Eka Rusdiana*
Berangkat dari
sesuatu yang klise, ketika kita menyinggung peran penting mahasiswa sebagai
generasi penerus bangsa yang nanti katanya akan membawa Indonesia gemilang
segemilang-gemilangnya. Sebuah kelompok elit yang paling diharapkan masyarakat
di negeri ini, yang memiliki tempat berbeda di hati masyarakat. Dari nama saja
sudah terlihat jelas, kata “mahasiswa” yang berasal dari gabungan dua kata “maha”
dan “siswa”. Tipe kata “maha”, memiliki arti khusus dan di balik kata ‘maha’
ini sejatinya tersimpan harapan besar masyarakat Indonesia hingga penamaannya
secara khusus pula hanya ada di Indonesia. Di Inggris mahasiswa hanya disebut student bukan great student.
Generasi yang
dicetak dan dipersiapkan untuk tujuan mulia. Sebuah aset, cadangan, harapan
bangsa untuk masa depan. Yang diharapkan
dengan pemikiran kritis mereka akan menjadi motor penggerak kemajuan
pembangunan. Sudah merupakan “hukum adat” bagi seorang atau sekelompok
mahasiswa untuk aktif dalam menyoroti kebijakan-kebijakan pemerintah yang
kurang bijak. Selanjutnya yang menjadi tanda tanya besar adalah, BENARKAH? Bisa
jadi memang benar, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa itu hanya akan
menjadi angan-angan saja.
Mengapa? Pada
kenyataannya beberapa dari sekian ribu yang menyebut dirinya sebagai mahasiswa
justru memberikan citraan yang buruk.
Sedikit frontal
memang, tetapi apa lagi sebutannya ketika seorang atau sekelompok mahasiswa
sudah tidak mampu lagi mengemban tanggung jawab besar yang seharusnya diemban
setiap generasi yang mengaku sebagai mahasiswa? Apalagi sebutan yang pantas
ketika kata mahasiswa yang diharap-harap bisa menjadi pondasi justru saling
hantam? Lantas bagaimana dengan kalimat ini: “Sudah merupakan “hukum adat” bagi seorang atau sekelompok mahasiswa
untuk aktif dalam menyoroti kebijakan-kebijakan pemerintah yang kurang bijak”
ketika semuanya menjadi terbalik?
Sudah bukan shock therapy lagi ketika kita mendengar
ada saja seorang atau sekelompok mahasiswa yang masuk koran bukan karena
prestasi, tetapi sebaliknya. Bahkan mungkin sudah menjadi “makanan ringan” bagi
penikmat berita ketika sosok yang dianggap menjadi harapan bangsa itu bukannya
menjadi yang mengkritisi dan menyorot segala tindak tanduk pemerintah, tetapi
malah menjadi yang disorot. Berurusan dengan aparat kepolisian karena saling
“jotos” dan merusak sarana prasarana dengan mengatasnamakan demokrasi,
mengutarakan pendapat sebagai seorang mahasiswa atau apalah itu namanya. Rasa-rasanya
harapan untuk menjadi Indonesia gemilang segemilang-gemilangnya itu semakin
mengerucut saja, dan pada akhirnya hanya akan menjadi harapan yang menggantung
di depan jidat.
Sebagai generasi
muda yang nantinya akan menjadi ujung tombak perubahan Indonesia kita tercinta
ini, seharusnya bukan “kepal tangan yang didaratkan di wajah yang patut
ditunjukkan”. Tetapi “kepal tangan di dada sebagai tekad pencapaian berbagai
inovasi baru” yang bakalan berguna untuk kemajuan bangsa dan negara. Sebagai
mahasiswa generasi penerus bangsa seharusnya bisa menjaga nilai-nilai kebanggaan
yang terdapat di dalam kata “mahasiswa” itu sendiri, bukan malah
menghilangkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar