Oleh Mawaidi*
Saudara adalah saya, nabi, presiden, Anda dan sastrawan.
Saudara bisa berbuat baik kepada saya, nabi, presiden, Anda sendiri dan
sastrawan. Saudara harus menyapa saya di saat bertemu, mengingat nabi saat
sendiri, dengan presiden melambaikan
tangan saat berjumpa, boleh pada diri sendiri berbangga, dan berkumpul bersama
sastrawan. Tidak boleh sekali-kali berbuat jahat pada saya, apalagi nabi,
apalagi presiden, apalagi diri Anda sendiri dan bahkan sastrawan di waktu-waktu
jamnya mengarang.
Saudara tidak ada hubungannya dengan Tuhan. Tuhan adalah Tuhan yang wajib diimani bagi
yang mengimaninya. Maka gempa dan longsor di Ya’an, Sichuan, China itu adalah
cobaan bagi masyarakat Lushan. Posisi Saudara pada saat itu dibutuhkan; uluran
tangan beserta doa kepada Tuhan. Dari kejadian ini, Saudara kemudian tidak
hanya berpretensi untuk menolong saudara kandung, tiri dan sepupu.
Saudara dan
kemanusiaan
Saudara itu manusia. Setiap Saudara berasal dari manusia.
Di dunia kamus, manusia ternyata makhluk yang berakal budi dan mampu menguasai
makhluk yang lain. Di dunia kamus, manusia adalah makhluk yang siap pakai, yang
terampil dan profesional serta siap memenuhi kebutuhan tenaga kerja apapun.
Itu di dalam dunia kamus. Kamus tidak seberapa besar
dibanding manusia. Kapasitas kamus juga tidak akan melampaui kapasitas otak
manusia. Karena itu kamus diciptakan oleh manusia untuk manusia, untuk
dipelajari, dihafalkan, dijadikan teman dikala butuh—karena kamus bukan
Saudara.
Banyak Saudara yang dimulyakan, Saudara yang terhormat,
Saudara yang dicintai, Saudara yang beriman dan jenis sebutan lainnya yang
biasa dipakai dalam pidato dan di dalam teks surat. Saudara yang sebenarnya
tidak hanya di dalam ucapan seorang pembawa acara atau bibir presiden. Saudara yang dimulyakan adalah yang dianggap;
dianggap ada dalam hidup kita, dianggap bagian dari tubuh kita.
Kembali ke dunia kamus, manusia juga bisa berbuat khilaf.
Manusia dekat sekali dengan kesalahan.
Dibentuknya kata maaf, taubat adalah bagian dari terbentuknya manusia supaya
menyadari bahwa ia punya saudara. Locke, penganut empirisme pun masih ragu
kalau manusia itu baik. Ya, sekalipun manusia hakikatnya seperti kertas kosong
dan putih suci yang disebut tabula rasa.
Maka, dibentuknya sebuah negara, badan institusi, bagi Locke juga untuk
melindungi setiap pribadi. Peran pemerintah sebagai sistem internal negara
satu-satunya kepercayaan Locke bahwa manusia pasti berbuat baik.
Kemanusiaan dan kritik
Humanisme klasik saja mengakui, kalau karya sastra yang
melanggar konvensi yang ada pada saat itu disebut jelek, tidak memuaskan, tidak
berterima. Bagaimana kalau yang melanggar konvensi sosial-kultural adalah
manusia yang posisinya sebagai Saudara? Masyarakat tidak hanya akan menyematkan
kata “jelek” sebagai predikat psikomotorik seorang Saya, Nabi, Presiden, Anda
dan Sastrawan.
Bebal kritik satu-satunya sifat yang tidak pernah
diinginkan oleh Nabi. Lihat dalam Hikayat
Nabi Berpulang ke Rahmatullah, ketika Nabi hendak wafat diumumkannya kepada
seluruh umat, tentang sesiapa saja yang pernah disakiti oleh Nabi. Dan ‘Aqasah
pada saat itu adalah orang yang mengangkat tangannya pertama kali.
Saudara pernah berbuat khilaf. Saudara bagian dari
sesuatu yang batas kemampuannya kurang berani menegur diri. Saudara yang
membuka tangan kepada Saudara yang lain adalah yang membuka kritik. Sebagai
Saudara, boleh bukan bagian dari kita jika saya bukan Saudara Anda.(*)
*Redaksi Kreativa, Pegiat di Keluarga Rabu Sore.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar