Indah Afiani
Sosok adalah
bentuk rupa seseorang dalam menciptakan karakter dalam tokoh masyarakat.
Karakter tersebut melahirkan pandangan masyarakat terhadap dirinya atau
kebanyakan orang. Pemuda boleh jadi wujud representasi puncak spirit seseorang
dalam mengarungi bahtera hidup. Pemuda adalah tulang punggung dalam mencapai
tujuan kolektif suatu bangsa sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945
alinea empat.
Sosok pemuda yang diharapkan mampu menjadi teladan dalam mencapai tujuan bangsa ialah mahasiswa. Mahasiswa selama ini diharapkan mampu menjadi duta-duta intelektualitas. Seseorang yang berpegang teguh terhadap tujuan, bahkan ketika pertama kali mereka menginjakkan kaki di gerbang perguruan tinggi. Tujuan utama tersebut bukan hanya belajar untuk mendapat nilai bagus, melainkan juga menyentuh aspek yang paling esensial untuk sebuah peradaban yang lebih baik. Tujuan kedua selain menjadi kaum terpelajar, juga mempersiapkan diri menjadi seorang pemimpin yang adil, profesional, humanis, dan dapat membawa perbaikan ke arah yang lebih baik serta sabar dan agamis. Kenapa mahasiswa harus agamis? Karena seorang pemimpin yang baik tidak hanya mempertimbangakan logika, tapi juga emosional dan spiritual.
Jika kita
berbicara mengenai sosok mahasiswa, maka ingatan kita tidak akan pernah lepas dari sosok Budi Oetomo,
seorang penggagas dan penggebrak perubahan. Dalam 5 tahun permulaan, Budi
Oetomo menjadi satu wadah pergerakan sekaligus corong bagi suara-suara kaum
inteletual. Perkumpulannya mempunyai kedudukan monopoli, oleh karena itu Budi
Utomo maju pesat. Tercatat akhir tahun 1909, Budi Oetomo telah mempunyai 40
cabang dengan.10.000 anggota.
Sayangnya, mahasiswa saat ini justu banyak yang memicu
anarkisme. Pergolakan yang belakangan ini terjadi antara mahasiswa dan
pemerintah menjadi satu realitas ironis. Begitu banyak kesia-siaan yang mereka
lakukan. Demo yang mereka lakukan pun tidak cukup dengan melakukan orasi
menggunakan toa, lebih mengerikan lagi, mereka membakar diri, menanam diri, dan
yang paling anarkis adalah menjahit mulutnya sendiri.
Sebuah pertanyaan muncul. Apa yang melahirkan sikap
oposan mahasiswa terhadap pemerintah? Mereka cukup penting, untuk menjadi alat
pengawas dan pengontrol kebijakan, namun bukan berarti mereka berhak untuk
menggunakan cara-cara tidak terdidik. Tidak sedikit masyarakat yang mengatakan
bahwa mahasiswa berada pada posisi yang salah.Mengapa hal semacam ini bisa
terjadi? Mahasiswa sering kali menggunakan cara-cara fundalisme dalam melawan
pemerintah. Segala bentuk carut marut ini pun sebenarnya dilahirkan bukan tanpa
alasan, mereka merasa lelah dengan
keadaan negara ini, mereka merasa dibayangi ketidakpuasan. Mereka butuh
eksistensi yang lebih, supaya para pengambil kebijakan melongok, melihat mereka
dan mendengarkan suara-suara kalangan akar rumput. Sayangnya, apa yang mereka
koar-koarkan sebagai tindakan membela hak-hak rakyat kecil, seringkali justru
menebas hak-hak orang lain, yang juga merupakan bagian dari rakyat. Lantas
berbagai pertanyaan pun mengawang di benak, siapa yang mahasiswa bela dengan
membabi buta?
Mahasiswa bukan
sekumpulan manusia tak beradab. Menjadi mahasiswa yang kreatif dan menawarkan
inovasi-inovasi atas segala bentuk permasalahan bangsa, merupakan dambaan founding
father negara ini. Kita tentu masih mengingat pekikan Soekarno, ketika
dengan lantang menyatakan “Beri aku sepuluh pemuda, maka akan aku guncang
dunia”. Mahasiswa sebagai kaum terpelajar, sudah semestinya juga bersikap adil,
menyitir salah satu kutipan Pramodya Ananta Toer dalam Tetralogi Pulau Buru
“Kaum terpelajar hendaknya sudah adil sejak dalam pikiran”.
INDAH AFIANI pemimpin redaksi buleti Aksara
1 komentar:
kenapa anda memakai budi utomo sebagai contoh. bukankah apa yang dilakukan budi utomo hanyalah kegiatan yang bisa mewadahi orang-orang yang mempunyai keddudukan? anak-anak para pejabat saja yang boleh belajar di sekolahnya....aneh.
kalau pikiran oposan tidak boleh ada lantas anda akan menyetujui kematian munir dan menyetujui kematian Wiji Tukul. mereka orang-orang oposan dan terpelajar. Adil dalam pikiran bukan berarti tidak boleh menentang, bahkan apa yang dilakukan oleh Pramoedya anantatoer dengan sastra realisme sosialisnya dia tetap mempunyai tujuan revolusioner dan saat itu dia menjadi seorang oposan, seseorang yang menentang pemerintahan waktu itu yaitu kolonialisme dan orde baru. lantas apa yang salah menjadi oposan? terima kasih.
Posting Komentar