Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) terkenal dengan spirit kultural mahasiswanya yang kuat, seperti melestarikan budaya
berbatik, ramainya latihan tari di Pendopo Tedjokusumo, alunan gamelan dari lab
karawitan, atau gema
musik dari mahasiswa seni musik yang berada di bawah pohon beringin. Dengan
maraknya berbagai kegiatan tersebut, kampus ungu tidak pernah sepi dari hiruk pikuk berkesenian.
“Dahulu, FBS sering mengadakan acara
ngobrol bareng bersama tokoh budayawan atau seniman besar,” ujar Mutia Sukma
mengenang masa-masa kuliah di FBS. “Dan itu gratis untuk mahasiswa,” tambahnya.
Alumni mahasiswa jurusan sastra
Indonesia tersebut juga menceritakan bahwa datangnya tokoh budayawan, tokoh
seniman dapat menstimulasi mahasiswa untuk menjadi lebih akrab untuk mengapresiasi bentuk-bentuk kesenian atau kebudayaan.
Sayangnya, akhir-akhir
ini FBS jarang sekali mengadakan agenda semacam itu, kalaupun ada, acara seperti itu dihandel oleh Ormawa dan itu
harus membayar fee. Tak jarang mahasiswa enggan mendaftar, karena mahalnya uang pendaftaran acara tersebut.
Sepinya tokoh budayawan atau tokoh
seniman bukanlah pantangan untuk mahasiswa untuk mengekspresikan kesenian
melalui pendidikan karakter.
“Sekarang kan eranya pendidikan
karakter. Jadi, FBS mendatangkan acara yang berkaitan dengan pendidikan
karakter seperti seminar internasional dengan pembicara Theo Wubles dari
Belanda, yang semua itu sebenarnya tak jauh dengan namanya kesenian juga,”
tutur Dr. Kun Setyaning A stuti, M.Pd
wakil dekan III FBS.
Bermula karena minimnya kegiatan
yang dilaksanakan langsung oleh pihak FBS membuat Aksara penasaran. Hal
semacam ini perlu disoroti.
Maka, kami mencoba menelisik penyebab langkanya kegiatan mendatangkan tokoh
besar. Sejalan dnegan
apa yang sudah disampaikan di awal, apakah kegiatan tersebut sudah diwakilkan oleh pihak Ormawa? Jika benar demikian, maka uang kontribusi yang ditawarkan oleh panitia
penyelenggara tentu
memberatkan mahasiswa.
“Mahal sih mahal. Tapi kalau
acaranya bagus ya nggak apa-apa lah,” ujar mahasiswa Jurusan Bahasa dan
Sastra Indonesia, Muhammad Maulana Ismail.
“Jujur, kalau menurutku sih
mahal karena kadang pembicaranya itu cuma dari tempat kita sendiri. Tapi ada
juga sih yang sepadan sama seminarnya.” Seorang mahasiswi bernama
Riyantini berujar.
Kegiatan temu tokoh budayawan dan
sastrawan di FBS secara gratis dirindukan oleh banyak mahasiswa. FBS
yang notabene merupakan kampus berbasis kesenian, memiliki tokoh-tokoh yang
sudah dikenal secara nasional. Nyatanya pihak kampus, cenderung lebih
membanggakan eksistensi mereka, dibandingkan memanfaatkan mereka untuk berbagi
ilmu. “Misalkan ada banyak
alumni FBS yang sudah diterima dan bekerja di perusahaan besar di luar, semisal
media koran atau pekerja film. Itulah yang membawa FBS makin tampak
eksistensinya,” kata Wakil Dekan III. (nur/maw)