Label

Jumat, 31 Oktober 2014

TIGA BUKU DI MALAM SUSASTRA #1

Searah jarum jam: Kun Andyan Anindito (pengarang buku Sebelum Telepon Berdering), Hasta Indriyana (Pembedah), Aulia Husna Hapsamurti (Moderator).

Kreativa Online – Sejumlah cerpenis di Yogyakarta pada Selasa malam (28/10) memeriahkan Tejokusumo FBS Universitas Negeri Yogyakarta. Acara Malam Susastra edisi #1 menyuguhkan tiga buku kumpulan cerpen yang dibedah.

Pertama, Sebelum Telepon Berdering karya Kun Andyan Anindito. Pembicara Hasta Indriyana dan dimoderatori oleh mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FBS Aulia Husna Hapsamurti. Kedua, Kastagila karya Muhammad Qadhafi salah satu wartawan di di Jogja Review. Pembicara mendatangkan seorang penyair muda, Muhammad Aswar alumni UIN Sunan Kaljiga dengan moderator Muhammad Farid Anshori. Buku ketiga milik Eko Triono yaitu Kakek dengan pembicara Asef Saiful Anwar mahasiswa pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Moderator cerpenis Irwan Apriansyah.

Malam Susastra edisi #1 juga mengumumkan Pemenang Anugerah Olimpiade Bahasa dan Sastra KMSI FBS yaitu Kompetisi Ulasan Sastra dan Menuli Cerpen. Hadir para pemenang saat itu Drajat Teguh Jatmiko (UNY), Danang Setya Budi (UNY), Muhammad Ali Tsabit (UAD), Naufil Istikhari Kr (UIN Sunan Kalijaga), Alfian Hargi Qurrahman (UGM), dan Muhammad Ali Fakih (UIN Sunan Kalijaga).

“Acara ini sebenarnya sebuah forum kecil tiap hari senin sore. Kemudian inisatif kami akan terus berlanjut ke depan dua bulan sekali atau tiga,” kata Ketua Susastra KMSI, Muhammad Farid Anshori seusai acara. (Agi)

Kamis, 30 Oktober 2014

DARI TAMU MENJADI TEMU

Andrian Eksa


“Di pendopo inilah terjadi dialog antara pemilik rumah dengan sanak saudara atau tetangga dan masyarakat umum”
-Suseno

Pada umumnya pendopo berfungsi sebagai tempat upacara dan pertemuan bangsawan dengan megarsarinya yang lebih bersifat mewadahi kegiatan keluarga. Namun, berangkat dari pendapat Suseno di atas, dapat kita ketahui jika pendopo tidak hanya digunakan untuk acara keluarga, melainkan juga untuk orang lain—di luar keluarga.

Lalu, bagaimana dengan pendopo yang dibangun di tempat pendidikan? Apakah hanya sebagai tempat penerimaan tamu? Tentu saja tidak. Seperti Pendopo Tedjokusumo di Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta. Pendopo yang dibangun di depan Stage Tari ini memiliki keunikan tersendiri. Pendopo Tedjokusumo ini disangga oleh dua belas tiang. Sedangkan pada umumnya pendopo hanya disangga oleh empat tiang.

Selain sebagai penerimaan tamu sementara—sebelum memasuki Stage Tari, Pendopo Tedjokusumo juga digunakan sebagai tempat latihan menari, pagelaran seni pertunjukan, pembelajaran, atau sekadar untuk berkumpul. Hampir tidak pernah sepi tempat yang satu ini. Sebab di tempat ini udara sangat enak untuk dinikmati. Tidak ada dinding yang menyekat, jadi udara lebih segar. Selain itu, kekeluargaan juga semakin terasa erat.

Di antara Pendopo Tedjokusumo dan Stage Tari juga dibangun sebuah bangunan yang kedudukannya lebih tinggi dari Pendopo Tedjokusumo. Bangunan ini dilingkupi oleh dinding masif, kecuali  yang menghadap ke pendopo. Bangunan ini sering disebut Pringgitan. Atau tempat yang biasanya digunakan sebagai tempat pagelaran wayang. Sama seperti namanya, Pringgitan, ini didasarkan pada kata ringgit yang berarti wayang. Bangunan yang menjadi penghubung antara Pendopo Tedjokusumo dan Stage Tari ini diharapkan bisa menjadi pengantar atau jalan menuju tempat yang lebih baik. Tempat untuk belajar memahami diri sebelum memasuki Stage Tari. Seperti itulah yang diharapkan. Karena di Pringgitan juga sebagai tempat pagelaran wayang—di mana wayang sebagai bahan belajar manusia.

Namun tetap saja, di hari-hari biasa, kedua tempat ini hanya sebagai tempat berkumpul. Tempat bertemu, bukan bertamu. Karena tempat ini bukan pendopo dan pringgitan yang disakralkan seperti di keraton.


Jogja, Oktober 2014

PERGESERAN MAKNA

Khusnul Khitam (Kuki)


Ketika itu, saya merasa tidak yakin bisa mengerjakan tuntutan membuat esai dari sebuah organisasi pers mahasiswa yaitu Kreativa. Esai itu mengharuskan saya membahas tentang pendapa (atau dibaca pendopo dalam bahasa Jawa). 

Saya merasa tidak ada hal yang bisa saya bahas dari bangunan tradisional Jawa itu. Sebuah bangunan yang saya ketahui selalu tanpa dinding di manapun berbagai pendapa berada. Struktur ini kebanyakan dimiliki rumah besar atau keraton, letaknya biasanya di depan bangunan utama tempat tinggal penghuni rumah. Tidak hanya rumah, masjid-masjid, kampus dan lain sebagainya juga kerap kali memiliki pendapa.

Fungsi utama dari pendapa adalah tempat untuk menerima tamu, bersosialisasi dengan keluarga, kerabat maupun masyarakat. Pendapa sendiri bukan hanya sekadar sebuah tempat, melainkan mengandung makna yang lebih dalam yakni bentuk kerukunan antara pemilik rumah dengan masyarakat. Dan karena pendapa biasanya besar, pendapa ini biasanya difungsikan pula sebagai tempat untuk latihan tari, pertemuan, dan sebagainya.

Namun, dalam era globalisasi ini, telah terjadi pergeseran makna maupun fungsi, walaupun eksistensi/ keberadaannya masih diakui sebagai pendapa. Bisa kita lihat, pendapa Tedjakusuma lebih banyak kegiatan yang mempersilakan mahasiswa untuk duduk-duduk santai di sekitaran pendapa Tedjakusuma ketimbang sebagaimana fungsinya. Fungsi bersosialisasi, kerukunan, menjadi arti yang berbeda. Dapat dipastikan setiap hari, banyak mahasiswa yang nongkrong, makan atau sekadar ngobrol di pendapa tersebut. Hal ini, tentu tidak ada kaitannya dengan fungsi pendapa yang seharusnya. Akan tetapi, karena hal tersebut sudah menjadi barang biasa, maka seakan tidak ada yang  perlu untuk dipermasalahkan.

Perubahan fungsi ini, tentu pada dasarnya  terjadi karena adanya modifikasi dalam perangkat-perangkat ide yang disetujui secara sosial oleh latar belakang yang menduduki mayoritas lingkungannya. Jika hal ini terus menerus dan menjadi suatu hal yang biasa, tentu tidak akan ada jarak antara fungsi pendapa dengan tempat lain. Kedudukannya akan sama, tidak ada lagi “formalitas”_dalam artian yang sederhana, menghormati pendapa. Mereka akan memperlakukan pendapa dengan sama, artinya, eksistensi/keberadaan pendapa tidak lebih dari tempat untuk nongkrong biasa.

Samirono, 30 Oktober 2014 pkl. 23: 48