, perbincangan kita ini sampai di sini dulu. Suatu hari nanti, di tengah kesibukan dan semangat Anda, saya akan dengan lancang mengajak Anda mengobrol lagi tentang kampus kita. Jaga kesehatan dan selamat beraktivitas.



Mawaidi, tinggal di kampuskata@yahoo.com

Sumber:http://novtani.wordpress.com

Kamis, 18 Desember 2014

ENGLISH WEEK: EDSA UNJUK GIGI



Hima Sastra Inggris atau yang biasa disebut Edsa memiliki acara tahunan yaitu English week. Sebuah kegiatan rutin dari tahun ketahun yang berupa rangkaian acara satu minggu yang dibuka dengan “The Weekending of Literature” pada 22 November kemarin.

Event pembuka ini berupa pembacaan puisi dan musikalisasi puisi berbahasa inggris. Mereka unjuk kebolehan dan kemampuan sebagai mahasiswa sastra Inggris Universitas Negeri Yogyakarta. Setelah dibuai dengan sastra, event berlanjut ke arena olahraga. “Sport Competitions.” Minggu pagi disambut dengan perenggangan tarik tambang.

Berlanjut siang hari bermandi peluh bersama Badminton. Sport arena tak berhenti sampai di situ. Senin hingga Selasa 25 November menggelar pertandingan Futsal sebagai puncaknya. Mengundang para penggemar Olah raga untuk berpartisipasi dalam event satu ini.

English Week ditutup pada 26 November lalu, tiga event diadakan sekaligus. Pertama “English Internal Competition” di gedung kuliah 1 FBS UNY. Event ini berupa 3 kompetisi. Di hari yang sama, di Pendopo Tejakusuma diselenggarakan dua event. Yaitu Edsa Fair yang bertemakan “The Spectrum of Sprinkle Memories.” Divisi English week yang bergelut dalam bidang kuliner. Tahun kemarin mereka mengadakan lomba memasak pasta. Kini para peserta akan menghias kue karena tema tahun ini adalah Cake Decoration. Satu lagi event yaitu “Photography Contest” Yang juga bertempat di Pendopo FBS.

Rangkaian acara tersebut bertujuan untuk menunjukan eksistensi Hima Inggris di UNY.  “Kami Hima Sastra dan Pendidikan sastra Inggris ingin menunjukkan eksistensi kami di UNY tercinta ini,ujar Mbak Della selaku Penanggung jawab atau ketua Divisi Edsa Fair. Mereka juga mendatangkan 12 juri mancanegara untuk memeriahkan acara tersebut. “Kalau tahun kemarin Bulenya ikut masak, tapi kalau tahun ini mereka hanya sebagai juri saja,lanjutnya.

Peserta acara English week ini memang kebanyakan warga Sasing dan PBI sendiri. Mahasiswa Sastra Inggris baik murni maupun pendidikan dari segala angkatan turut berpartisipasi. Khusus untuk Photography Contest, peserta mulai bervariasi, ada yang dari Fakultas-fakultas lain di luar FBS bahkan dari kampus tetangga seperti UGM.

Acara berlangsung meriah dan lancar kecuali satu kendala dari Edsa Fair. Sebenarnya untuk mendampingi lomba Cake Decoration, diadakan pula pameran Stand seperti takoyaki, pudding dan lain-lain. Namun berhubung masalah dari peserta stand sendiri yang mendadak tidak bisa datang maka acara tersebut terpaksa dibatalkan. Edsa juga mendatangkan banyak sponsor untuk Doorprize dan hadiah pemenang lomba. Di antaranaya dari Garden café, SS, dan Mangroove. Kita tunggu saja event-event serupa dari Hima jurusan lain yang akan meramaikan Fakultas Bahasa dan Seni yang kaya akan warna dan Budaya. (A.R)

SERBA DUA, SILA KETIGA PANCASILA MENJADI SIAL

Andrian Eka Saputra |


Pancasila

1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Nikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Pancasila yang semestinya menjadi landasan dalam setiap gerak bangsa dan negara, terkadang terlupakan. Karena dianggap hanya sebuah teori yang hanya perlu diketahui, dihafal, dan dibaca di upacara setiap minggunya, atau upacara-upacara tertentu saja. Seandainya saja, pancasila benar-benar menjadi landasan gerak negara, betapa hebatnya negara kita ini?

Isi Pancasila yang tertulis sebagai pembuka tulisan ini adalah siasat penulis, semoga saja bisa mengingatkan pembaca—bagi yang (barangkali) lupa. Setiap orang mempunyai hak untuk melupakan Pancasila, jika ditinjau dari pribadi individu. Tetapi, sebagai warga negara yang berlandaskan hukum, tentu tidak patut jika kita lupa. Setidaknya, ingat hafalan Pancasila itu sudah lebih baik. Akan tetapi, lebih baik lagi jika kita benar-benar mengerti, dan mampu menjalankannya.

Menjalankan Pancasila dengan semurni-murninya, memang sulit. Bahkan, bisa jadi tidak mungkin. Mengingat negara ini, semakin bubrah. Satu sama lain, antar individu, memilih menggunakan haknya untuk egois, dari pada memilih menjalankan kewajiban sebagai kesatuan yang utuh. Ini memang sah-sah saja. Tetapi, hal ini yang membuat kesenjangan antar warga negara. Padahal, dalam Pancasila, tepatnya sila ketiga, telah jelas bagaimana persatuan di Indonesia diatur oleh negara. Bahkan menjadi landasan negara.

Menurut Rukiyati (2013: 61) persatuan yang dimaksud dalam Pancasila adalah satu kesatuan utuh yang tak terpecah. Atau dalam pengertian modern, persatuan Indonesia disebut dengan Nasionalisme. Melainkan bukan sebagai chauvinisme, yang menganggap bangsa Indonesia lebih tinggi dari bangsa yang lain. Ini sama halnya dengan menambah deret kesenjangan antar bangsa.

Terkait hal tersebut, di Indonesia sendiri, memang kurang dalam hal persatuan ini. Hal ini terlihat lebih jelas, akhir-akhir ini. Setiap hal selalu mempunyai lawan tanding. Kita masih ingat, beberapa waktu lalu, negara kita ribut akan hal DPR Tandingan. Miris memang. Tapi, memang nyatanya seperti itu. Tidak ada satu bagian yang mau mengalah, sama-sama mengambil haknya untuk egois. Jika sudah seperti ini, kita melupakan landasan negara kita. Lupa, jika kita diatur oleh tatanan yang telah lama disepakati. Suatu pedoman yang (bahkan) benar-benar dimatangkan pembentukannya.

Sila yang seharusnya mampu membuat warga negara menempatkan kesatuan, persatuan, kepentingan, dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan, malah menjadi sial. Karena sulit untuk terealisasi. Ini bukan kesalahan bangsa, tetapi kesalahan warga negara, yang lupa akan landasannya.

Semua ini bisa diatasi dengan beberapa cara. Salah satunya adalah kembali pada landasan kita, Pancasila. Kembali menelaah, apa yang seharusnya dilakukan dengan adanya aturan dalam Pancasila kita.

Semua hal memang mempunyai tandingan. Ini wajar. Ini lumrah. Tinggal bagaimana kita mampu membuatnya menjadi suatu keberagaaman yang seragam, yang padu, yang satu. Tidak menimbulkan konflik, apalagi konflik yang membahayakan bangsa dan negara.

Peran dari seluruh warga negara tentu sangat membantu. Mulailah dengan cara tidak egois. Membaca kembali kewajiban kita sebagai warga negara yang tinggal di suatu negara. Yang harus berinteraksi satu sama lain. Yang harus menghargai satu sama lain. Hingga tercipta suatu nasionalisme yang murni. Terjalin kesatuan dari kata persatuan Indonesia di sila ketiga Pancasila.[*]

Jogja, Desember 2014


oleh kreativa

Sabtu, 13 Desember 2014

DEBAT BUKAN AJANG MENJATUHKAN (?)

Suasana ketika debat berlangsung |sumber:dokumen pribadi



Kamis siang, 11 Desember 2014 Pendopo Tedjokusuma terlihat berbeda dari biasanya. Ada dua meja yang berhadapan dengan tiga meja di sebelah selatan dan utara pendopo. Siang itu KPU FBS te gah mengadakan debat pasangan calon ketua dan wakil ketua BEM FBS 2015. Meja yang saling berhadapan itu adalah tempat untuk pasangan calon dan para panelis. Para panelis sendiri terdiri dari jajaran dekanat, yang pada siang itu dihadiri oleh seluruh wakil dekan, dan ketua BEM dari tahun 2012 sampai 2014.


Acara yang dimulai pukul 14.00 ini dipandu oleh Muhammat Fandi selaku moderator. Acara debat ini terdiri dari empat sesi, yaitu sesi pengenalan visi misi dari masing-masing pasangan calon, sesi tanya jawab dari panelis, sesi tanya jawab antar pasangan calon, dan sesi tanya jawab dari audiens. Pada sesi pertama, masing-masing pasangan calon menjabarkan visi dan misi menjadi ketua dan wakil ketua BEM FBS 2014 selama durasi 10 menit. Setelah itu pada sesi kedua, masing-masing penanya dari panelis memiliki kesempatan bertanya sebanyak tiga kali, sedangkan waktu menjawab oleh masing-masing pasangan calon adalah tiga menit. Sesi ini diawali oleh pertanyaan dari Widyastuti purbani selaku wakil dekan satu yang menanyakan terkait visi misi kedua calon yang mengangkat tentang kebudayaan. Selanjutnya pertanyaan disampaikan oleh Sudarmadji selaku wakil dekan dua yang menanyakan rencana pengelolaan keuangan. Selanjutnya, Kun setyaning Astuti Wakil dekan tiga menanyakan tentang pengaruh organisasi ekstra kampus


Setelah jajaran dekanat selesai menyampaikan pertanyaan, selanjutnya pertanyaan dari pihak panelis disampaikan oleh masing-masing ketua BEM dari tahun 2012, 2013, dan 2014. Salah satu pertanyaan yang diajukan oleh Arda Setyoko S, Pd selaku ketua BEM tahun 2012 terkait politik praktis. Selanjutnya, sejauh mana pengetahuan masing-masing pasangan calon tentang BEM KM yang kembali menjadi BEM REMA diuji oleh Tommy Syafarsah sebagai ketua BEM FBS 2013. Pertanyaan berbeda disampaikan oleh Rony K. Pratama, ketua BEM 2014. Salah satu pertanyaan dari Rony adalah terkait pengetahuan pasangan calon tentang salah satu pasal yang ada di undang-undang FOM.


Setelah sesi kedua ini selesai, debat dihentikan sejenak untuk melaksanakan shalat Ashar. Setelah itu, dilanjutkan sesi ketiga yaitu tanya jawab antar pasangan calon. Pada sesi ini, antar pasangan calon diberi kesempatan untuk melempar pertanyaan kepada lawan sebanyak dua pertanyaan. Waktu yang diberikan untuk bertanya adalah satu menit dan untuk menjawab adalah dua menit. Sesi ini dimulai dengan pertanyaan yang diajukan oleh pasangan calon nomor urut dua.


Sesi yang ditunggu-tunggu oleh para penonton debat adalah sesi terakhir, yaitu sesi tanya jawab oleh audiens. Pada sesi ini dibuka tiga termin, pada termin pertama dan kedua dibuka dua penanya dan pada termin ketiga dibuka tiga penanya. Antusiasme audiens terhadap debat ini terlihat dari banyaknya mahasiswa yang mengangkat tangan untuk bertanya saat moderator membuka termin. Kekritisan para audiens pun terlihat dari pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan. Pertanyaan yang disampaikan oleh audiens tidak terbatas dari visi misi calon, bahkan ada yang menanyakan terkait kasus di lapangan.


Terlihat memang di debat ini ada dua kubu yang masing-masing adalah pendukung dari nomor urut satu dan dua. Secara terang-terangan bahkan, salah satu dari pendukung tersebut mengajukan pertanyaan untuk pasangan lawan. Seperti Andhi, simpatisan nomor urut dua mengajukan pertanyaan khusus untuk calon ketua BEM nomor urut satu, dan Rio Tri Handoko koord. Timses nomor urut satu mengajukan pertanyaan yang khusus ditujukan untuk pasangan calon nomor urut dua.


Secara keseluruhan, debat ini terbilang sukses mengingat banyaknya audiens yang ikut hadir dan ikut mengapresiasi melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Namun, jawaban-jawaban dari kedua pasangan calon dirasa terlalu teoritis dan belum ada gambaran jelas seperti apa FBS ke depan jika mereka memenangkan pemilwa ini. Pernyataan ini disampaikan oleh Anindya Kusuma mahasiswa PBSI, “saya kan netral ya mba, jadi menurut saya jawaban dari kedua pasangan calon masih terlalu teoritis, yah seperti anggota DPR di Negara kita yang sering memberikan janji-janji”. Jelasnya yang memang saat debat berlangsung memilih tempat di sebelah barat pendopo karena memang tidak termasuk pendukung calon manapun.


Meskipun demikian, debat ini tidak berlangsung sia-sia. Walaupun Anindya mengatakan bahwa kedua calon sama-sama teoritis, namun dengan debat ini dia sudah mulai ada gambaran siapa yang akan dipilihnya kelak, “saya lebih condong ke salah satu pasangan calon mba, yang menurut saya jawabannya tegas dan to the point ke intinya” terangnya dengan tanpa mengatakan paslon nomor urut berapa yang dimaksud.(Aziz)

Kamis, 11 Desember 2014

SAMPAIKAH PESAN KITA KEPADA PEMBACA?

Andrian Eksa |


Menyamarkan sindiran dalam karya sastra, memang ‘aman’ dari pembredelan. Sebab, karya sastra adalah pemikiran yang sering dianggap imajinatif. Dianggap tidak nyata. Meski dari karya sastra, terkadang kita jadi mengetahui suatu kejadian. Tapi, tidak mutlak, hal itu adalah sama persis dengan yang terjadi di lapangan. Beberapa pengarang menulis sebuah karya sastra apa adanya, seperti pada kejadian di lapangan, hanya saja mereka mangganti nama tokoh ataupun latar tempat. Ada pula yang menambah atau mengurangi kejadian itu. Dan ada lagi, yang membahasakan dengan bahasa lain. Dalam artian, sudah masuk dalam penyamaran kejadian. Contohnya, seorang pemimpin digambarkan dengan tokoh hewan, seorang perempuan lacur digambarkan sebagai kupu-kupu atau kunang-kunang. Itu sah-sah saja. Tapi, apa dengan cara disamarkan (baca: dikemas dengan bahasa yang lain) itu, bisa dipahami oleh si Sasaran, manusia yang disindir itu?

Terkadang, ada niat dalam diri kita hendak menegur seseorang yang kiranya melakukan kesalahan. Dikarenakan kurang sopan, atau takut dikatakan kurang ajar, kita mengemasnya dalam karya sastra. Kita berharap, dengan begitu pesan kita sampai dan sopan. Misal, kita hendak menyadarkan teman kita yang korupsi uang kas kelas, lantas hal itu kita sampaikan melalui puisi ataupun cerpen—mungkin juga karya sastra yang lain. Apa teman kita bisa sadar? Belum tentu.

Yang sering menjadi masalah adalah si Sasaran—dalam contoh tersebut adalah teman kita—belum tentu paham tentang sastra. Atau  mungkin, teman kita memahami karya sastra sebagai sebuah karya imajinatif. Karya khayal yang tidak nyata. Hanya rekaan. Tidak memiliki cerita yang nyata. Berbeda dengan ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, matematika, atau karya lainnya. Itu sangat mungkin. Sebab, seseorang yang paham dengan karya sastra pun terkadang tidak tahu, jika misalnya disindir. Lantas, apa karya sastra tetap akan menjadi pelurus penyimpangan?

Perlu terlebih dahulu kita pahami, apa yang diluruskan. Maksudnya, penyimpangan yang mana? Apa semua penyimpangan? Setelah itu, siapa yang hendak kita luruskan. Apa dia paham tentang karya sastra. Apakah nanti hal yang ingin kita sampaikan itu benar-benar sampai. Semua itu, tentu harus kita pahami terlebih dahulu. Agar kita tidak salah mengartikan. Atau kita juga tidak terburu-buru untuk mengatakan, “dasar orang tidak peka!” terhadap si Sasaran.

Memang ada, pendapat yang mengatakan jika karya sastra itu dapat meluruskan penyimpangan. Salah satunya dengan teknik menyamaran itu tadi. Lantas, bagaimana pendapat mereka tentang orang yang tidak tersindir itu? Barangkali, mereka hanya akan mengatakan seperti ini, “tugas kita sebagai penulis, ya menulis. Sebagai kritikus, ya mengkritik. Sebagai sastrawan, ya bersastra. Tapi terlepas dari itu, kita gerak dulu.” 

Tulis! Tulis! Tulis! Itu saja. Kita hanya perlu menulis, perkara apa yang kita tulis itu bisa menyadarkan si Sasaran ataupun tidak, itu subyektifitas. Sebab, ada orang yang ‘peka’ dan ada pula yang kurang ‘peka’.[*]

Jogja, Desember 2014

'Still Life with Three Books' oleh Van Gogh

Jumat, 05 Desember 2014

DEMO DAN DEMI


Fenomena demo di Indonesia, memang sudah menjadi hal wajar. Bahkan ada yang berpendapat wajib. Kalau tidak ada demo, tidak ada suara rakyat yang tersampaikan, begitu kata sebagian orang. Setiap ada kebijakan baru dari pemerintahan, baik daerah maupun pusat, selalu diwarnai dengan demo. Memang, demo adalah salah satu bentuk apresiasi rakyat terhadap keadaan di sekitarnya. Lantas, sebenarnya demo itu demi apa?

Demi rakyat yang tertindas, kata sebagian orang. Demi keseimbangan antara agama dan negara. Demi popularitas semata. Demi harga diri. Dan masih banyak demi, yang dijadikan dalih orang sebagian orang tadi.

Baik demi uang. Atau mungkin ‘demi Tuhan’—kata-kata ini sempat populer di Indonesia beberapa waktu yang lalu. Dan kata-kata ‘demi Tuhan’ itu disengaja atau tidak, muncul dari akibat demo. Meskipun hanya demo melalui media massa.

Menurut saya, demo itu boleh saja. Asal tepat pada tujuannya. Demo tidak hanya sekadar menggaungkan demi-demi. Tapi juga mengarah pada hasil akhir, pencapaian tujuan demo. Yaitu kemaslahatan bersama. Selain itu, demo juga harus sadar diri. Sadar terhadap hak orang lain. Baik hak orang yang tidak ikut demo, tidak tahu demo, ataupun tidak peduli dengan demo. Bukankah salah satu tujuan demo adalah mencapai hak-haknya?

Baru-baru ini, ada demo terjadi di mana-mana, yang merupakan respon rakyat atas kebijakan baru pemerintah yang menaikkan harga BBM. Apa mereka salah? Tentu tidak. Hanya saja, mungkin, cara mereka yang salah. Sehingga mendapat kecaman dari beberapa orang—yang tidak ikut demo. Hal ini menjadi penting bagi kita—baik yang demo ataupun tidak, sebab ini adalah hal umum. Suatu aturan sosial yang harus kita patuhi. Sebab kita hidup bersama. Kalau saja, kita hidup sendiri, tentu ini tidak jadi masalah. Lagi-lagi, ini masalah kenyamanan rakyat.

Dengan adanya demo, sebenarnya, diharapkan bahwa rakyat akan mendapatkan kenyamanan lebih, setelah itu. Seperti demo terhadap kenaikan harga BBM, diharapkan agar harga BBM bisa diturunkan, ini adalah tujuan—kenyamanan rakyat. Jadi kalau cara penyampaian demo itu kurang benar, dan mengganggu kenyamanan rakyat, itu juga percuma. Missal, cara yang ditempuh adalah dengan memblokir jalan, membakar ban di tengah jalan, berarak memenuhi jalan, sehingga terjadi macet. Inilah yang membuat tidak nyaman.

Demo memang selalu identik dengan demi. Jadi, sebelum kita demo, lebih baik kita tentukan dahulu, demi apa. Jika demi—yang menjadi tujuan kita, sudah terjawab. Kita akan lebih arif dalam berdemo.[*]

Jogja, November-Desember 2014


 -ANDRIAN EKSA