Label

Kamis, 11 Desember 2014

SAMPAIKAH PESAN KITA KEPADA PEMBACA?

Andrian Eksa |


Menyamarkan sindiran dalam karya sastra, memang ‘aman’ dari pembredelan. Sebab, karya sastra adalah pemikiran yang sering dianggap imajinatif. Dianggap tidak nyata. Meski dari karya sastra, terkadang kita jadi mengetahui suatu kejadian. Tapi, tidak mutlak, hal itu adalah sama persis dengan yang terjadi di lapangan. Beberapa pengarang menulis sebuah karya sastra apa adanya, seperti pada kejadian di lapangan, hanya saja mereka mangganti nama tokoh ataupun latar tempat. Ada pula yang menambah atau mengurangi kejadian itu. Dan ada lagi, yang membahasakan dengan bahasa lain. Dalam artian, sudah masuk dalam penyamaran kejadian. Contohnya, seorang pemimpin digambarkan dengan tokoh hewan, seorang perempuan lacur digambarkan sebagai kupu-kupu atau kunang-kunang. Itu sah-sah saja. Tapi, apa dengan cara disamarkan (baca: dikemas dengan bahasa yang lain) itu, bisa dipahami oleh si Sasaran, manusia yang disindir itu?

Terkadang, ada niat dalam diri kita hendak menegur seseorang yang kiranya melakukan kesalahan. Dikarenakan kurang sopan, atau takut dikatakan kurang ajar, kita mengemasnya dalam karya sastra. Kita berharap, dengan begitu pesan kita sampai dan sopan. Misal, kita hendak menyadarkan teman kita yang korupsi uang kas kelas, lantas hal itu kita sampaikan melalui puisi ataupun cerpen—mungkin juga karya sastra yang lain. Apa teman kita bisa sadar? Belum tentu.

Yang sering menjadi masalah adalah si Sasaran—dalam contoh tersebut adalah teman kita—belum tentu paham tentang sastra. Atau  mungkin, teman kita memahami karya sastra sebagai sebuah karya imajinatif. Karya khayal yang tidak nyata. Hanya rekaan. Tidak memiliki cerita yang nyata. Berbeda dengan ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, matematika, atau karya lainnya. Itu sangat mungkin. Sebab, seseorang yang paham dengan karya sastra pun terkadang tidak tahu, jika misalnya disindir. Lantas, apa karya sastra tetap akan menjadi pelurus penyimpangan?

Perlu terlebih dahulu kita pahami, apa yang diluruskan. Maksudnya, penyimpangan yang mana? Apa semua penyimpangan? Setelah itu, siapa yang hendak kita luruskan. Apa dia paham tentang karya sastra. Apakah nanti hal yang ingin kita sampaikan itu benar-benar sampai. Semua itu, tentu harus kita pahami terlebih dahulu. Agar kita tidak salah mengartikan. Atau kita juga tidak terburu-buru untuk mengatakan, “dasar orang tidak peka!” terhadap si Sasaran.

Memang ada, pendapat yang mengatakan jika karya sastra itu dapat meluruskan penyimpangan. Salah satunya dengan teknik menyamaran itu tadi. Lantas, bagaimana pendapat mereka tentang orang yang tidak tersindir itu? Barangkali, mereka hanya akan mengatakan seperti ini, “tugas kita sebagai penulis, ya menulis. Sebagai kritikus, ya mengkritik. Sebagai sastrawan, ya bersastra. Tapi terlepas dari itu, kita gerak dulu.” 

Tulis! Tulis! Tulis! Itu saja. Kita hanya perlu menulis, perkara apa yang kita tulis itu bisa menyadarkan si Sasaran ataupun tidak, itu subyektifitas. Sebab, ada orang yang ‘peka’ dan ada pula yang kurang ‘peka’.[*]

Jogja, Desember 2014

'Still Life with Three Books' oleh Van Gogh

Tidak ada komentar: