Yeni Istari*
Pada tanggal 19 Desember 2012 lalu
Universitas Negeri Yogyakarta mengadakan Workshop PKM. Salah satu pembicara
yang memberikan materi adalah Ir. H. RB. Ainurrasjid,
Ms, Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan Universitas Brawijaya. Dalam
ceramahnya, beliau menceritakan perkembangan
universitasnya yang mengapresiasi kerja keras mahasiswa dan
dosen pembimbing yang PKM-nya menang dalam seleksi PIMNAS. SK
Rektor menyebutkan penghargaan bagi mahasiswa yang meraih medali emas
presentasi adalah sejumlah Rp 15.000.000,00 sedangkan dosen pembimbingnya
mendapatkan Rp 12.500.000,00. Begitu seterusnya disesuaikan dengan prestasi
yang diraih.
Sistem insentif ini kemudian
dipertanyakan oleh salah seorang peserta workshop yang berpendapat bahwa sistem
insentif ini justru akan membentuk karakter mahasiswa dan dosen menjadi money oriented. Dalam hal ini saya
memiliki pendapat lain. Reward system
yang dijalankan Universitas Brawijaya merupakan suatu titik baru dalam kondisi
kurangnya apresiasi terhadap kreativitas di negara kita.
Seperti pepatah mengatakan, apa yang
ditanam itulah yang dituai, apa yang kita beri itulah yang juga akan kita
dapatkan kelak. Ketika memang kualitas manusia dan produk yang dihasilkannya
baik, apa yang salah dengan pemberian penghargaan? Sebab penghargaan tersebut
merupakan hasil jerih payah dari individu yang bersangkutan itu sendiri. Dalam
konteks ini, penghargaan yang diberikan secara otomatis akan memacu motivasi
mahasiswa lain untuk mengembangkan kreativitasnya dan kemudian berlomba-lomba
menghasilkan ide-ide segar yang bermanfaat bagi masyarakat.
Konsep yang sama dapat kita temukan
misalnya pada penulisan resensi buku. Ketika kita menulis sebuah resensi buku
lalu kita kirim ke media massa dan kemudian dimuat, maka kita juga akan
mendapat reward dari penerbit buku
yang kita resensi tersebut berupa uang tunai dan buku. Mengapa? Sebab pada saat
kita meresensi, kita membawa nama penerbit di dalamnya. Meski yang kita ulas
adalah isi buku tersebut, namun secara tidak langsung kita telah mempromosikan
penerbit itu juga.
Pemberian reward oleh universitas pada mahasiswa yang berprestasi pun
demikian, sebab ketika mahasiswa mengikuti suatu ajang perlombaan, ia
menyandang nama universitas dibahunya, bukan hanya namanya perorangan. Maka
ketika ia meraih juara, berarti ia telah turut membesarkan nama universitasnya.
Universitas kemudian memberinya reward
atas prestasinya. Jika apresiasi universitas terhadap prestasi mahasiswanya
baik, tentu akan membuka peluang semakin besarnya animo mahasiswa untuk
mengasah kemampuan dan intelektualitasnya untuk meraih prestasi yang semakin
besar.
Suatu angan-angan kemudian muncul
dibenak saya, bagaimana jika reward
system ini tidak hanya diterapkan di universitas saja, tetapi juga di
jajaran pemerintahan dan seluruh lapisan masyarakat. Misalnya pemberian reward pada PNS yang berprestasi,
berdedikasi tinggi, serta bekerja keras. Dengan memanfaatkan sifat iri manusia,
hal ini kemudian akan memacu semangat karyawan lain untuk meningkatkan kualitas
kerjanya. Tindak korupsi pun akan dapat ditekan melalui cara ini, hingga kita
bisa sampai pada level bangsa yang dapat mengapresiasi kerja keras orang lain.
Jika selama ini korupsi terjadi karena pelakunya merasa gajinya rendah, maka
alasan apa lagi yang akan muncul setelah diterapkannya reward system ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar