Label

Sabtu, 27 Juni 2015

Pelepasan KKN UNY Semester Khusus 2015






Jumat  pagi (26/06), sekitar 4000 mahasiswa UNY 2015 memadati GOR UNY untuk mengikuti upacara pelepasan KKN  semester khusus. Kuliah Kerja Nyata (KKN) adalah bagian dari sistem pendidikan tinggi yang menempatkan mahasiswa di luar kampus agar mahasiswa hidup ditengah-tengah masyarakat. Menurut data yang diberikan oleh Agus selaku Subag Informasi LPPM, “Tahun ini ada sekitar seribu satu mahasiswa  untuk yang  KKN shif dua , dan tigaribu sekian untuk yang shif satu di bulan Ramadhan”. Meskipun acara pelepasan  KKN shift 1 dan shift 2 diadakan bulan Ramadhan, namun tak ada kendala dalam teknis acara pelepasan KKN semester khusus ini. Drs. Hiryanto, M.Si  selaku Dosen Pembimbing Lapangan dari daerah Kabupaten Gunung Kidul mengatakan bahwa semua berjalan lancar, “Hanya saja mahasiswanya banyak sekali yang datang telat kesiangan”.
Acara pelepasan yang dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya ini antusias diikuti oleh mahasiswa yang terbagi menjadi beberapa wilayah seperti Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Magelang, Kabupaten Klaten, Kota Yogyakarta, Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Bantul. “Selain bertemakan Posdaya (Pos Pemberdayaan Keluarga-red), khusus untuk daerah Bantul ditempatkan di daerah wisata seperti Parangtritis,Imogiri,dll. Diharapkan mahasiswa yang mendapat jatah di wilayah ini bisa memaksimalkan potensi wisata dan membuat profil tentang desa wisata ini” terang Drs. Hiryanto, M.Si.
Sempat beredar rumor tentang mahalnya pembiayaan program KKN daerah Bantul yang beredar di jejaring media, Irvan dari Jurusan Biologi FMIPA selaku ketua kelompok Jetis Bantul mengatakan bahwa hal tersebut wajar saja karena pembiayaannya sudah termasuk biaya hidup berupa makan, listrik, air, dan lain-lain. Drs. Hiryanto juga menambahkan,” Ya wajar saja mahal  sampai sebelas juta, soalnya dulu itu bekas tempat KKN UGM, nah mereka iuran per anak tigapuluh ribu setiap hari dikali tigapuluh dikali sebelas anak. Jadi, tigapuluh ribu sudah termasuk program dan biaya kehidupan”, tambahnya.
Untuk pembiayaan sendiri, seperti tahun-tahun sebelumnya  LPPM sudah membekali dana sekitar Rp 40.000 per mahasiwa. “Harapannya bisa membantu program KKN mereka, semoga tahun depan naik karena sudah bergantung kepada biaya UKT” terang Drs. Hiryanto.  
Ditanya mengenai persiapan penerjunan KKN UNY 2015 semester khusus untuk  kelompok shift I banyak yang  terkendala waktu. Ajeng dari jurusan Pendidikan IPS yang ditempatkan daerah  Kota Gede mengatakan, “Ada beberapa kendala untuk KKN shift satu, yang pertama karena pelaksanaannya bulan Ramadhan sudah seminggu lagi jadi mepet untuk persiapan bikin program matriknya, apalagi nanti ga ada cutinya Cuma tiga hari yaitu H-1 dan Lebaran, dan H+1 Lebaran ” ungkapnya. (I/K)

Selasa, 09 Juni 2015

Himasik: Alat Musik Kurang, Kami Harus Pinjam




Sarana prasarana merupakan salah satu hal yang penting untuk kegiatan perkuliahan.Kurangnya fasilitas dapat menggangu mahasiswa dalam berkarya, seperti yang dirasakan mahasiswa Pendidikan Seni Musik FBS UNY. Mahasiswa mulai mengeluh dengan fasilitas yang disediakan fakultas untuk kegiatan mereka, terutama kegiatan di luar perkuliahan.
“Kekurangan alat musik, nyatanya kalau konser kita harus pinjam alat ke marching band,” terang Muhammad Sinang mahasiswa seni music angkatan 2014. Mahasiswa musikmasih bertanya- Tanya mengenai pengadaan alat baru. Menurut Latiano Kristanto, dulu pernah ada kasus pengadaan alat music oleh fakultas. Namun, pengadaan alat ini tidak diketahui oleh jurusan. Sehingga, alat yang dibeli tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Dari pihak fakultas menyatakan bahwa akan ada pengadaan alat baru. Pengadaan alat ini terutama untuk mengisi kekosongan alat di gedung baru, sehingga dapat cepat digunakan. Pengadaan alat didapatkan melalui lelang yang rencananya akan dilaksanakan bulan Juli mendatang. Sedangkan untuk target pengadaan alat, fakultas menargetkan paling lambat akhir tahun ini. Hal ini dipertegas dengan pernyataan Mudaqir, S.I.P, “Ada, ini kita dana-dana fakultas itu ada, kemudian yang dari IDB sama ini kita sudah rencana bulan-bulan besok sekitar bulan Juli mau upload untuk lelang alatnya.”
Selain fasilitas kampus, mahasiswa juga mengeluhkan jam malam yang ditentukan oleh fakultas hanya sampai pukul 22.00 WIB. Sedangkan mahasiswa perlu waktu latihan yang lama terutama ketika akanadaevent  penting untukanakmusik. “Waktunya juga dibatasi dengan jam malam yang hanya sampai pukul sepuluh malam. Padahal menurut kami, kalau cuma dari jam tujuh sampai jam sepuluh itu masih kurang.” Jelas Lareza Saputra selaku ketua Himasik.
Beberapa mahasiswa juga mempertanyakan perawatan alat musik.Pasalnya peralatan musik sudah mulai rusak dan tidak layak digunakan.“Perawatan alat itu kurang, jadi banyak yang rusak,” papar Aldo Ahmad mahasiswa seni musik 2011.
Tetapi, pihak fakultas sendiri, dalam hal ini Tata Usaha, menyatakan pihaknya sudah berusaha melengkapi peralatan musik untuk mahasiswa, tetapi memang usia peralatantersebut sudah tua sehingga banyak yang telah rusak. Namun, untuk masalah perawatan mereka menegaskan sudah dilakukan perawatan oleh pihak kampus.“Mungkin sudah tiap hari diadakan perawatan, paling tidak ya pengecekan, tapi yang jelas perawatan itu sudah dilaksanakan,” terang Mudaqir S.I.P. selaku kepala Tata Usaha FBS.
Tetapi pihakfakultas menegaskan bahwa fakultas memang tidak bisa menyediakan ruang kuliah hingga lebih dari pukul 22.00 WIB, tetapi ada pengecualian untuk kegiatan seperti pentas atau ujian.“Untuk jam malam hari kita tidak bisa, jam kerja kok24 jam, untuk pemakaian dalam ruangan kita batasi sampai jam sepuluh malam kecuali untuk beberapa kegiatanyang besar seperti pentas atau ujian.” Keberadaan gedung baru yang belum dapat digunakan pun membuat mahasiswa harus kuliah di tempat berbeda dengan jarak yang tidak dekat.Walaupun sudah ada penggantian ruang, tetapi mahasiswa masih merasa kesulitan untuk kegiatan di luar kuliah.“Dan juga untuk biki event kemarin untuk pentas, ruang untuk latihan kita terbatas”. Untuk masalah gedung baru, pihak fakultas menginformasikan gedung baru tersebut selesai waktu pemeliharaannya hingga tanggal 30 Juni 2015. Namun untuk penggunaannya sendiri masih menunggu kelengkapan alat dalam gedung baru tersebut.
Lebih lanjut pihak fakultas mengatakan, penambahan alat untuk gedung baru, dananya didapatkan dari dua sumber yaitu Badan Layanan Umum(BLU) dan dari Islamic Development Bank IDB) itu sendiri. Sementara itu fakultas masih bersedia memberikan izin bagi mahasiswa yang akan menggunakan gedung untuk keperluan tertentu dengan waktu terbatas dan alasan yang jelas.
Mahasiswa berharap ada komunikasi yang baik antara mahasiswa dengan pihak fakultas. Mereka berharap fakultas menyediakan wadah diskusi untuk mahasiswa dan pihak fakultas agar dapat saling berkomunikasi secara langsung. Sehingga kedepannya tidak adalagi miss komunikasi baik mengenai alat atau pun hal-hal lain yang berkaitan dengan kegiatan mahasiswa. Mahasiswa juga mengharapkan adanya pengertian dari pihak kampus akan kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh mahasiswa, karena selama ini mahasiswa menganggap bahwa fakultas kurang menaruh perhatian atau seolah tidak mau tahu akan kegiatan di luar kuliah mahasiswa. Dengan nadanya saling pengertian antara pihak satudengan yang lain, maka kegiatan mahasiswa pun tidak akan terbentur dengan kendala fasilitas. (Henggar)

Jumat, 05 Juni 2015

CANDIK ALA 1965: SUDUT PANDANG KELAM DARI MATA SEORANG ANAK



 




Judul                    : Candik Ala 1965
Penulis                 : Tinuk R. Yampolsky
Penerbit               : KataKita
Tahun Terbit        : Cetakan pertama Juni 2011
Tebal halaman     : 222 halaman
ISBN                   : 978-979-3778-66-2

Kepolosan dan keluguan dari seorang anak merupakan suatu hal yang menarik. Masa anak-anak yang penuh dengan keingintahuan menjadi suatu yang dapat dikatakan sebagai ciri dari masa anak-anak. Melalui novel Candik Ala 1965, Tinuk R. Yampolskymemaparkan peristiwa menakutkan yang terjadi pada tahun 1965 dari sudut pandang seorang anak.

Tahun 1965 menjadi sebuah tahun yang sangat kelam bagi rakyat Indonesia. seperti yang kita ketahui, tapi jujur saja setelah membaca novel ini, saya baru mengetahui apa yang terjadi pada tahun 1965. Pencidukan dan penumpasan para anggota PKI atau oknum-oknum yang diduga terlibat dalam gerakan PKI terjadi pada tahun 1965.

Peristiwa pencidukan para anggota PKI dalam novel ini dipaparkan melalui sudut pandang seorang anak kecil yang bernama Nik. Peristiwa pencidukan itu terjadi di kota Solo tempat tinggal Nik dan keluarganya. Nik masih berusia 7 tahun, ia menjadi saksi mata peristiwa kelam tanpa mengetahui persisnya apa yang sedang terjadi. Yang diketahuinya hanyalah para tentara menciduk tetangga-tetangganya satu per satu dan akhirnya mendengar bahwa akhirnya mereka dibunuh. Ia pun mendengar kabar kalau salah seorang temannya yang bernama Sarjono dijauhi dan disingkirkan oleh teman-temannya, karena keluarga Sarjono terlibat dalam PKI.
Ketidaktahuan Nik yang masih polos terhadap peristiwa penumpasan anggota PKI tersebut ternyata terbawa hingga ia dewasa. Lambat laun Nik akhirnya mengerti apa yang sebenarnya terjadi dalam peristiwa penumpasan anggota PKI pada waktu ia masih kecil. Peristiwa kelam yang dialaminya pada waktu kecil digambarkan seperti candhik ala  di senja hari di mana ada rasa sedih dan sepi.
Candhik Ala adalah ungkapan Jawa yang berarti langit kuning kemerahan menjelang senja. Judul ini seakan ingin mengatakan bahwa tahun-tahun itu langitpun pun ikut memerah karena di bumi banyak darah tertumpah.  

Menggunakan sudut pandang seorang anak kecil yang masih sangat polos dan tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, menjadi sebuah keunggulan. Isi cerita menjadi lebih nyata dan apa adanya. Apa yang dirasakan dan dialami oleh seorang anak kecil lebih menggambarkan kelamnya situasi saat itu, ada ketakutan, kecemasan, kebencian dan ketidakbebasan.
Novel ini ditulis menggunakan bahasa yang halus, jelas, sederhana dan mudah dipahami. Pilihan kata yang dipakai dalam novel ini sangat menarik pula. Latar belakang penulis sebagai orang Jawa mendorong adanya menggunakan istilah-istilah dalam bahasa Jawa. Penggunaan bahasa Jawa dalam novel ini mendukung latar tempat cerita di Solo. Namun, dalam novel ini tidak dilengkapidengan catatan kaki yang menunjukkan definisi dari istilah-istilah Jawa tersebut. Hal ini membuat para pembaca non Jawa kesulitan untuk memahami isi novel ini. (ovityas)