Label

Sabtu, 22 November 2014

BBM DAN GEJOLAK UTANG NEGARA

Demo mahasiswa menolak kenaikan BBM |Foto: detikriau.org



Beberapa hari yang lalu Presiden Republik Indonesia Jokowi Widodo, resmi menetapkan kenaikan harga BBM bersubsidi. Harga premium yang semula Rp.6500 naik menjadi Rp.8500, sedangkan untuk solar naik dari Rp.5500 menjadi Rp.7500.

Kenaikan yang cukup signifikan memang. Tak heran jika banyak masyarakat yang turun ke jalan bahkan kaum yang notabene kaum intelektual pun turun ke jalan dengan alasan menyampaikan aspirasi, mengingat Indonesia merupakan Negara demokrasi, di mana menyampaikan aspirasi menjadi sebuah hak. Tetapi, haruskah begitu? Tak ada hukum yang menjerat ketika suatu kelompok masyarakat akan melakukan demonstrasi. Tak banyak pula orang yang mau peduli dengan aksi mereka. Itu artinya sah-sah saja ada demonstrasi. Negara lain yang memiliki sistem demokrasi pun begitu. Tetapi, kemudian apa yang membedakan?

Di Indonesia segala kemungkinan bisa terjadi. Tawuran, bentrok antara aparat keamanan dan para demonstran, semua itu merupakan bentuk demonstrasi yang anarkis. Contohnya di Solo, orang menyebutnya ‘geger’ karena sampai ada yang jadi korban tewas. Demo tak masalah, yang jadi masalah ketika sudah menjadi anarkis siapa yang mampu menangkis? Banyak pula pihak yang merasa dirugikan karena adanya demonstrasi. Contohnya, kemarin ada kabar berita bahwa ada seorang ibu yang biasanya berjualan HIK, gagal berjualan karena tempat yang biasa dipakai untuk berjualan dipakai para demonstran untuk berdemo. Itu baru seorang penjual HIK, belum yang lain-lain, bisa dibayangkan sendiri bagaimana reaksinya.

Sebenarnya kenapa Presiden baru kita ini memutuskan untuk menaikkan harga BBM setelah era presiden sebelumnya juga menaikkan harga BBM. Agaknya BBM sudah menjadi komoditas utama bagi negara yang kaya akan sumber daya alam ini, sehingga setiap jengkal perubahan yang terjadi pasti akan menjadi sorotan. Seorang presiden tidak mungkin sembarangan mengambil keputusan, apalagi berhubungan dengan hal yang sangat riskan. Sudah seharusnya ada alasan yang nantinya bisa diterima oleh semua pihak dan lapisan masyarakat termasuk yang saat ini sedang melakukan demo. Mungkin saat ini kita bersedih. Karena BBM naik berarti semua harga kebutuhan juga otomatis ikut naik, inflasi di mana-mana, rakyat menderita. Iya, jangka pendeknya begitu, tapi coba ditelaah dengan saksama dengan hati dan pikiran yang jernih.

Ketika presiden menaikkan harga BBM, yang sebenarnya bukan karena harga minyak dunia naik, pemerintah bisa menghemat APBN yang dialokasikan untuk BBM bersubsidi yang tidak sedikit. Dari dana APBN tersebut, pemerintah akan mengamanahkannya untuk kepentingan pembangunan infrastruktur termasuk transportasi. Ketika biaya transportasi membaik, semua masyarakat bisa menggunakan fasilitas transportasi dengan baik maka diharapkan harga barang menurun, dengan begitu negara bisa bersaing di pasar bebas dengan produk sendiri. Dengan begitu, akan tersedia banyak lapangan kerja maka rakyat pun bias sejahtera. Kalau diperibahasakan itu seperti 'bersakit-sakit dulu bersenang-senang kemudian'.

Ada beberapa orang yang berpendapat bahwa demi kesejahteraan rakyat seorang pemimpin harus berkorban meskipun harus berutang. Agaknya pendapat ini perlu diluruskan. Bukankah ketika negara memiliki utang yang berlimpah, itu berarti rakyat pun harus menanggung utang tersebut? Bayangkan ketika utang yang sekarang kurang lebih sudah mencapai 3000 triliun rupiah ditambah dengan utang yang baru, maka bisa dibayangkan betapa banyak utang yang harus ditanggung per kepala. Bisa jadi anak cucu kita nanti masih menanggung utang ibu-bapaknya. Sungguh tak ingin hal seperti ini terjadi di tanah kelahiran sendiri.

Setiap keputusan pasti ada resiko, yang perlu dilakukan hanyalah beradaptasi dengan situasi yang baru, berusaha untuk mencari penghidupan. Bisa jadi hal ini merupakan ujian dari Yang Maha Kuasa kepada umatnya agar bias bertahan di tengah badai kehidupan. Pemerintah pun tak diam saja terhadap rakyatnya, ada kompensasi untuk masyarakat miskin dan semoga tepat sasaran. Ketika semua orang sudah mulai beradaptasi dengan perubahan, maka diharapkan tidak ada masalah berarti yang akan muncul.

  
Henggar S, anggota baru LPPM Kreativa.

Tidak ada komentar: