Perpustakaan
FBS sebagai jantung kultur intelektual mahasiswa, selama ini dinilai masih
minim khasanah literer. Tak hanya itu, perpustakaan yang sedianya memudahkan
mahasiswa untuk mendapatkan referensi yang lebih detail mengenai bahasa dan
seni, nyatanya tak memberikan bantuan yang sangat signifikan.
“Koleksi
buku-bukunya minim, yang ada cuma koleksi skripsi dan jurnal itu juga cuma
sedikit. Kalo perpus fakultas itu keadaannya kayak gini, kayaknya gak ada perpus fakultaspun gak papa deh”
ujarAnez selaku mahasiswi PBSI UNY, Selasa (16/4).
Mengenai keluhan ini, Dr. Maman Suryaman,
ketua jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) kemudian menanggapi
“Sebenarnya program pengadaan dana buku itu baru ada saat dua tahun ini, yaitu tahun
kemarin dan tahun ini yang belum dilaksanakan
karena dana belum cair, tapi jurusan telah mengimplementasikan. Mengenai koleksi
buku yang masih tetap saja koleksi lama, Jurusan malah tidak pernah tahu mengenai
hal adanya regenarasi buku-buku, justru mahasiswalah yang harusnya mengontrol dan
monitoring oleh alumni juga, apakah benar
koleksinya masih koleksi lama, atau mungkin saja buku-bukunya masih dipinjam dan
belum dikembalikan itu masih harus perlu dicek lagi” terangnya.
Mengenai hal ini, Dr. Widyastuti Purbani,
M.A selaku Wakil Dekan I juga angkat bicara. Beliau mengatakan, sebenarnya perpustakaan
itu dulunya di universitas, tetapi karena jarak fakultas ke universitas jauh maka
dibukalah perpustakaan fakultas, agar jangkauan mahasiswa ke perpustakaan lebih
mudah
“Sebelum
ini, perpustakaan ada di fakultas, lalu ada sentralisasi, secara factual kita butuh buku di fakultas
(pindah lagi ke fakultas –red). Maka, kampus sedang menata ulang apakah sentralistik
atau desentralistik. Sebagai contoh sentralistik perpustakaan yaitu UI, di UI
hanya ada satu perpustakaan sehingga bukunya terpadu. Sedangkan kita
(fakultas-red), secara fasilitas tidak bisa memperbesar perpustakaan. Karena dana
dan belum ada kebijakan dari pusat. Jadi yang fakultas lebih ke koleksi skripsi,
jadi memang dana pembelian buku umum itu di universitas” papar beliau.
PIhak fakultas sangat mengharapkan,
universitas mampu memberikan kebijakan yang jelas terkait dengan persoalan
perpustakaan. Kejelasan kebijakan ini akan sangat terkait dnegan pembiayaan dan
pengelolaan perpustakaan fakultas nantinya.
“Selama
ini (uang denda dari mahasiswa –red) hanya
untuk perawatan. Maka sebenarnya. harus ada policy yang jelas, kalau dana sentralistik,
perpus setengah-setengah, jelek, harus ada anggaran yang jelas. Kalau akan memperbesar
pengelolaan, sistem, perawatan, harus ada dana yang banyak. Harus di forum
rapat kerja universitas (pembicaraan mengenai hal ini –red). Sedangkan dari universitas sendiri tidak ada anggaran, terutama
sekarang program baru UKT (Uang Kuliah Tunggal) memberatkan dana fakultas, baru
di tahun keempat agak longgar” ujar beliau.
Kebijakan sentralistik dan
desentralistik ini pun menuai komentar para mahasiswa, sebut saja Bekti,
mahasiswi jurusan PBSI angkatan 2010 ini mengatakan “Perpus fakultas itu pentinglah, karna menyediakan buku-buku yang
berhubungan dengan jurusan-jurusan yang ada di fakultas itu.. Jadi memudahkan mahasiswa
dalam mencari buku-buku yang diperlukan juga. Kalau tidak ada perpus fakultas,
apa perpus univ mampu menyediakan semua buku-buku yang diperlukan oleh mahasiswa
semua jurusan? Perpus univ juga gak lengkap, namun demikian keberadaan
perpus UPT juga perlu, terutama kalau kita butuh reverensi dari disiplin lain.
Intinya dua-duanya perlu.Tapi khusus perpus fakultas harus bisa lebih mewadahi keperluan
mahasiswa.”
Hal
senada juga diungkapkan oleh Anez, mahasiswi PBSI “Lebih
suka ada perpustakaan fakultas sebenernya, tapi bukan perpus yang sekarang lho.
Iya dong (lebih dekat cari sumber –red),
tapi ya itu tadi koleksi nya harus lengkap juga. ya minimal mencukupi kebutuhan
lah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar