Serupa sebuah gelaran,
KKN PPL telah usai, dengan meninggalkan berbagai evaluasi yang mungkin
menggunung. Sejak awal program ini diluncurkan, pihak terkait, yaitu LPPM dan
LPPMP sudah menuai banyak kritikan. Adanya format KKN yang membingungkan
(sekolah dan masyarakat –red) menjadi
dilema tersendiri, belum lagi soal waktu pelaksanaan yang terkesan dipaksakan.
Beberapa kali audiensi dengan mahasiswa dilakukan, namun hal ini tidak banyak
membantu.
Permasalahan tidak
hanya berhenti pada persiapan yang kurang matang dan tergesa-gesanya
pelaksanaan. Di lapangan pun, mahasiswa mendapatkan banyak kendala. Hal ini
terjadi kemungkinan besar karena adanya miskomunikasi antara pihak terkait dengan sekolah atau
lembaga masyarakat. Patut disayangkan, universitas sekaliber UNY yang katanya
hendak menuju universitas kelas dunia, nyatanya tidak mampu memformulasikan
kebijakannya secara apik. Bayangkan saja, sampai hari H pelaksanaan, masih
banyak yang belum mendapatkan surat edaran. Belum lagi, ketika sosialisasi
pelaksanaan KKN PPL, orang yang mensosialisasikan juga masih bingung, lantaran
ketika sosialisasi dilakukan, rapat yang dilakukan oleh para petinggi belum
usai. Ini mengingatkan saya pada kurikulum 2013.
Simpang siur ini
semakin siur, ketika pada pelaksanaan di lapangan, mahasiswa tidah terlalu ngeh dengan apa yang mereka jalankan.
Mulai apa saja yang harus dikerjakan sampai teknis pembuatan laporan. Alhasil,
mereka mengalami kebingungan. Parahnya pihak terkait mencerminkan diri menjadi
pihak yang tidak peka, ibarat kata mereka tidak memberi banyak tapi menuntut
banyak. Hal ini banyak dikeluhkan oleh mahasiswa. Mahasiswa diminta untuk
revisi karena format salah, mahasiswa harus mengumpulkan laporan ke berbagai
pihak, pengumuman soal laporan yang terkesan mendadak, informasi tidak merata,
kurang sosialisasi, harus begini dan begitu.
Terkait dengan laporan,
ada beberapa yang menyatakan keberatan lantaran dia sudah mengeluarkan banyak
uang untuk print dan bendel, ternyata harus revisi karena salah format.
Sebenarnya siapa yang salah? Mahasiswa mengerjakan sesuai dengan apa yang
mereka ketahui dan yakini benar. Sementara dari pihak kampus, tidak memberikan
aturan yang baku, bagaimana format laporan harus dibuat. Mereka hanya
memberikan susunan dan sistematika laporan. Mereka sejak awal juga tidak
menyatakan, bahwa laporan yang dikumpulkan di LPPMP, hanyalah judul, abstrak,
dan juga matriks. Sementara sudah banyak mahasiswa yang mengumpulkan dalam
bentuk bendelan tebal. Satu kata yang tergambar dari wajah mereka, kecewa.
Lepas dari laporan,
pelayanan gedung orange juga “tidak
cukup ramah” terhadap mahasiswa. Kami (mahasiswa –red) sering menebar lelucon
terkait gedung yang lebih mirip kantor pos tersebut. Apa esensi gedung itu
dibangun sebegitu megahnya? Beberapa mahasiswa secara langsung ataupun di dalam
grup tertutup kami mengatakan, bahwa mereka tidak mendapatkan pelayanan yang
baik. Saya pikir juga demikian, satpam bank cenderung lebih ramah dan baik hati
dalam memberikan pelayanan.
Gedung tersebut
dibangun dengan dana yang tidak sedikit, harapannya, dengan dibangunnya gedung
tersebut, pihak kampus akan memberikan pelayanan yang maksimal bagi para
mahasiswa. Nyatanya? Gedung tersebut adalah bangunan megah yang kosong. Lihat
saja, ketika kita memasuki lobi gedung, hanya ada segelintir pegawai yang ada
di sana. Gedung sebesar itu bahkan tidak memiliki front office (atau jangan-jangan saya yang kebetulan tidak berjumpa
dengan yang bersangkutan). Namun, apabila kebetulan, sangat tidak mungkin
karena saya berkali-kali ke sana, dan selalu kebingungan untuk menanyakan
beberapa hal. Pegawai di sana juga sepertinya tidak siap memberikan pelayanan
kepada mahasiswa, buktinya pada beberapa kesempatan, saya mendapati
ruangan-ruangan yang seharusnya terisi staf kosong melompong. Untung saya yang
masuk ke sana dan sedikit bisa memberikan “permakluman”, coba kalau tamu luar
yang datang jauh-jauh, apakah universitas yang tengah menuju universitas
berkelas dunia ini tidak malu? Apa salahnya menyediakan satu front office saja? Saya yakin keberadaan
satu staf ini akan sangat membantu, baik mahasiswa maupun orang yang memiliki
kepentingan dengan LPPMP.
Semoga hal ini bisa
menjadi bahan evaluasi dan pertimbangan bagi pihak kampus. Entah terkait dengan
kebijakan maupun pelayanan terhadap mahasiswa. Yang perlu disadari di sini,
mahasiswa bukanlah kelinci percobaan. Untuk bisa menumbuhkan iklim yang
kondusif di dalam kampus, perlu ada sinergi antara pihak kampus dengan
mahasiswa. Sebagai penutup dari tulisan ini, semoga pihak kampus mau belajar
dari pengalaman.
Okta
Adetya,
Pemimpin
Redaksi Jurnal Kreativa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar