Label

Kamis, 14 Mei 2015

Opening Concert Himasik





 “Mengenang Tempo Doloe
               Rabu (13/05) , area stage tari  FBS  UNY terlihat penuh sesak oleh antrian mahasiswa mulai pukul 19.00 wib. Rupanya Himasik sebagai salah satu jurusan sedang  mengadakan event Opening Concert sebagai salah satu agenda tahunan mereka. Acara ini adalah acara pertama mereka dalam periode kepungurusan 2014-2015.  Adapun tema yang diusung dalam konsep acara ini adalah tema tempo musik dulu . Hal tersebut tertuang dalam judul acara mereka yang berjudul “Jang Doloe, Ketika Masa dan Akoe Bersatoe” Ada alasan mengapa konsep tempo musik Jadul yang diangkat. Hal tersebut diungkapkan Lareza selaku ketua Himasik mengatakan bahwa Himasik ingin mengajak penonton mengingat dan bernostalgia kembali dengan-dengan lagu-lagu lawas yang tentunya memorable. “Lagu lawas itu memberikan kesan kalau kita harus mengingat sejarah,” jelas Lareza.
               Acara tepat dibuka pada pukul 19.00 diiringi oleh Himasik Orchestra yang membawakan medley 3 buah lagu yang diaransemen oleh Mardian Bagus. Pembukaan yang cukup meriah tersebut membuat tempat duduk stage diisi penuh oleh para penonton maupun tamu undangan yang berasal dari kalangan dosen FBS dan orangtua pemain. Setelah tiga buah lagu yang syahdu selesai dimainkan, acara beranjak ke sambutan dari ketua acara, ketua Hima Musik 2014-2015 yaitu Lereza , Kepala Jurusan Seni Musik Bapak H.T Silaen, S. Mus, dan acara  resmi dibuka oleh Bu Kun Setyaning Astuti Selaku Wakil Dekan III FBS UNY.
               Acara kemudian dilanjutkan ke  tampilan  Inilah Ansambel gitar yaitu salah satu komunitas di Himasik yang ingin belajar mayor gitar. Inilah Ansambel gitar berhasil memukau para hadirin dengan medley  yaitu Panah Asmara  dan O Bladi O Blada. Namun tidak hanya pada komunitas itu saja, komunitas-komunitas selanjutnya seperti Ansambel Piano (Kopi Manis), Violet Vocal, Himasik Wind Orchestra, Himasik String, dan  Komunitas Perkusi memberikan simfoni yang selaras dengan konser musik yang bertema tempo dulu ini. Acara kemudian ditutup oleh Himasik Orchestra kembali. Penonton masih tampak  antusias ketika  memenuhi stage meski acara ditutup, Ichsan  selaku penonton dari jurusan Pendidikan  Seni Tari 2013 mengatakan acaranya bagus karena menarik minat mahasiswa FBS UNY, musik  yang disajikan menarik memori dan bisa terkenang lagi di semua orang” .
               Meski acara ini sukses digarap selama 2 bulan ini, namun tentunya tak luput dari sebuah kendala.  Lareza mengatakan, “Himasik kekurangan ruangan buat latihan karena pembangunan gedung baru masih belum bisa digunakan, selain itu peminjaman alat kampus yang lumayan sulit”, tandas Lareza.

(ind)

Jumat, 08 Mei 2015

JOKO BOLENG MEMBUKA HUT HIJAW

Selasa malam (5/5) aksi Joko Boleng melawan Jayeng pada klimaks cerita | sumber: dokumen pribadi
Hima Jawa (Hijaw) mengagendakan rangkaian acara untuk HUT Hima mereka tahun ini. Rangkaian acara tersebut dibuka dengan Ketoprak Lesung pada tanggal 5 Mei 2015, lalu diikuti Bakti Sosial tanggal 10 Mei. Selanjutnya seminar kepenulisan tanggal 20 Mei. Ada juga dialog jurusan 25 Mei, Es Dawa atau Estafet Dolanan Jawa tanggal 28-29 Mei, dan terakhir Malam Puncak tanggal 4 Juni.
            Tema acara ini Sesrawungan ing Bebrayan yang berarti Kebersamaan dalam Kesederhanaan untuk Kemuliaan Hidup. Dimaksudkan agar terjalin kerja sama dan kekompakan baik antar warga PBD sendiri maupun antar Ormawa lainnya. Acara dimulai pada pukul 19.33 WIB dengan Mars Hima Jawa yang dilantunkan oleh seluruh peserta yang hadir. Dilanjutkan dengan Atur Pambagyo dari Ketua Panitia, Ketua Hima, Wakil Dekan III, dan terakhir Sekretaris Prodi Pendidikan Bahasa Jawa. Acara dilanjutkan dengan doa, pemukulan gong, dan potong tumpeng oleh Bapak Hadianto,M.Hum selaku Sekretaris PBD.
Pentas Lesung mengambil cerita dengan judul Joko Boleng. Pukul 20.15 WIB Ketoprak yang disutradarai Lina Anggraini (PBD 2013) ini dibuka dengan instrumen lesung. Lesung sebagai pengiring dilambangkan sebagai sebuah kesederhanaan sesuai dengan tema. Secara garis besar cerita dalam ketoprak ini adalah seorang pemuda bernama Joko Boleng yang memiliki cacat di wajahnya. Meskipun ia buruk rupa, namun ia memiliki hati yang baik dan tekad yang kuat. Pesan dari cerita ini disampaikan Oleh Wahyu Setiawan selaku Ketua Panitia “Meskipun kita bersusah-payah dan banyak hambatan dalam berorganisasi, tapi akhirnya kita mampu mendapatkan apa yang dicita-citakan”.
Ketoprak tersebut berakhir dengan meriah pada pukul 21.40 WIB. Dari pihak panitia mengaku cukup puas dengan acara yang berjalan lancar. “Saya sempat kaget, pas latihan tidak seperti ini. Ternyata pas pentas bisa jauh lebih baik dan mengesankan.” Ucap Bahrudin Yusuf yang ikut berperan dalam ketoprak tersebut. Demi kesuksesan ketoprak ini, para pemain menghabiskan waktu 1 bulan untuk latihan. Tak ada hambatan yang berarti selama acara dan persiapan berlangsung. Hanya ada sedikit masalah internal seperti masalah teknis dari Sie Humas Jaringan Komunikasi yang kurang efektif. “Kendala lebih pada komunikasi secara teknis. Jarkom Humas Pending. Tapi bisa diatasi”, ucap Wahyu sebagai Ketua Panitia. Hambatan lain muncul dari divisi teater sendiri. “Selama kami latihan, kami kesulitan mencari tempat latihan. Agenda di FBS banyak. Tapi fasilitas tempat latihan tidak memadai.” Lanjut Bahrudin Yusuf.

Wahyu Setiawan berharap acara ini dapat memotivasi hadirin yang hadir sesuai dengan tema Sesrawungan ing Bebrayan, “Jangan memutus silaturahmi, kan kita satu FBS tidak bisa sendiri-sendiri, saling berhubungan dan saling membutuhkan antar Orwama dan warga FBS. Untuk kedepannya semoga diberi kelancaran sampai acara puncaknya”. (Nita)

Kamis, 07 Mei 2015

BATU YANG HILANG

- Anita Nurrohmah


          Kota yang tenang. Sangat tenang hingga kau tak akan menyangka ada kehidupan di dalam sana. Sebuah kota mungil pinggiran yang dikelilingi barisan pegunungan tinggi menjulang. Aman dan nyaman, tak pernah ada keributan. Semua hidup dengan tenang, setenang cemara yang bisa kau pandang dari kejauhan. Penduduknya rukun dan menyenangkan, jarang ada yang berselisih atau bersalah paham. Seharusnya kau senang hidup di kota seperti itu. Namun, tidak dengan seorang polisi yang duduk gelisah di meja kerjanya.
Ia sudah bertahun-tahun bekerja menjadi seorang polisi. Tak pernah satu kasus pun ia tangani. Hanya melamun dan melamun di ruangannya. Polisi itu merasa hanya makan gaji buta. Tak ada kebanggan yang bisa ia ceritakan pada anaknya. Tak ada kasus yang bisa ia diskusikan dengan istrinya. Ia merasa tak ada bedanya dengan pengangguran. Ia merasa kota ini tak butuh polisi, kota ini lebih membutuhkan badut untuk hiburan. Lalu apakah ia harus beralih profesi menjadi badut? Atau pemain drama saja? Ia rasa wajahnya cukup tampan.
Di tengah lamunannya, datanglah orang bawahannya membawa sebuah kasus yang selama ini ia rindukan. Maka berseri-serilah wajah kusutnya. Ia sambut opsir itu dengan senyum merekah.
“Kasus apa yang kamu bawa itu, Opsir?” tanya Si Polisi.
“Bukan kasus yang besar, Pak. Hanya kasus pencurian ringan.” Jawabnya.
“Ah apapun itu, hargailah pekerjaanmu, Opsir. Sudah lama kita tidak bergerak. Apa kamu tak malu pada anak istrimu?”
“Iya, Pak.” Opsir itu tersenyum sambil undur diri. Sepeninggalannya, Si Polisi mulai membaca kasus pertamanya dengan antusias. Ia agak mengerutkan kening.
“Kasus pencurian batu? Kenapa ada orang yang mau-maunya mencuri batu? Dan kenapa pula ada orang yang melaporkan kehilangan batu?” Si Polisi tak habis pikir. Untuk menghilangkan rasa penasarannya sekaligus mempertajam kejelasan kasus ini, maka Si Polisi memanggil si pelapor keesokan harinya.
Ternyata si korban adalah Pak Kumis, tetangganya sendiri. Maka ia tanyakan perihal laporan Pak Kumis mengenai batunya.
“Betulkah Pak Kumis kehilangan sebuah batu?”
“Betul, Pak.” Jawab Pak Kumis dengan tenang.
“Betulkah Pak Kumis yakin kalau batu itu hilang karena dicuri?”
“Betul, Pak.”
Polisi menghela nafas sejenak. Agak memberi jeda untuk pertanyaan selanjutnya.
“Betulkah itu hanya sebuah batu? Kenapa sampai Anda laporkan ke polisi? Toh cari lagi di sungai juga banyak.”
Bukannya menjawab, Pak Kumis malah berang. Ia melonjak sambil menggebrak meja.
“HANYA SEBUAH BATU? ANDA TIDAK TAHU ITU BUKAN HANYA SEBUAH BATU. BATU ITU SANGAT PENTING UNTUK KELUARGA SAYA. ANDA TIDAK MENGERTI PAK POLISI!” Jantung Si Polisi berdegub kencang. Baru kali ini ia dibentak. Penduduk kotanya bisa jug membentak. Pikirnya.
“Tenang, Pak Kumis. Maafkan kekeliruan saya. Sebaiknya anda ceritakan kronologisnya agar saya mengerti dan tidak terjadi kesalahpahaman.” Jawab Si Polisi menenangkan.
“Batu itu saya dapatkan dari kota sebelah. Anda tahu kan untuk sampai di kota sebelah, kita harus melewati gunung dan sungai dulu.” Pak Polisi manggut-manggut. “Di Kota sebelah, batu semacam itu sedang banyak digandrungi orang. Baik laki maupun perempuan banyak yang memakainya ke mana pun. Saya diberi oleh kenalan saya, siapa tahu laku mahal. Maka saya bawa pulang untuk dijual ke pasar esok paginya. Tapi diluar dugaan, batu itu malah hilang. Batu itu hendak saya jual untuk membeli ayam. Ayam-ayam itu hendak saya ternakkan. Dari hasil ternak ayam bisa buat beli beras. Buat makan anak-anak saya. Jika anak-anak saya tidak makan, anak saya bisa mati, Pak. Bapak mau tanggung jawab kalau anak-anak saya mati?” Pak Polisi agak terkejut dengan kembalinya emosi Pak Kumis. Ia mencoba tersenyum untuk menenangkan. Pak Kumis melanjutkan cerita panjangnya. “Pencuri ini tidak bisa dibiarkan, Pak. Harus segera ditangkap! Bukan hanya mencuri, Pak. Ia mencoba membunuh anak-anak saya. Karena ia mencuri batu itu, maka anak saya bisa mati kelaparan.” Pak Polisi tersentak dengan akhir cerita Pak Kumis. Maka kasus pencurian tersebut naik pangkat menjadi kasus Rencana Pembunuhan.
            Tak ingin membuang waktu, Pak Polisi langsung mencari jejak si pelaku keesokan harinya. Mula-mula ia mendatangi rumah Pak Kumis. Hari itu ia amat sibuknya, jika biasanya ia hanya duduk-duduk saja di ruang kerjanya, maka ini hari yang istimewa.
“Kapan terakhir kalinya bapak melihat batumu?” tanyanya pada Pak Kumis.
“Dua hari yang lalu, Pak. Dua hari yang lalu batu itu digosok anak sulung saya.” jawab Pak Kumis sejujurnya. Pak Polisipun menanyai anak Pak Kumis.
“Apa benar kamu menggosok batu ayahmu dua hari yang lalu, Nak?” tanyanya dengan ramah.
“I-iya, Pak. Siang itu s-saya menggosoknya agar mengkilap. Tapi sumpah, Pak! Bukan saya pencurinya.” Anak itu buru-buru menambahkan dengan ketakutan.
“Tidak, Nak. Tidak ada yang menuduhmu mencurinya, tapi di mana kau letakan setelah kau gosok?”
“Saya menjemurnya di atas jerami, Pak. Batu itu bersinar-sinar di bawah matahari, Pak. Tapi setelah itu saya bermain ke padang rumput dengan teman-teman.”
“Lalu di mana jerami itu sekarang?”
“Setiap sore jerami itu diambil oleh Pak Jenggot untuk makan ternak, Pak.”
“Jadi Pak Jenggot yang mencuri batuku?” Sela Pak Kumis dengan lantangnya.
“Sabar, Pak. Tenang dulu, belum tentu ia pelakunya. Sebaiknya kita tanyakan langsung pada Pak Jenggot.”
Maka berangkatlah Pak Polisi dan Pak Kumis ke rumah Pak Jenggot.

***

“Yang saya ambil itu jerami bukan batu! Apa Pak Polisi tidak mengerti bahasa saya? kenapa bapak menuduh saya sebagai pencuri?”
“Maaf, Pak. Saya tidak menuduh bapak. Saya hanya bertanya, sebaiknya bapak jawab saja di mana jerami itu sekarang.” Lagi-lagi Pak Polisi dikejutkan oleh bentakan penduduk kotanya.
“Yaa sudah dimakan kambing saya. Jerami itu kan memang buat makan kambing saya.”
“Lalu di mana kambing bapak sekarang?”
“Sudah saya jual ke Nyonya Gemuk yang tinggal di atas bukit.”
            Maka bergegaslah mereka ke rumah Nyonya Gemuk. Dan seperti yang sudah ditebak Pak Polisi, Nyonya Gemuk marah-marah.
“Jadi kambing yang saya beli itu memiliki barang curian? Dan anda kemari karena merasa barang curian itu kini ada pada saya? Anda merendahkan harga diri saya Pak Polisi.”
“Saya tidak menuduh anda mencuri. Baiknya anda katakan saja dimana kambing itu sekarang.” Jawab Pak Polisi tenang karena mulai terbiasa dengan perangai pendudukya yang baru saja ia ketahui belangnya.
“Sudah saya giling dagingnya di tempat Kakek Bertopi.” Jawab Nyonya Gemuk sama angkuhnya sejak semula.
            Maka penyelidikan berlanjut ke rumah Kakek Bertopi. Tidak seperti lainnya yang menjawab dengan marah atau ketakutan, Kakek Bertopi menjawabnya dengan biasa.
“Iya benar, Pak. Nyonya Gemuk menggilingkan daging kambingnya di tempat saya. dan seperti biasa, penggiling itu saya cuci di sungai setelah digunakan.”
            Maka sudah bisa ditebak, mereka kini menuju sungai. Sebenarnya Pak polisi sedikit bingung untuk memulai pencarian di sungai. Apakah ia akan menyusuri sepanjang sungai atau mennyelam ke dalammnya? Beruntung di situ ada seorang pemuda mabuk yang sedang memancing.
“Hei, Pemuda Mabuk! Apakah kamu melihat batu Pak Kumis di sekitar sini?”
“Benar, Pak. Saya menemukan batu menarik saat memancing. Bentuknya indah dan bersinar-sinar” jawab pemuda itu dengan riangnya. Berserilah wajah Pak Polisi dan Pak Kumis. Penyelidikan melelahkan mereka akan segera berakhir.
“Di mana batu itu sekarang hei, Pemuda Mabuk?”
“Sebentar, Pak Polisi.” Pemuda Mabuk mengais-ais kantung kumalnya. Mengeluarkan sebuah batu... Bukan, itu batu karang.
“Bukan itu batu saya, Pak Polisi. Batu saya kecil dan hijau warnanya. Batu kecil untuk dibuat cincin. Bukan batu berlubang-lubang untuk rumah ikan.” Pak Polisi bingung dan kecewa. Ternyata mereka salah dan penyelidikan ini masih harus di lanjutkan.
“Apa batu anda berbentuk bulat seperti bisul dan mengkilat licin sebesar kelereng Pak Kumis?” Tanya Pemuda Mabuk.
“Ahh benar, benar. Apa kamu sekiranya pernah melihatnya?”
“Pernah, Pak. Saya melihat batu itu diambil orang di atas jerami.” Mata Pak Polisi dan Pak Kumis membelalak. Sontak mereka melontarkan pertanyaan yang sama.
“SIAPA YANG MENCURINYA, PEMUDA MABUK?”
“I-ibu anda Pak Polisi”
“IBUKU?”

***

Pak Polisi telah sampai di rumah ibunya. Kini ia bersimpuh dan menangis di depan ibunya.
“Oh, Ibu. Kenapa kau lakukan ini, Ibu? Tidakkah Ibu tahu berat hukumannya untuk sebuah rencana pembunuhan?”
“Ibu tidak pernah menyangka, Anakku. Air yang tenang akan keruh setelah dilempari batu. Ibu tak tahu, Anaku. Ikan akan terlihat belang setelah di kelupas sisiknya. Tapi satu yang Ibu tahu. Seorang Ibu akan melakukan apa saja untuk anaknya. Agar kau mendapat pekerjaan, Ibu rela selamanya membusuk di penjara asal kau bahagia bersama keluargamu. Maafkan Ibu, Anakku.” Sang Ibu membelai lembut kepala putranya. Buliran bening menggenang di sudut mata rentanya. Namun, ia tersenyum lega.

END




Yogyakarta, 27 April 2015

Jumat, 01 Mei 2015

Jaket Kuning Sukirnanto: Sebuah Album Kenangan





Judul Buku      : Jaket Kuning Sukirnanto
Pengarang       : Eka Budianta, dkk.
Penerbit           : Eugenia Learning Center untuk PDS H.B. Jassin
Cetakan Ke-    : Pertama, 3 Oktober 2014
Tebal Buku      : 142 halaman
ISBN               : 978-602-17703-7-5
Harga              : Tidak Diperdagangkan

Tentang kasih, maut menagih
Slamet Sukirnanto dalam puisi Kepadamu Kusampaikan (1967)

Kehidupan makhluk hidup di dunia memang akan berakhir pada kematian. Itu pasti. Begitu juga pada hari Sabtu, 23 Agustus 2014, Slamet Sukirnanto—penyair angkatan 66—ditagih maut, kembali pulang kepada Tuhan. Meninggalkan “jaket kuning”-nya yang dulu ia kenakan.
Walaupun kematian adalah ketentuan mutlak, tidak semua orang dapat menerima kepergian orang yang dicintainya. Biasanya akan terkenang peristiwa-peristiwa masa lampau yang berkaitan dengan orang tersebut. Semakin tajam ingatan orang itu, semakin banyak peristiwa yang akan dikenang, dan semakin lama melupakan.
Eka Budianta, salah satu sahabat almarhum Slamet Sukirnanto (SS), beserta dua sahabat lainnya—Bambang Widiatmoko dan Hasan Bisri BFC—menguratori pembuatan buku dokumentasi yang bertajuk Jaket Kuning Sukirnanto (JKS). Beberapa penyair—baik sahabat SS, yang mengenal SS, atau yang “baru saja” mengenal SS, mengirimkan karya-karyanya berupa biografi SS, puisi, dan cerpen, yang semuanya ditujukan untuk mengenang SS. Tercatat ada 43 tulisan dalam JKS yang di antaranya adalah karya Adri Darmadji Woko, Slamet Riyadi Sabrawi, dkk.
Semasa hidupnya, SS telah mengabdi untuk perkembangan sastra Indonesia. Salah satu buktinya adalah buku antologi puisi Djaket Kuning (Djakarta:-Ikatan Mahasiswa Sastra Indonesia FSUI, 1967) yang diserahkan pertama kali kepada H.B. Jassin pada tanggal 1 April 1967—pada waktu itu masih berbentuk stensilan. Buku ini ditulis SS dalam suasana aksi demonstrasi menumbangkan Orde Lama pada tahun 1966.

JAKSA

Meski tak bersekolah hukum ia berani menyelempangkan jaksa di dadanya. Tubuhnya kecil tapi berselimut berondongan tuntutan kemapanan. Menggoyang para dewa pemuja kata di kahyangan sastra.

Sebagai penuntut ia berdiri di depan tak perlu rasa takut. Menuding akrobat kata yang penuh sengkarut. Sebuah pertunjukan butuh tontonan. Dan sebuah tepuk tangan.

Sebuah pengadilan yang gamang
Terdakwa bebas merdeka. Tak ada tuntutan pemiskinan kata. Dan tetap kaya.

Menyihir jiwa dan tubuh kita.

Yogyakarta 2014
(JKS halaman 102)

Puisi karya Slamet Riyadi Sabrawi di atas adalah potret kenangan dalam sastra Indonesia. Kita akan teringat pada sebuah—yang menurut Adri Darmadji Wojo—“peristiwa budaya” di Bandung, 8 September 1974 yang lalu, Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir. Pada saat itu, SS bertindak sebagai “jaksa penuntut umum”. Dalam posisi itu, SS menuntut beberapa hal, pertama, bahwa kritikus yang tidak lagi mampu mengikuti perkembangan kehidupan puisi mutakhir, khususnya H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung harus “dipensiunkan”. Kedua, para editor majalah sastra, khususnya Horison (waktu itu Sapardi Djoko Damono) harus “dicutibesarkan”. Ketiga, para penyair mapan, seperti Subagyo, Rendra, dan Goenawan dilarang menulis puisi, para epigonnya dikenakan hukuman pembuangan, dan bagi inkarnasinya dibuang di pulau paling terpencil. Dan yang keempat, bahwa Horison dan Budaya Jaya harus dicabut surat izin terbitnya, dan yang sudah terbit tidak dianggap ada dan dilarang dibaca peminat sastra karena dianggap mengisruhkan perkembangan sastra/puisi di Indonesia yang diharapkan sehat dan wajar.
Acara yang “guyon” itu mendapat tanggapan serius dari para tokoh yang dituntut SS, sehingga diadakan “Jawaban Atas Pengadilan Puisi” di Rawamangun. Sebenarnya, SS hanya ingin mengatakan bahwa menjadi sastrawan/penulis/penyair tidak harus terlebih dahulu memuatkan karyanya dalam Horison, Budaya Jaya, ataupun Basis, tetapi cukup di media massa lainnya. Karena pada waktu itu, sastra Indonesia memang “dimonopoli” dan sebutan sastrawan ditentukan figur tokoh sastra. Sehingga penulis/penyair baru susah untuk menembus pandangan itu.
Jadi, JKS bisa saja disebut sebagai “album kenangan”, karena membaca buku ini sama halnya membaca “jaket kuning” SS, jaket kesayangan SS. Jaket yang menuliskan jejak hidupnya di dunia, baik sebagai manusia, penyair, ataupun aktivis.

PKM FBS UNY, April 2015
Andrian Eksa

Perubahan UKT, Putusan Mahasiswa




Advokasi Rencana Penurunan UKT mengakibatkan Rencana Perubahan UKT
Sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT)  adalah biaya pendidikan yang harus dibayarkan mahasiswa per semester selama masa  studi  sesuai penanggung biaya pendidikan. UKT ditetapkan berdasarkan Biaya Kuliah  Tunggal  dikurangi dengan biaya yang ditanggung oleh pemerintah. UKT baru ditetapkan 2 tahun ini, yaitu tahun ajaran 2013-2014. Tujuannya untuk mempermudah calon mahasiswa yang kurang mampu agar dapat masuk ke Perguruan Tinggi Negeri, namun banyak keluhan yang datang dari mahasiswa yang merasa mendapatkan UKT tidak tepat sasaran.  Mahasiswa dengan orang tua ekonomi rendah mendapat  penggolongan UKT yang lebih tinggi dari keterbatasan kemampuan finansial orang tua.
             Oleh sebab itu  BEM Rema yang notabene sebagai  penampung aspirasi mahasiswa, mengadakan  advokasi  pengajuan penurunan UKT  bagi mahasiswa.  “Kami membuka kesempatan untuk teman-teman semua yang ingin mengajukan penurunan UKT mulai tanggal 30 Maret sampai 13 April 2015”.  Ucap Purna Panca Nugraha yang menjabat sebagai Menko Kesma  BEM Rema UNY pada tanggal 15 april lalu.  Sampai saat ini berkas-berkas masih difilter oleh BEM Rema, dipilah mana yang benar-benar UKT-nya tidak tepat sasaran mana yang sebenarnya orang tuanya itu mampu tapi anak tersebut mencoba-coba mengajukan penurunan UKT.
Rencana penurunan UKT tersebut menjadikan pihak rektorat menyusun rencara pembaharuan perubahan pembayaran UKT untuk angkatan  2015 mendatang. Alasan perubahan tersebut dikarenakan  rancangan  RAPB (Rencana Anggaran  Pendapatan  dan Belanja) per tahun  akan mengalami selisih yang mengakibatkan anggaran berkurang.  “Penurunan UKT ini kebanyakan pada kategori tingkat tiga yang ingin diturunkan pada tingkat dua. Berhubung selisih nominal tingkatan tiga dan dua terpaut cukup jauh, maka  akan mengganggu keseimbangan anggaran,” ucap Bapak Moch Alip selaku WR II UNY. Oleh sebab itu  pihak rektorat  merencanakan perubahan pada tingkat ke tiga, yaitu sejumlah Rp2.400.000,00  sama dengan  biaya Bidikmisi yang dibayar pemerintah. Tingkatan pertama  dan kedua sama sekali tidak mengalami perubahan  nominal. Lalu tingkatan keempat, lima dan enam setara dengan tingkatan tiga, empat dan lima pada tingkatan tahun sebelumnya (2014).    Terakhir adalah tingkatan ke  tujuh yang sebelumnya tidak ada.  Tingkatan ini diberlakukan untuk mahasiswa dengan tingkat ekonomi tinggi atau orang tuanya mampu.  Alasan inflasi dan anggaran UNY juga menjadi alasan alami perubahan adanya tingkat ke tujuh ini.
             Dalam rencana sistem perubahan ini ada  tingkatan  yang naik ada yang turun. “Jika semua tingkatan turun nominalnya maka mahasiswa yang akan dirugikan,  Kegiatan bagian dari layanan, layanan terkait pembentukan kompotensi kelulusan,  jika layanan turun  dampaknya akan kembali pada mahasiswa”. Lanjut WR II. Agus Setiawan  selaku ketua BEM FBS memperkuat hal ini dengan menambahkan“Kita sendiripun akan sulit mengharapkan sesuatu tanpa adanya materi yang cukup”.  Jadi kebijakan perubahan ini dinilai sesuai dengan anggaran UNY tahun ini.
            BEM Rema juga mengungkapkan bahwa para mahasiswa yang mengajukan penurunan akan di survei bulan  Juni bersamaan dengan survei  Bidikmisi calon mahasiswa SNMPTN 2015. “Jadi  bulan juni baru diproses, jika masih ada mahasiswa yang ingin mengajukan penurunan masih kami dampingi sampai juni”. Ungkap Purna Panca Nugraha. Menurut Wakil Rektor II UNY, rencana kebijakan ini akan  direalisasikan apabila mahasiswa tetap bersikukuh meminta penurunan.  Ada perubahan karena adanya permintaan dari para mahasiswa. Bila mahasiswa  setuju dengan sistem yang sudah ada, maka kebijakan UKT tahun lalu masih akan tetap berlaku pada tahun ajaran ini. Dengan kata lain, rencana ini tidak jadi diberlakukan.  “Jika mahasiswa tidak mengajukan penurunan maka tidak ada perubahan akan tetap seperti semula. Perealisasian ini tergantung pada mahasiswa”. Tutup WR II. 
             Meski begitu, banyak mahasiswa yang mengeluh mendapat tanggungan UKT yang tidak tepat sasaran.  Seperti Farah Rindhita Bestari, mahasiswi PBPerancis 2014 “Orang tua saya sudah pensiun dan  masih banyak tanggungan. Jadi saya merasa UKT yang di bebankan kepada orang tua saya masih terlalu tinggi.” Begitu pula Anggita Hermustika dari jurusan Pendidikan Seni Tari “Penghasilan orang tua saya bisa dibilang kurang untuk membayar UKT sebesar itu.” Kedua mahasiswi tersebut mengajukan penurunan UKT melalui BEM Rema. Dari  ketua  BEM FBS  Agus Setiawan  sendiri  berharap  kebijakan perubahan UKT ini tidak akan memberatkan mahasiswa. Asalkan dengan pertimbangan dan perhitungan yang sewajarnya serta pertimbangan yang matang dari pihak rektorat. Kedepannya tidak mengurangi niat belajar mengajar mahasiswa FBS.