Andrian Eksa |
Menyamarkan
sindiran dalam karya sastra,
memang ‘aman’ dari pembredelan. Sebab, karya sastra adalah pemikiran yang sering dianggap
imajinatif. Dianggap tidak nyata. Meski dari karya sastra, terkadang kita jadi
mengetahui suatu kejadian. Tapi, tidak mutlak, hal itu adalah sama persis
dengan yang terjadi di lapangan. Beberapa pengarang menulis sebuah karya sastra
apa adanya, seperti pada kejadian di lapangan, hanya saja mereka mangganti nama
tokoh ataupun latar tempat. Ada pula yang menambah atau mengurangi kejadian
itu. Dan ada lagi, yang membahasakan dengan bahasa lain. Dalam artian, sudah
masuk dalam penyamaran kejadian. Contohnya, seorang pemimpin digambarkan dengan
tokoh hewan, seorang perempuan lacur digambarkan sebagai kupu-kupu atau
kunang-kunang. Itu sah-sah saja. Tapi,
apa dengan cara disamarkan (baca: dikemas dengan bahasa yang lain) itu, bisa
dipahami oleh si Sasaran, manusia yang disindir itu?
Terkadang,
ada niat dalam diri kita hendak menegur seseorang yang kiranya melakukan
kesalahan. Dikarenakan kurang sopan, atau takut dikatakan kurang ajar, kita
mengemasnya dalam karya sastra. Kita berharap, dengan begitu pesan kita sampai
dan sopan. Misal, kita hendak menyadarkan teman kita yang korupsi uang kas
kelas, lantas hal itu kita sampaikan melalui puisi ataupun
cerpen—mungkin juga karya sastra yang lain.
Apa teman kita bisa sadar? Belum tentu.
Yang sering menjadi masalah adalah si Sasaran—dalam
contoh tersebut adalah teman kita—belum tentu paham tentang sastra. Atau mungkin, teman kita memahami karya sastra
sebagai sebuah karya imajinatif. Karya khayal yang tidak nyata. Hanya rekaan.
Tidak memiliki cerita yang nyata. Berbeda dengan ilmu pengetahuan alam, ilmu
pengetahuan sosial, matematika, atau karya lainnya. Itu sangat mungkin. Sebab,
seseorang yang paham dengan karya sastra pun terkadang tidak tahu, jika
misalnya disindir. Lantas, apa karya sastra tetap akan menjadi pelurus
penyimpangan?
Perlu terlebih dahulu kita pahami, apa yang diluruskan.
Maksudnya, penyimpangan yang mana? Apa semua penyimpangan? Setelah itu, siapa
yang hendak kita luruskan. Apa dia paham tentang karya sastra. Apakah nanti hal
yang ingin kita sampaikan itu benar-benar sampai. Semua itu, tentu harus kita
pahami terlebih dahulu. Agar kita tidak salah mengartikan. Atau kita juga tidak
terburu-buru untuk mengatakan, “dasar
orang tidak peka!” terhadap si Sasaran.
Memang ada, pendapat yang mengatakan jika karya sastra
itu dapat meluruskan penyimpangan. Salah satunya dengan teknik menyamaran itu
tadi. Lantas, bagaimana pendapat mereka tentang orang yang tidak tersindir itu?
Barangkali, mereka hanya akan mengatakan seperti ini, “tugas kita sebagai penulis, ya menulis. Sebagai kritikus, ya
mengkritik. Sebagai sastrawan, ya bersastra. Tapi terlepas dari itu, kita gerak
dulu.”
Tulis! Tulis! Tulis! Itu saja. Kita hanya perlu menulis,
perkara apa yang kita tulis itu bisa menyadarkan si Sasaran ataupun tidak, itu
subyektifitas. Sebab, ada orang yang ‘peka’ dan ada pula yang kurang ‘peka’.[*]
Jogja, Desember 2014
'Still Life with Three Books' oleh Van Gogh |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar