Label

Senin, 23 Maret 2015

Jurus Pengemis Kecil

- Ovi Tyas

Angin bersemilir lembut, menggelitik hidung Giok yang gatal diterpa rambut. Hangat sinar mentari menerpa ujung kakinya yang telanjang. Rombongan para lalat dan nyamuk mulai datang tanpa diundang. Membuat bising telinga dan risih sekujur tubuhnya tercolek badan lalat. Dengan mata yang masih bersemangat mengatup Giok berusaha bangun. Ia menyandarkan tubuh yang masih belum sepenuhnya sadar itu ke sisi tong sampah. Jalanan sudah ramai dengan ibu-ibu yang hilir mudik asik berbelanja sayuran. Ia menduga bahwa saat ini jam menunjukkan pukul enam pagi.


Seorang ibu yang mengenakan jubah merah jambu menarik perhatiannya. Tas belanjanya telah dipenuhi kangkung dan segala tetek bengek bumbu dapur. Giok mulai mendekatinya.

“Bu, bisakah saya membantu ibu membawa barang belanjaan ibu?”

“Aah nggak usah deh, saya bisa sendiri dek.” Ibu itu kembali melanjutkan tawaran kepada si penjual.
“Tas Ibu sudah sarat muatan, apa Ibu tidak keberatan membawanya?”

“Saya sudah keberatan membawa badan saya, tak usah kau tambahi dengan merelakan recehan untukmu.”
Giok langsung menyimpulkan bahwa ibu ini amatlah kikir. “Ayolah bu saya bantu, kasihani saya belum makan dari kemarin bu.” Jurus merajuk mulai ia praktekan.

“Waah kasihan sekali kau nak. Tapi saya hanya punya kangkung dan bawang merah tuh di tas, tidak punya makanan. Jadi kamu percuma minta makan sama saya.” Ia menatap tas biru yang memang berisi kangkung di samping ibu itu.

Waah nggak peka nih si ibu, gerutunya dalam hati.

“Saya tidak akan minta makan dari ibu.”

“Nah gitu dong, ya udah sana pergi.”

“Memang saya tidak akan meminta makan dari ibu, tapi bisakah saya melihat hati nurani ibu?” jurus hati nurani mulai beraksi.

Ibu itu mulai terdiam, sepertinya ia mulai menyadari kekosongan hati nuraninya dan bertekuk atas jurus kedua Giok. Tangan besar wanita paruh baya itu mulai meraba isi dompetnya. Bung Karno-Hatta, Om Ngurah Rai, Ibu pemetik teh dan paman Pattimura tengah berleha di sana. Giok semakin kegirangan. Ibu itu mengelurkan tiga paman Pattimura kepadanya. Aah kutu kupret nih si ibu! Tiga ribu perak buat makan apa? Gerutunya setelah menerima uang itu.

“Maaf ya dek, Ibu cuma punya segitu.”

Iya, maksudnya yang receh emang segini. Batinnya.

“Buat beli cilok deh, cukup kenyang kok.”

Cukup kenyang gundulmu. Giok semakin naik pitam dengan ibu kikir ini. Tapi sebagai jurus terakhir ia harus tetap menyempatkan ucapan terima kasih walau hati sesepet apapun. Ibu itu kembali melanjutkan tawarannya kepada penjual sedangkan Giok segera beranjak menuju beskem, di samping tong sampah untuk bersandaran. Ia meraba kantongnya dan mengeluarkan segala pahlawannya. Dua pahlawan Om Ngurah Rai, seorang ibu pemetik teh, dua pahlawan Imam Bondjol, dan tiga Paman Pattimura berada di genggamannya.

“Hari ini mau menu sarapan apa ya? Soto enak kayaknya, perutku butuh kehangatan.” Sambil mengusap-usap perut kerempengnya. Kaki kecilnya membawanya ke sebuah soto khas daerah Jawa Timur. Warung itu telah dipenuhi para sopir angkot dan beberapa kawan-kawannya, sesama pengemis kecil di pasar yang kumuh dan menjijikkan.

“Hei Giok! Apa kabar kau?” sapa salah satu temannya.

“Seperti yang kau lihat. Perutku masihlah kerempeng dan membutuhkan asupan gizi. Kabarku baru bisa dibilang baik jika perutku sudah sesubur dia.” Telunjuknya mengarah ke badan seorang laki-laki yang mengenakan seragam di tengah jalan raya.

Temannya tergelak dibuatnya, “Alah tidak usah mimpi kau. Sampai kau matipun kabarmu belum bisa dibilang baik.”

Giok menghela nafas. Hembusan nafasnya mengiyakan jawaban temannya. Nasibnya akan tetap seperti ini. Meminta dan memelas. Tak ada yang akan berubah. Keajaiban, rahmat, karunia, atau apapunlah itu ia sudah muak. Kata-kata yang sudah sangat basi baginya. Ia tak percaya dengan itu semua.

“Urus saja perut kerempengmu agar cepat menggembung, jangan kau melamun saja. Keburu dingin sotomu.” Ujar temannya membuyarkan lamunannya.

“Aah kau cerewet sekali! Seperti ibu gendut tadi.”

Temannya hanya tertawa mendengar makian Giok dan melangkah mencari mangsa lagi. Tatapannya bersama langkah-langkah kecil yang mulai meninggalkannya. Mereka senasib, pengemis kecil yang kerempeng. Jauh dari kebahagiaan. Entah di mana orang tua jahanam yang membuang mereka ke tempat yang menjijikkan berlumur sampah seperti ini. Mereka hidup sendiri, mengurus perut sendiri, entah pula kenapa mereka bisa bertahan hidup sampai sekarang? Mungkinkah ini suatu rahmat dan keajaiban? Giok tak mau memikirkannya.

Matanya menatap tajam ke arah seorang ibu yang membuatnya muak pagi ini. Tiga tas yang penuh belanjaannya tengah dibawanya sendiri.

“Dasar kikir! Keparat! Rasain sendiri berat tasmu dan berat badan penuh dosa. Aku baru merasa bahagia jika berat yang kau tanggung berkurang.”

Usai menghabiskan soto dan membayarnya dengan separuh harga, Giok segera beranjak. Tentu saja ia menggunakan jurus memelasnya agar pahlawannya tidak banyak keluar pagi ini. Kaki kecilnya mulai lincah dan matanya mulai jeli untuk mendapatkan mangsa. Ya, seorang ibu muda berkerudung yang tengah memilih semangka. Ia langsung berlari mendapatkannya.

“Assalamualaikum Bu.”

“Waalaikumsalam.” Jawaban ramah yang membuat hatinya bergairah.

“Bisakah saya membantu ibu membawa barang belanjaan ibu?”

“Oo bisa dek, sebentar ya saya masih memilih.”

“Iya, Bu. Saya tunggu.”

Ini baru santapan lezat, bukan seperti ibu gendut yang kikir dan cerewet tadi. Batinnya.

Tiba-tiba orang sekitarnya ramai berteriak. Giok sudah tak heran mendapat situasi seperti ini.

“Ada apa dek?” tanya ibu berjilbab itu.

“Ooh ada yang kecopetan bu.”

“Astaghfirullah, kasihan sekali. Semoga yang kecopetan diberikan ketabahan oleh Allah.”

“Amiin.” Sebenarnya Giok sudah tak tahan bersikap layaknya orang masjid seperti ini. Tumakninah dan berwajah alim di samping ibu ini. Tapi ia harus bertahan demi menambah koleksi pahlawannya.

Bang Marno memang tengah beraksi. Ia adalah copet senior yang bermukim di pasar itu. Sudah tak heran bagi Giok dengan situasi kecopetan, orang-orang pasarpun hanya memandang tanpa bisa bergerak membantu mengejar si copet. Mereka sudah hapal dengan keadaan seperti itu.

Usai memilih semangka Giok membawakan semangka-semangka itu ke pinggir jalan. Uang berlatarkan rumah limas berada di tangannya. Beruntung ia dapat bertemu ibu berjilbab itu, tak sia-sia ia berwajah layaknya orang masjid. Ini baru rahmat, pikirnya bahagia. Ia berjalan dan sibuk menghitung uang-uangnya. Tiba-tiba sebuah bawang merah melintas di sampingnya dan berhenti tepat di depannya. Ia heran melihat bawang merah itu. Kepalanya menengok ke belakang. Sekantong kresek bawang merah tengah menggelinding dan...kangkung itu berceceran. Tatapannya terpaku pada tas biru. Orang-orang mulai ramai berdatangan. Hatinya tiba-tiba berdesir, matanya mulai panas. Ia terpaku menatanya. 



Minggu, 22 Maret 2015

Mitos Indianisasi Sebagai Penjajahan Bangsa Arya di Indonesia?


- Andrian Eksa

Mitos Indianisasi menjadi catatan tersendiri bagi Indonesia. Adanya kemiripan Indonesia (khususnya Jawa dan Bali) dengan India membuat mitos ini menjadi catatan yang menarik.

“Indianisasi” atau yang disebut “penjajahan India” di Indonesia pernah diangkat Raffles menjadi topik untuk mengaitkan Jawa dengan kemaharajaan “Hindia” Inggris. Dalam bukunya The History of Java, Raffles banyak menunjukkan gambar-gambar patung dewa agama Hindu. Yang disebutnya sebagai indikasi bahwa Indonesia secara tidak langsung dijajah oleh bangsa Arya, India.

Penyaduran naskah Mahabharata dan Ramayana pun berpengaruh bagi masyarakat Indonesia. Seperti adanya sistem kasta yang sampai sekarang masih digunakan di Bali. Penggunaan nama-nama tempat di Jawa juga berasal dari bahasa Sansekerta. Dan nama gunung dan kerajaan-kerajaan pun dipinjam dari naskah Mahabharata.

Selain Raffles, Indianisasi juga pernah diteliti oleh para sarjana Belanda. Seperti J.L.A. Brandes (1857—1905), H. Kern (1833—1917), N.J. Krom (1883—1945), dan W.F. Stutterheim (1892—1942), yang merupakan ahli Sansekerta. Mereka juga berjasa menginterpretasikan masa lampau Jawa berdasarkan pengetahuan tentang India Kuno. Bahwa prasasti-prasasti yang ada di Indonesia semuanya ditulis dalam bahasa Sansekerta dan dicatat dengan  tulisan yang dibuat berdasarkan aksara India.

Penanggalan sebagian juga didasarkan pada matahari, seperti di India, dimulai dengan awal tarikh Saka (78 M). Ikonografi candi-candi ditafsirkan dengan bantuan karya-karya Buddha dan Hindu. Aturan-aturan persajakan kakawin hampir sama dengan yang dipakai dalam persajakan Sansekerta.

Mitos Indianisasi juga tercatat dalam legenda Raja Aji Saka, yang mengisahkan tentang putra raja keturunan Brahmana datang dari India ke Jawa dan menetap di Medang Kamulan. Ia mula-mula menghalau raksasa yang gentayangan di Jawa dan menyebarkan ketertiban dan peradaban: dari seorang wanita pribumi ia mendapat anak laki-laki berkepala ular, dan kemudian menciptakan aksara Jawa.

Dalam naskah Jawa abad ke-16, Tantu Panggelaran, yang merupakan sejenis buku petunjuk pertapaan-pertapaan Hindu di Jawa. Menceritakan asal mula Bhatara Guru (Siva) pergi ke Gunung Dieng untuk bersemedi dan meminta kepada Brahma dan Wisnu kaum perempuan, lalu semua dewa memutuskan untuk menetap di bumi baru itu dan memindahkan Gunung Meru yang sampai saat itu terletak “di Negeri Jambudvipa”, di India. Sejak saat itu Jawa menjadi bumi kesayangan dewata.

Rabindranath Tagore berkunjung ke Jawa pada tahun 1930 untuk membuktikan mitos Indianisasi itu, lalu meninggalkan sebuah catatan bahwa “ia memang merasakan kehadiran India di mana-mana, tetapi tidak sungguh-sungguh menemukannya kembali”.

Kemiripan memang ada, tapi itu semua mengacu pada kekhasan Jawa. Para pengarang Jawa kuno telah diilhami oleh India sebagaimana Corneille dan Racine diilhami Yunani dan Roma. Bagaimana membayangkan tanah Jawa sebagai Hindu, jika susu dan hasil pengolahan susu tidak pernah dipakai?

(Tulisan ini merupakan rangkuman dari buku Nusa Jawa: Silang Budaya karya Denys Lombard pada sub-bab Batas-Batas “Indianisasi”)