Beberapa
malam yang lalu terjadi perdebatan di ranah maya terkait sebuah postingan
kontroversial dengan akun bernama Sedulur, yang diduga sebagai salah satu oknum
pengurus BEM FBS UNY 2013. Postingan bertanggal 2 Maret 2013 tersebut
menyatakan bahwasannya privasi akun BEM FBS disebabkan oleh banyaknya kritik
pedas yang mereka terima, sehingga kritik dan saran akan dilayani melalui inbox.
Di dunia
maya, apalagi untuk identitas komentator, bisa saja diberi nama sesuka hati
oleh pengguna internet. Mungkin saja itu memang benar oknum anggota BEM FBS
2013 atau justru orang-orang yang ingin menjatuhkan BEM FBS UNY, setelah dia
tahu diberlakukannya privasi akun. Akan tetapi, di sini bukan kapasitas saya
untuk berkomentar, siapa sebenarnya pemilik akun tersebut. Apakah itu akun
resmi atau palsu.
Terlepas
dari kesahihan pengguna akun, mencermati aktivitas akun facebook BEM FBS memang
menarik. Dalam sebuah diskusi, yang lebih mirip debat kusir, dikatakan bahwa
upaya privasi akun facebook dilakukan untuk meminimalisasi tertimbunnya
informasi resmi BEM. Akan tetapi, hal ini menuai banyak sekali kecaman dan
komentar miring dari para mahasiswa FBS. Pasalnya, mereka menilai bahwa
demokrasi sudah diberangus, sehingga asas keterbukaan publik diciderai.
Sebenarnya kalau masing-masing pihak mau menahan diri, permasalahan semacam ini
bisa diselesaikan.
Tak Ada Asap
Tanpa Api
Polemik ini
bermula dari perang komentar di ekspresionline, media online milik LPM Ekspresi
UNY. Adapun tulisan yang ramai dengan komentar tersebut tak lain dan tak bukan
adalah tulisan milik saudara Rony, berjudul Masihkah BEM FBS
Sedulur?. Di sini terlihat bagaimana pendukung BEM FBS begitu susah payah
untuk mempertahankan argumen mereka, dengan melakukan penyangkalan terhadap
pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oleh saudara Rony. Dengan klarifikasi
yang ada, permasalahan bukannya selesai melainkan semakin panas. Di sinilah
letak kesalahan para pendukung. Sebagai pihak yang tengah disorot, seharusnya
mereka lebih pandai memainkan manajemen konflik. Mereka tidak menyadari bahwa
komentar-komentar mereka yang keukeuh hanya bagaikan api dalam sekam.
Sebenarnya
bukan sekali dua ini konflik yang menyeret BEM FBS terpercik di ranah maya. Di
akun resmi milik BEM FBS sendiri, perdebatan keras juga seringkali terjadi. Tak
Ada Asap Tanpa Api, sebagaimana sub judul di atas, bahwa permasalahan tidak
akan muncul begitu saja tanpa sebab. Admin akun seringkali melakukan blunder
dalam menjawab ataupun menanggapi pertanyaan visitor. Dan tak jarang, admin
juga terkesan tidak nyambung atau dalam bahasa pegaulan sekarang dinamakan OOT.
Saya masih
teringat dengan jelas salah satu peristiwa yang sampai sekarang masih sering
dijadikan bahan lelucon teman-teman. Saat itu saudari Asti Fetiningrum
memposting yang intinya pergantian mekanisme pemberian dan persyaratan beasiswa
itu dinilai merepotkan, sehingga dia menyampaikan aspirasi itu kepada BEM. Namun, jawaban yang
diberikan oleh admin sangat mengocok perut, dia menjawab “Jangan lupa
uneg-unegnya bisa disampaikan langsung ke Tuhan juga mba. #admin” (lengkap
dengan hastag admin, berikut screenshoot percakapan kami sertakan). Hal ini
memperlihatkan bagaimana kualitas para penjaga garda depan BEM, terlebih Humas
Media dan Informasi adalah salah satu pos yang vital.
screenshoot percakapan pengunjung dan admin BEM FBS (doc. adet) |
Selain itu,
simpatisan BEM juga harus lebih bijak dalam menanggapi komentar, bukan malah
menggoreng isu. Saya tidak mengatakan bahwasannya mereka harus selalu mengalah,
namun paling tidak mereka tahu kondisi, sehingga apa yang mereka sampaikan
tidak justru memperkeruh masalah dan blunder. Saya teringat komentar salah satu
mahasiswi Prancis angkatan atas, bahwasannya simpatisan BEM sering menggunakan
istilah dan bahasa asing sehingga terkesan intelek. Namun sayangnya, alih kode,
campur kode, bahkan bilingualisme yang mereka lakukan kadang tidak sesuai
penempatan. Sehingga, maaf saja, alih-alih memperlihatkan bahwa mereka cerdas,
mereka justru terlihat seperti mahasiswa baru yang merasa bombastis dengan
bahsa-bahasa keren, meskipun mereka tidak tahu artinya. Saya sepakat dengan apa
yang diungkapkan mahasiswi Prancis itu, bahwa lebih bijaksana untuk menggunakan
bahasa sederhana, merakyat serta benar, sehingga tidak memunculkan adanya
ketimpangan dan terbangunnya tembok pemisah.
“Privasisasi”
atau Privatisasi?
Privasisasi?
Saya menggunakan istilah ini, karena mengacu pada dinding akun BEM FBS yang
sekarang. Dengan pengaturan privat, orang sudah tidak dapat mengirimkan posting
ke akun tersebut. Hal ini berdampak pada menurunnya keterbukaan, kita sama saja
mundur satu zaman, kembali ke Orde Baru, saya menyebutnya pembungkaman secara
halus. Niat yang baik tidak menutup postingan penting, seharusnya tidak serta
merta menutup partisipasi dan aspirasi mahasiswa untuk turut membangun
pemerintahan yang sehat. Kalau melalui pesan, orang lain tidak akan dapat
melihat, imbasnya kita tidak mampu untuk diskusi secara cerdas. Akan tetapi
sebenarnya, kalau yang ditakutkan adalah banyaknya kritik pedas, BEM FBS justru
harus berkaca, mengapa masih banyak kritik? Ini yang hendaknya menjadi bahan
evaluasi besar-besaran. Kalau diawasi sedemikian rupa saja masih sering
blunder, apalagi tidak diawasi. Kalau pemerintahan tidak mau dikritik mau jadi
apa? Otoriter? Tirani?
Berdasar
pada kendala tersebut, kemarin saya sempat menyarankan dibuat adanya fanspage.
Mengapa fanspage? Karena, fanspage memungkinkan postingan member terpampang,
tanpa menimbun postingan penting dari admin. Akan tetapi mereka berkilah, bahwa
fanspage dinilai tidak terlalu berhasil. Lagi-lagi ini harus menjadi PR untuk
BEM, mengapa tidak banyak yang ngelike? Apa kendalanya? Atau inovasi
seperti apa yang bisa diterapkan untuk menarik partisipasi mahasiswa FBS?
Privatisasi?
Mungkin ada yang heran mengapa saya memunculkan istilah ini. Saya melihat bahwa
akhir-akhir ini BEM semacam membangun dinasti dan eklusivitas. Mungkin mereka
menyangkal, bahwa mereka berbaur dengan siapapun tanpa membedakan. Akan tetapi,
sebagaimana yang saya amati, dengan obyektif, BEM FBS gagal merangkul seluruh
masyarakatnya. Bagi saya ini hanya semacam organisasi yang orang di dalamnya
memiliki visi dan misi yang sama. Sudah selesai.
Saya pikir
BEM bisa melakukan lebih dari itu. Maka saya sangat setuju terhadap postingan
salah satu akun facebook yang mengatakan perlunya dialog dan pertemuan untuk
menampung seluruh aspirasi dan kemauan masyarakat FBS. Penempatan
perwira-perwira di pos-pos terdepan BEM pun tampaknya tidak dipikirkan masak-masak
oleh Tomy, selaku ketua BEM FBS. Sehingga penempatan yang mungkin kurang pas
ini, justru menjadi bumerang bagi BEM sendiri. Kalau memungkinkan, perombakan
pengurus pos menjadi alternatif yang bisa dipikirkan. Artinya dia dapat
menempatkan orang-orang yang netral dan dapat merangkul semua kalangan pada
pos-pos strategis. Ini soal strategi, taktik.
Bagaimana
bisa merangkul seluruh masyarakat? Saya pernah merasa tersentil berkunjung ke
akun BEM FBS karena dikatakan tak peduli pendidikan lantaran apatis terhadap
UKT. Mereka tidak paham, bahwa kami pun sudah sering membahas UKT namun tidak
kami publikasikan. Kadang unsur kedekatan menjadi hal yang dilupakan, mereka
bersikap seolah pahlawan pada permasalahan makro, namun kocar-kacir di kandang
sendiri. Ingat Christiaan Snouck
Hurgronje? Ya, dia adalah orang kiriman Belanda yang diminta untuk mempelajari
budaya Aceh dan Islam. BEM seharusnya menggunakan strategi ini, mempelajari
masyarakatnya sendiri dan mencoba berbaur tanpa membawa ideologi, latar belakang,
embel-embel, dan prinsip masing-masing. Sebab mau tak mau saya harus
mengatakan, bahwa inilah yang menjadi tembok tinggi selama ini. Bagaimanapun
juga BEM adalah bagian dari masyarakat FBS.
Tomy dan
kawan-kawan tampaknya perlu sering mengadakan poling, menampung banyak
aspirasi, menjalin komunikasi intensif dengan pertemuan-pertemuan, serta
melakukan analisis sosial. Pemerintah yang mendapatkan sorotan memang tidak
nyaman, namun lebih tidak nyaman lagi teringat jargon dan janji-janji kampanye
yang sampai sekarang tidak diketahui rimbanya, khususnya menjadikan FBS sebagai
sebuah keluarga yang menyatu.
Kembali ke
soal privasisasi dan privatisasi. Saya tak akan berspekulasi terlalu jauh.
Namun yang jelas penolakan keras dari teman-teman merupakan peringatan awal,
jangan sampai privasisasi ini adalah jalan halus untuk memprivatisasi BEM FBS.
Dengan
tulisan ini, orang mungkin akan menampatkan saya sebagai oposisi. Silahkan.
Namun yang pasti saya tidak peduli siapa yang menjadi pemerintah, yang
terpenting bagi saya adalah bagaimana pemerintahan itu dijalankan. Sekali lagi,
dialog wajib dilakukan demi keberlangsungan BEM dan upaya menekan apatisme
mahasiswa terhadap BEM serta segala bentuk permasalahannya. Namun yang
terpenting, BEM hendaknya mampu legowo untuk menerima apapun hasil dialog
bersama dan menjalankannya, sebagai bagian dari konsesus dan etika
bermasyarakat dalam kampus. Salam Kejujuran. (Okta Adetya, mahasiswa PBSI 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar