Sumber: Lukisan S Dali | Diolah Kreativa |
Di luar, sastra
cyber dikenal sebagai e-sastra, meminjam istilah dalam esai Andrian Eksa,
berjudul “e-Sastra dan Teror-Teror di Indonesia”. Sastra cyber pernah menjadi
sebuah diskursus yang menarik di Indonesia, antara pegiat sastra cyber itu
sendiri dengan ‘sastrawan media cetak’.
Munculnya sastra
cyber ditandai dengan terbitnya buku kumpulan puisi Graffiti Gratitude. Puisi di dalam buku tersebut merupakan
puisi-puisi yang pernah dimuat di situs cybersastra.net.
Sastra cyber di Indonesia lahir pada tanggal 9 Mei 2001 di Puri Agung Sahid
Jaya Hotel.[1] Sastra cyber muncul
sebagai medium baru sastra Indonesia.
Ahmadun Yose
Herfanda mempertanyakan mutu sastra cyber tersebut. Esai itu ia tulis di
Republika dengan menyebutkan sastra cyber sebagai ‘tong sampah’ dari
karya-karya yang ditolak di media cetak. [2] Sejauh ini dari tahun 2001 geliat sastra cyber memang tak pernah menjadi sebuah
era baru dalam sastra Indonesia. Sastra cyber tampaknya hilang begitu saja
mengikuti laju dan arus sastra Indonesia yang lain. Misal, tahun ini kita
mendengar tentang Puisi Esai yang dipimpong
keberadaannya. Dan mungkin tidak akan pernah ‘ada’ keberadaannya dalam sastra Indonesia.
Sastra Indonesia keberadaannya
menginginkan arus yang konvensional: media cetak, (koran atau buku). Sejauh ini
tampaknya hanya buku yang tak pernah diperdebatkan dalam sastra Indonesia,
belum ada era baru yang mau menyaingi eksistensi buku. Sementara koran,
majalah, keberadaannya pernah dipertanyakan: sebagai sastra kita yang terbatas
atau yang terkekang.
Di Malaysia,
seperti yang ditulis Andrian Eksa dalam esai tersebut, e-Sastra eskalasinya begitu
tinggi. Kedengarannya juga sudah memasuki lembaga pendidikan. Bahkan menjadi
salah satu mata kuliah ataupun mata pelajaran di lembaga pendidikan di Malaysia.
E-Sastra tersebut dipelopori oleh Prof. Dr. Irwan Abu Bakar, seorang sastrawan
Malaysia yang sangat memperhatikan dunia e-Sastra.
Perkembangan e-Sastra
di Malaysia saat ini ataupun sastra cyber di Indonesia tahun lampau perlu kita
hargai sebagai sebuah ‘penyemarak’ dalam khazanah sastra Indonesia. Malaysia tampak
sebagai negara yang perkembangan sastranya terhitung ‘tertinggal’, bahkan
ketertinggalaan Indonesia dalam esai Andrian Eksa, perlu dipertanyakan. Sepenuhnya
apa yang diutarakan Andrian Eska tidaklah keliru. Ketertinggalan yang dimaksud
barangkali dalam hal kualitas, apresiasi, atau eksistensi e-Sastra itu sendiri
oleh kalangan akademik, atau kritikus sastra. Di Indonesia kalangan akademik
dan kritikus sastra belum sepenuhnya menyatakan sastra cyber sebagai era baru
yang harus berada di garda depan.
Setelah sastra
cyber ‘lenyap’ di meja basar sastra Indonesia lalu muncul Sastra Digital yang
dipelopori oleh sastrawan Cecep Syamsul Hari. Sastra Digital (sastradigital.com) bergerak di dunia
maya. Di ranah penerbitan Sastra Digital telah menerbitkan Jurnal Sastra No. 1
(September 2012-Maret 2013) dan Jurnal Sastra No. 2/2013. Sejauh ini Sastra
Digital yang disetir oleh Cecep Syamsul Hari tak pernah melakukan orasi untuk
mendapatkan pengakuan. Sebagai sastrawan yang banyak bergerak di sastra cetak,
Cecep hendak mengimbangi antara sastra cetak dan sastra digital.
- Mawaidi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar