Label

Kamis, 18 Agustus 2011

Waktu Mencerabut Harimu


Detik berjalan dan langkah kita tak akan pernah surut. Meski masa lalu jauh tertinggal, jauh di sana, terkungkung sejarah. Namun bukankah setapak adalah sesuatu yang tanpa akhir, sebagaimana kau berpikir dimana batas antara lautan, karena di sana kau akan menampak cakrawala.
Menit bergulir dari warna-warna yang mugkin tak kau lupa, tentang indahnya abu-abu atau juga sucinya putih. Di sana kau tanam cinta, yang menyemikan benih-benih kasih sayang, benih-benih rasa memiliki, dan kau akan selalu terbayang. Namun juga tak dapat kau keluar dari kungkungan, bahwa menit itu adalah menit dimana kau merasa terjatuh dan tak mampu terbangun, menit dimana ketika kau merasa jenuh dan ingin menghentikan waktu. Kendati itu tak akan bagimu.
Jam demi jam berlari, dan tak kau temui lagi gurat senyum orang-orang terkasih. Mereka berpendar, bagai pendaran bola-bola cahaya mentari yang kemudian surut di makan siang. Atau memang selaksa ribuan kunang yang berhamburan di padang tengah bulan, yang kau kejar, kau gapai, namun kemudian menghilang dan tak kau tahu rimbanya.
Bukan mereka ingin singkirkan dari alam pikiran, namun dia memiliki ranting lain untuk berpijak sebagai daun. Kau hanya akan beranjak sekian centi, namun tak kau sadar, bahwa betapa jarak itu bagaikan ribuan kilo, laksana rute Anyer-Panarukan. Atau mungkin kau tak juga sadari bahwa ada benteng setinggi tembok Cina yang menghadang karena rutinitas berputar dan selalu berbeda. Ada jurang yang membentang dalam-dalam, bagai Ngarai Sianok yang terbalut misteri dan eksotisme.
Kini jari jemarimu merambat, jauh di tembok-tembok yang sebelumnya tak kau gapai. Resah di lekuk tubuh yang tak kau jamah. Akankah kau sadar, bahwa jutaan kisah telah kauukir dari pertama kau tangiskan isak di tengah malam, hingga kini ketika kau mau menopang tubuhmu dengan dua kaki. Kau tatap dengan sejurus garis tepi matamu, disertai embun yang menggantung dan kemudian terjatuh letih. Kau berada di dunia baru, dunia yang mengharuskanmu untuk tak menemui masa-masa di sebelum ini.
Kau akan merasakan berat, namun tidak, bilamana kau terus berjalan dan temukan setapak demi setapak, lorong demi lorong, gang demi gang. Kau akan menerabas melintas menembus batas, kau akan merasakan dimana waktu merubah segalanya. Merubah alam pikiran yang bagai padang Sahara menjadi stepa di hutan hujan tropis. Kau akan merasa sekam dalam jiamu terbakar dan darah mendidih, itulah gelora mudamu mencuat dan idealisme liar menerjang alam bebas.
Mungkin kau akan tertidur, mendengkur dalam buaian yang nyeyak tanpa ada salak yang bangunkanmu. Namun kau bisa juga memeluk setiap malammu dengan mata yang menyala dan bola api bersinar tak hanya sekadar temaran kerlip lilin. Kau akan terbungkus dalam kardus, atau ka akan berlari, melompat, dan merangkak di tengah tanah lapang tak berpenghalang.
Itulah kau mulai hari ini, jiwa-jiwa yang bebas dan tak terpenjara, manusia-manusia baru dengan kepak sayap tersenyum pada sangkar yang mendekap gerak langkahmu. Inilah dunia kala kau mampu melihat hamparan biru air begitu kecil, dan cakrawala seakan kau gapai. Detik yang membawamu menaklukan mimpi-mimpimu. Karena kau agen perubahan, pundak tempat bangsa menopangkan harapan.

By : Okta Adetya Kadiv Litbang dan Jaringan LPPM Kreativa FBS UNY

Jalan Tak Pernah Berhenti


Kadang kita melawan malam dan menerabas dingin. Menerabas bayu dalam sepi dan hening. Terbalur desau, dan sepisau getir di penghujung tetes bening, tetes kerinduan. Bukankah kenangan tak akan datang, seperti pangeran berderap dari kuda warna putih kemudian menjalinmu dengan gelanyut rona-rona dalam jiwa?
Kadang kita menyungkurkan diri pada pagi, pada tetes embun yang dingin dan menggigil. Beku kau terkadang menempel pada ranting-ranting kerisauan. Risau pada siapa, risau pada apa, dan sejuta tanyamu yang masih bergelanyut, kapanpun kau melangkah atau sedikit terdiam menekur keadaan. Kau berselimut kabut, dan terpayungi mega mendung, awang kelabu. Kau masih juga terseok karena di seberang sana ada setapak meski tak rata.
Kadang kita meleleh pada siang. Pada sinarnya yang membakar, pada panasnya yang mengering dan kau tak mengelak. Kita terus berjalan, di waktu debu menerjang bagai badai dan kau tak peduli. Karena kau yakin bagai embun musim kemarau, dia akan menguap. Karena kau yakin daun-daun yang gugur itu pun bukan berarti tak membekas, selalu bersemi, hijau muda, merah merona, dan kau menarik seulas garis di bibirmu.
Kadang kita seakan terseret pada arus, pada deras, dan juga tak ada satu pun mampu kau gapai. Harapan itu tinggal di tanduk duri mawar, atau bahkan seperti kemungkinan matahari yang bersinar di kala malam datang menjemput. Namun harapanmu pun tak tercerabut, bagai akar ilalang yang kau campak dengan kasar. Kau selalu ada tenaga untuk sekedar bergerak maju, meskipun nafasmu tinggal satu satu di detik-detik terakhir. Namun tanganmu tak terus diam, mencoba mengayuh berharap pelepah terambing, dan kau mampu menyentuhnya, bagai kau menyentuh rona merah pipi seorang gadis.
Kadang kau bagai terbang, dipermainkan bayu, atau beliung yang merusak. Namun bukankah itu tak akan lama meski menyakitkan. Kau selalu ada alasan untuk kembangkan sayap meski patah, kau selalu meski memiliki alasan untuk kembangkan parasut meski robek. Kau tak akan peduli, kalau saja nanti kau terjatuh dan kembali terjaring pada ranting-ranting kering. Kau tak akan peduli meski luka tersayat di sekujur. Itu bukan masalah bagimu, bahkan ketika kau harus mendarat pada bongkahan-bongkahan tanah kering musim kemarau. Kau tak akan pernah berpikir, bahwa kau akan mati, bahwa Tuhan akan mencabut nyawamu.
Bukankah di balik matamu yang mengecil dan setajam elang itu, ada bayangan tempat kau merajut harapan? Bukankah di balik telingamu yang mengembang bagai kelopak-kelopak bunga musim semi itu, kau mendengar bisikan, bahwa asamu tak harus berhenti. Bukankah kau juga mengendus bahwa di persimpangan jalan ini, ketika tertutup kau akan mencium wangi taman bunga di baliknya?
Bahwa jalanmu bukanlah jalan dengan banyak lampu merah, yang menyebabkan hidupmu tersendat-sendat. Bukankah waktu pun tak berhenti, sehingga kau pun tak boleh untuk tidak melaju? Kau tahu sebagaimana kau mengetahui bahwa panas hari ini karena matahari menyengat? Hidup bukan hanya semata terdapat satu setapak yang buntu, kemudian kau memilih untuk tak melanjutkan apapun. Namun hidup lebih daripada itu, hidup adalah ketika kau mengetahui bahwa ada banyak sekali lorong yang mungkin membentuk labirin bisa kau jajal. Kau bukanlah orang yang berhenti untuk melangkah meski sayapmu patah, karena kau masih punya kaki.
Harapan itu bukanlah sekerlip kecil cahaya lilin, namun harapan adalah api abadi yang akan membuat hidupmu senantiasa ada. Bahwa kau tahu semangat sepatutnya bukan hanya nyala puntung rokok yang kemudian terdiam, namun bakaran sekam yang selalu membara dan ciptakan panas.
Mungkin mimpimu boleh saja terhapus, bagai tulisan pantai tersapu ombak. Bukan kau salah menuliskan sesuatu, hanya kau menulis di tempat yang salah. Kau mungkin merasa tak berarti, namun bukan itu. Karena sejatinya kau hanya perlu mengukirkan aksara pada sebuah tempat yang benar. Pada batu dan menjadikanya relief. Harapan, dialah nyawa kedua dalam hidup.

By: Okta Adetya Kadiv. Litbang dan Jaringan LPPM Kreativa FBS UNY

Senin, 08 Agustus 2011

KOPERASI DI TENGAH ARUS KAPITALISME GLOBAL

Koperasi terbentuk melalui proses yang cukup lama. Ide ini dicetuskan oleh R.Aria Wiria Atmojo, seorang pamong praja dari Purwokerto pada tahun 1896. Ide ini tercetus sebagai upaya konkrit perlawanan terhadap kapitalisme.
Kenyataan yang terjadi sekarang semakin mengerikan. Kapitalisme menjamah hampir semua elemen masyarakat. Bnyak isu berkembang mengenai ini, mulai dari isu kapitalisme ekonomi, kapitalisme pendidikan, kapitalisme kesehatan, dan berbgai bentuk kapitalisme lain.
Koperasi berbentuk Badan Hukum sesuai dengan Undang-undang No.12 tahun 1967. Disebutkan bahwa koperasi ialah organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial, beranggotakan orang-orang atau badan hukum. Koperasi merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan.
Dengan melihat asas koperasi, maka hadirnya kapitalisme manjadi semacam kontradiksi. Secara tersirat koperasi tidak hanya sebagai badan usaha berbasiskan ekonomi. Koperasi memiliki peranan penting sebagai salah satu wujud implementasi filosofi pancasila. Jiwa kekeluargaan, tolong menolong, dan sosial semacam inilah yang tidak akan kita temukan dalam kapitalisme.
Sebagai suatu organisasi yang terbentuk dalam masyarakat kecil, koperasi memiliki fungsi dan peran sebagai berikut: membangun dan mengembangkan potensi kemampan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial. Berperan serta secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat. Memperkokoh perekonomian masyarakat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional dengan koperasi sebagai soko gurunya. Berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional, yang merupakan usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi. Mengembangkan kreatifitas dan membangun jiwa berorganisasi bagi para pelajar bangsa.
Berbicara eksistensi koperasi di tengah arus kapitalisme global, terasa kurang lengkap, apabila kita tidak memberikan batasan terhadap kata kapitalisme. Kapitalisme bisa diartikan sebagai kekuasaan di tangan kapital, sistem ekonomi bebas tanpa batas dengan didasarkan pada keuntungan. Adapun tiga unsur penting kapitalisme, yang menjadi kontradiksi dari koperasi adalah individualisme, kompetisi, dan pengerukan keuntungan.
Dengan adanya komparasi kedua hal tersebut, sebenarnya koperasi memiliki keunggulan untuk dapat berkembang.
Dalam koperasi, falsafah hidup bangsa, jiwa gotong royong serta semangat kekeluargaan mampu mendapatkan tempatnya. Mereka membangun usaha dengan merintis bersama, modal bersama, kemudian mereka kelola bersama pula, serta membagi keuntungan secara adil terhadap semua anggota.
Tentu saja, hal ini berbeda dengan paham individualisme dan kompetisi. Yang lebih mementingkan usaha pribadi, melakukan pendistribusian hasil produksi ke pasar-pasar untuk berkompetisi, serta mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Para kaum kapital inipun tak segan-segan melakukan segala macam cara untuk mendapatkan keuntungan yang dia inginkan.
Selama ini koperasi di Indonesia tumbuh di lingkungan masyarakat, pegawai, serta institusi pendidikan. Dalam masyarakat, kita sering mengenal istilah KUD (Koperasi Unit Desa), KPN (Koperasi Pegawai Negeri), serta koperasi pelajar atau koperasi mahasiswa di dalam lingkungan pendidikan.
Sebagai satu badan ekonomi kerakyatan, maka koperasi memiliki tanggung jawab moral terhadap kesejahteraan masyarakat. Untuk itu beberapa layanam coba dihadirkan oleh koperasi, di antaranya usaha penyediaan barang-barang produksi, usaha pendistribusian barang produksi, serta usaha simpan pinjam.
Koperasi sedikit banyak, telah membantu masyarakat dalam hal pembiayaan hidup. Koperasi mencegah masyarakat terjebak dalam kejahatan lintah darat. Kegiatan simpan pinjam inilah, yang paling banyak mendominasi koperasi-koperasi pedesaan ataupun KPN.
Selain itu koperasi juga dimanfaatkan secara maksimal oleh kelompok-kelompok masyarakat, misalnya kelompok tani. Koperasi bisa menjadi alternatif untuk mendapatkan barang atau bahan produksi pertanian dengan harga terjangkau. Misalnya, pembelian pupuk, bibit unggul, dan juga alat-alat pertanian.
Di lingkungan pelajar dan mahasiswa, koperasi lebih bergerak dalam hal penyediaan dan pendistribusian hasil produksi. Pengelolaan koperasi ini diserahkan sepenuhnya terhadap pelajar ataupun mahasiswa. Dari sinilah, mereka memiliki etos kerja, dan juga pengalaman untuk melatih berwirausaha. Secara tidak langsung koperasi mampu mencetak enterpreneur-enterpreneur muda.
Akan tetapi, satu hal yang harus diketahui, bahwa kapitalisme seakan telah menggilas berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dominasi ini terlihat dari cara hidup dan pola pikir masyarakat.
Perilaku konsumerisme, tidak pernah terlepas dari cerdiknya para kaum kapital membidik segmen pasar mereka. Mereka cukup tahu apa yang disukai oleh masyarakat dengan menawarkan kemudahan, keefektifan, dan efisiensi. Produk ATM, mall, monopoli perusahaan-perusahaan asing serta berbagai penetrasi budaya yang masuk, tak lain merupakan upaya kaptalisasi.
Secara umum, peran koperasi sangat kecil sumbangannya terhadap PDB negara. Hal ini disebabkan karena peran tersebut sudah banyak diambil oleh BUMN dan BUMS. Akan tetapi, koperasi dan UKM juga sudah terbukti mampu bertahan terhadap hantaman krisis nasional pada tahun 1998. Dengan dampak yang sangat besar, maka tak heran krisis yang terjadi pada tahun 1998 itu dipandang oleh pengamat ekonomi menjadi krisis yang paling mengerikan.
Eksistensi koperasi belakangan ini sedikit surut. Koperasi yang dulu pernah jaya sekarang ini kurang terdengar gaungnya. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh mendominasinya peran kapital dalam negara. Cukup disayangkan kalau sampai koperasi tidak dapat berkembang. Sejarah mencatat sebagai bentuk keseriusan pemerintah, maka dibentuklah kementerian koperasi dan UKM.
Saat ini koperasi tengah menghadapi gempuran serius dari kaum-kaum kapitalis. Oleh karena itu, perlu adanya inovasi dan juga revitalisasi terhadap dunia perkoperasian di Indonesia. Revitalisasi dapat dilakukan dengan menggairahkan kembali semangat berkoperasi dimulai pada tingkat pendidikan. Kurikulum pendidikan seharusnya memasukkan materi koperasi ke dalamnya, sehingga prinsip ekonomi yang sesuai dengan budaya bangsa Indonesia dapat terus dipertahankan.
Selain itu untuk terus bisa berkembang, perlu adanya campur tangan pemerintah. Pemerintah bisa mendayagunakan koperasi seiring dengan pendayagunaan komponen lain. Dapat dicontohkan, pemerintah dapat membuat program terintegrasi antara koperasi dengan kelompok tani, PKK, warga sekolah, dan juga perkumpulan atau asosiasi lain. Contoh konkrit dari program ini adalah sebagai berikut, dalam penyediaan pupuk bersubsidi maka pemerintah menggandeng koperasi dan kelompok tani untuk berkolaborasi sebagai mitra tunggal pendistribusian pupuk tersebut. Koperasi boleh mengambil untung, kemudian laba diberikan dalam bentuk bagi hasil dengan kelompok tani. Adapun laba tersebut bisa digunakan untuk melaksanakan program-program kelompok tani.
Memang, kesan monopoli di sini sangat tampak. Namun pemerintah memiliki kewenangan menunjuk mitra, untuk membangun ekonomi kerakyatan yang bersinergi. Dengan sistem seperti ini, cukup memungkinkan adanya penyalahgunaan. Oleh sebab itu koperasi sebagai basis ekonomi rakyat harus mampu memegang teguh transparansi dan akuntabilitas publik. Sehingga program bisa diawasi bersama-sama.
Di era teknologi dan perkembangan saat ini, koperasi pun harus mampu melakukan inovasi dengan memberikan kemudahan, pelayanan memuaskan, adanya standar kualitas, serta sering mengadakan pendekatan dengan masyarakat. Dalam hal ini mayarakat harus mampu dilibatkan dalam koperasi, sehingga mereka mempunyai rasa memiliki. Dari rasa itulah, timbul tanggung jawab dan keinginan untuk kembali menunjukkan eksistensi koperasi di tengah arus kapitalisme global.

PITA HITAM, SIMBOL KEMATIAN BUDAYA

Malam itu (5/8), suasana PKM FBS hening, tak seperti  biasanya. Hanya terlihat beberapa anak yang duduk di Pendopo PKM, sedang mengukur pita hitam. Sementara itu di Ormawa C, berkumpul mahasiswa dengan wajah-wajah tegang (lebih tepatnya sedih-red). Mereka adalah Panitia Ospek FBS dan ketua HIMA.
Dari pertemuan malam itulah, maka pada tanggal 6 Agustus 2011, elemen FBS khususnya mahasiswa baru mengadakan aksi, sebagai bentuk respon atas kejadian ricuh display UKM di GOR UNY pada tanggal 3 Agustus 2011. Aksi ini merupakan bentuk solidaritas FBS terhadap KM UKM sekaligus respon terhadap gagalnya konsolidasi antara KM UKM terhadap pihak-pihak terkait (yang dianggap harus bertanggung jawab terhadap aksi balik badan-red).
“Substansi dari aksi tersebut adalah wujud rasa simpati dan iba kita terhadap kesenian yang telah dimatikan” tegas Arda Sedyoko, ketua panitia ospek FBS 2011.
Buntut dari insiden balik badan di GOR memang berlarut-larut. Beberapa kali FK UKM mengadakan rapat dengan orang-orang terkait sebagai itikad untuk menyelesaikan masalah ini. Namun ternyata hasilnya nihil. Hal ini dikarenakan Avi (FMIPA), Ngadino (FIK), Taat (FISE), serta satu orang dari FT, selalu memberikan keterangan yang berbeda setiap kali FK UKM melakukan cross check.
“Sangat disayangkan bahwa pernyataan mereka berbeda setiap kali rapat” tutur Frangky, ketua FK UKM. Dia juga merasa bingung ketika Ngadino menyatakan tertekan. Karena yang pasti pihak FK UKM sendiri hanya meminta kejujuran, dan yang terjadi malam itu dia (Ngadino-red) ngomongnya lari-lari (tidak konsisten-red).
Berkaitan dengan aksi FBS Frangky mewakili teman-teman UKM mengucapkan terima kasih atas solidaritas yang dilakukan FBS “Saya mewakili anak-anak UKM cukup senang, dalam artian FBS menunjukkan solidaritasnya untuk UKM, walaupun fakultas lain kelihatannya malah mau membunuh”. Dia bahkan mengakui bahwa aksi, baru direncanakan oleh FK UKM. Adapun long march yang dilakukan sore itu (6/8) adalah bentuk solidaritas terhadap teman-teman FBS.
“Aksi solidaritas itu dilakukan agar kita tidak diremehkan lagi. Bahwa budaya itu sangat penting. Kalau tidak mengerti budaya yang sebenarnya, kalau tidak menghargai multikultural, jangan sembarangan menyalahkan” tandas Pembantu Dekan III,  Herwin Yogo Wicaksono, M.Pd.
Berkaitan dengan adanya dekan yang justru menyalahkan FBS, PD III menyatakan tidak akan melakukan konsolidasi antar dekanat, karena itu akan masuk dalam evaluasi Pembantu Rektor (PR) III. Beliau juga menyatakan, bahwa pihak rektorat pun belum memberikan statement, karena memang belum ada pertemuan. Namun beliau yakin bahwa senior-senior FBS, akan mendukung FBS.
FK UKM pun tetap optimis meskipun ada dekan yang membekingi mahasiswanya “Karena kalau tidak memperjuangkan hal ini, apa gunanya kita di sini? Untuk apa kami berkarya kalau kami dibatasi seolah dibunuh perlahan” Frangky juga menambahkan, meskipun dengan skenario terburuk pihak rektorat akan membekukan FK UKM, dia dan teman-teman sudah siap, sembari tertawa dia menjawab “Kalau mau dibekukan, ya bekukan saja. Mungkin justru itulah bentuk perlawaan kami”. Itu berarti dia menandaskan bahwa rektorat tak akan mampu berbuat banyak, karena UKM selama ini jadi wadah kreatifitas mahasiswa.
Arda Sedyoko menyatakan bahwa acara long march dan aksi damai FBS berjalan sukses. Dia menyatakan salut dengan semangat mahasiswa untuk mendukung dan melaksanakan aksi solidaritas itu dengan semangat kendati mereka menjalankan puasa.
Meskipun begitu, tak semua mahasiswa FBS setuju dengan aksi long march, contohnya Rahmatul, maba PBI 2011 “Sebenarnya menurut saya acara kaya gitu gak perlu dilakukan, karena kalau mahasiswa gitu-gituan (demonatrasi-red) mirip anak SMA”
Arda maupun Franky sama-sama mengatakan bahwa ini bukanlah usaha terakhir untuk menyelesaikan masalah, karena FK UKM sendiri rencananya akan melakukan semacam sarasehan dengan jajaran rektorat dan seluruh ormawa di UNY.
Franky berharap agar jajaran rektorat bisa obyektif menilai. Bisa melihat bahwa ini adalah keluarga besar UNY yang punya kultur budaya, agama, dll. Semua itu bisa mendapat porsi masing-masing dan berimbang. Karena perkembangan seni dan budaya di UNY semakin tergerus dan dibunuh oleh pihak-pihak tertentu.
Oleh: Okta Adetya, Kadiv. Litbang dan Jaringan, LPPM Kreativa FBS UNY

KEHIDUPAN DI TEMPAT LAIN

Namun mengapa harus selalu terpaksa
Berpikir dengan sayapnya yang menggelap
Darimana berhembusnya angin di langit terang
Yang membikin pepohonan tanpa kegaduhan
Membungkuk dan menyimpang?
Dan suara tangis tercekik itu
Sperti burung hitam yang punggungnya berpita
Buluh dan segala rumah buta
Dimanakah adanya janji mati dengan nafas kita
Di daun jendela?
Apapun warna mantel penjaga malam
Atau seberapa panjang bulu-bulunya berputar di halaman
Apa gunanya mengingat
Lantunan tak masuk akal di senja hari sekali lagi
Di balik matahari di dalam mata perempuan kala fajar
Perempuan matahari di bawah ranting yang bergelantungan?
Seberapa banyak yang mati, mulutnya menganga pada misa
Adakah yang tersisa untuk diketahui?
Darah yang mengering, abu bakaran
Terlupakan di atas tanah dingin
Dari hutan yang menggelora atau bintang-bintang beku
Angin membuka sayap gelapnya
Tetapi apa yang bakal tetap dinyanyikan oleh sukma

Dilihat dari judul, puisi ini menceritakan suatu kehidupan lain (kemungkinan sebuah kematian). Hal ini diperkuat dengan banyaknya diksi “hitam” sebagai simbolisasi kesan duka cita.
Puisi ini diawali dengan sebuah bencana, sebuah pertanyaan retoris, siapakah yang membuat bencana itu terjadi. Hal ini digambarkan dalam sajak berikut Namun mengapa harus selalu terpaksa//Berpikir dengan sayapnya yang menggelap//Darimana berhembusnya angin di langit terang//Yang membikin pepohonan tanpa kegaduhan//Membungkuk dan menyimpang?. Boleh jadi yang diceritakan dalam puisi ini adalah sebuah bencana yang sangat tiba-tiba dan tak terduga. Tak terduga karena ada frasa langit terang.
Bencana itu menimbulkan kepedihan yang amat sangat, karena orang tersebut (lakon) mungkin mendambakan mati dalam keadaan bahagia, ditandai dengan simbolisasi Dimanakah adanya janji mati dengan nafas kita //Di daun jendela?. Simbolisasi gagak (burung hitam yang biasanya berkaok saat kematian datang, terlebih lagi bencana yang mengerikan, menggelimpangkan mayat-mayat). Buluh dan segala rumah buta, mengacu pada kepedihan dan liang lahat. Tempat dimana kita tak dapat melihat apapun.
Setiap orang dengan kepercayaan yang dia yakini, dan seberapa lama dia hidup, tak akan berguna lagi menyesali perbuatan. Ketika kematian datang menjemput, ketika orang tak akan lagi melihat kita. Apapun warna mantel penjaga malam//Atau seberapa panjang bulu-bulunya berputar di halaman//Apa gunanya mengingat//Lantunan tak masuk akal di senja hari sekali lagi//Di balik matahari di dalam mata perempuan kala fajar//Perempuan matahari di bawah ranting yang bergelantungan? Ada semacam kontradiksi sengaja diciptakan dalam puisi ini, antara kata Lantunan senja hari dan perempuan kala fajar. Senja dan fajar adalah sesuatu yang cukup jauh, fajar menyiratkan kelahiran sedangkan senja merepresentasikan kematian atau sesuatu yang hampir menghilang.
Banyak orang yang mati, dengan keadaan mengenaskan. Banyak orang yang mati, dengan keadaan penuh dosa (menganga:menunjukkan ekspresi ketakutan). Dalam Islam ekspresi ketakutan ketika meninggal merujuk kepada cara mati yang kurang baik, karena dia sudah dapat melihat ganjaran apa yang akan dia dapatkan setelah mati. Hal ini ditunjukkan pada bait Seberapa banyak yang mati, mulutnya menganga pada misa
Ketika orang meninggal, maka akan segera dia dilupakan entah itu dari keramaian (perbincangan orang-orang) atau dari hal-hal yang sepi sekalipun. Betapa di bait ini digambarkan bahwa kematian orang lain mungkin akan luput dari perhatian sesamanya. Hal ini terjadi karena setiap orang sibuk dengan urusannya, sibuk dengan kesedihannya. Coba lihat bait berikut Adakah yang tersisa untuk diketahui?//Darah yang mengering, abu bakaran//Terlupakan di atas tanah dingin//Dari hutan yang menggelora atau bintang-bintang beku
Setiap kematian akan selalu ada pertanda, bahkan alam pun ikut bicara. Keadaan mengabarkan bahwa alam pun siap untuk menyambut kematian itu. Akan tetapi apa yang dapat dilakukan manusia? Bahwa siap tak siap dia sudah tak mampu lagi untuk bertaubat. Dengan keadaan seperti itu, pakah yang dapat dilakukan oleh ruh? Kecuali menunggu hari penghakiman. Hal ini tercermn dalam bait. Angin membuka sayap gelapnya//Tetapi apa yang bakal tetap dinyanyikan oleh sukma

By: Okta Adetya, Kadiv. Litbang dan Jaringan LPPM Kreativa FBS UNY

Sabtu, 02 Juli 2011

KASUS TKI BATU LONCATAN?

Kasus TKW dan TKI yang bekerja di luar negeri belakangan mendapat sorotan dari berbagai pihak. Setelah berbagai persoalan warga negara kita yang bekerja di sektor informal luar negeri didera masalah, akhirnya pemerintah mulai mengambil tindakan. Tak tanggung-tanggung satgas dan berbagai instrumen pendukung mengenai TKI dibentuk dengan cara yang terkesan instan.
Masalah ini mengundang banyak protes, kala pemerintah Indonesia kecolongan atas meninggalnya Ruyati. Ruyati meninggal di Arab Saudi karena hukuman pancung. Dia dituduh membunuh majikannya sendiri dengan cara menusukkan pisau ke tubuh majikan. Hal yang melatar belakangi tindakan tersebut, tak lain karena ketidakmampuan Ruyati untuk terlepas dari belenggu sang majikan yang memperlakukannya secara buruk. Ruyati mengakui semua yang dia lakukan. Namun apakah hukum kisas –dalam hal ini pancung- menjadi hal yang cukup adil diterima Ruyati yang sebenarnya menjadi korban arogansi majikan?
Dalam kasus Ruyati pemerintah jelas lalai untuk melindungi warga negaranya. Alasan tak diketahuinya prosesi hukuman, menjadi hal yang dipertanyakan. Seolah menyadari kesalahan, pemerintah Arab secara resmi menyampaikan permintaan maaf. Namun ketidaktahuan pemerintah Indonesia juga menjadi pertanyaan besar, sejauh mana transparansi hukum dan akuntabilitas publik diterapkan di Arab?
Sungguh suatu ironi, ketika mendengar para pahlawan devisa itu mengalami nasib yang mengenaskan. Tak hanya sekali dua kali, kasus seperti ini bahkan sudah seringkali terjadi sejak zaman dahulu. Namun pemerintah seolah tak bergeming. Menilik realitas yang ada, pemerintah khususnya telah gagal menjalankan undang-undang dasar. Dalam UUD 1945 disebutkan bahwa “…kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia, yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia dengan berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”
Selain Ruyati masih banyak TKW yang akan menghadapi hukuman mati di Arab. Salah satunya Sumartini yang terancam hukuman mati dengan tuduhan menggunakan ilmu sihir untuk membunuh anak majikannya, sungguh alasan atau dakwaan yang mengada-ada. Bagaimana mungkin hukum bisa membuktikan apakah Sumartini benar-benar menggunakan sihir atau tidak? Namun ironisnya, proses hukum terus berlanjut, satu-satunya cara untuk menyelamatkan Sumartini dari hukuman mati adalah dengan membayar diat yang tidak sedikit jumlahnya. Sesuai data Kemenakertrans jumlah TKI yang terancam hukuman mati di luar negeri mencapai 230 orang, dengan rincian 177 TKI di Malaysia, 23 TKI di Arab Saudi, dan 30 TKI di China.
Sejauh ini langkah yang sudah diambil pemerintah untuk melindungi TKI adalah melaksanakan moratorium pengiriman TKI ke Arab Saudi terhitung mulai 1 Agustus, mengirimkan surat protes, membentuk satuan tugas khusus penanganan TKI, membentuk Atase Hukum dan HAM di negara penerima TKI, dan mengumpulkan dana penghematan Kementrian untuk membuka lapangan kerja bagi TKI senilai 15,1 triliun. Setali tiga uang, pemerintah Arab pun sudah mengeluarkan kebijakan, larangan masuk bagi TKI informal.
Belajar dari kasus yang sudah ada, mengapa baru sekarang pemerintah berpikir untuk melakukan penyediaan lapangan kerja terhadap TKI yang diambilkan dari dana penghematan Kementerian? Apakah harus menunggu jatuh korban untuk mencairkan dana tersebut? Namun terlepas dari semua itu, langkah yang dilakukan pemerintah patut diapresiasi.
            Indonesia adalah negara besar dan kaya, sudah sepatutnya memaksimalkan segala potensi yang ada untuk kemakmuran masyarakat, sebagaimana yang disebutkan dalam UUD 1945 bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memajukan kesejahteraan umum. Berangkat ke luar negeri mungkin menjadi pilihan terakhir untuk merubah nasib. Sehingga cerita akan berbeda, ketika pemerintah mampu mengakomodasi kebutuhan masyarakat, dalam hal ini lapangan kerja.
Moratorium dan segala macam tindakan pemerintah saat ini sementara waktu dapat dilakukan. Akan tetapi kita tidak dapat selamanya bersandar pada negara lain untuk menampung tenaga kerja Indonesia yang berlimpah. Sudah sering bangsa ini dilecehkan, harga diri bangsa ini dianggap rendah. Inilah waktunya seluruh elemen masyarakat menyisihkan ego dan bersatu padu membangun Indonesia yang lebih jaya, membangun Indonesia yang mandiri dan disegani. Optimisme ini tidak hanya isapan jempol, ketika kita menilik segala potensi yang ada di tanah air. Kita bisa mewujudkannya. Salam jaya Indonesia.

Oleh: Okta Adetya Kadiv. Litbang dan Jaringan LPPM Kreativa dan mahasiswa S1 Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS, UNY

Rabu, 29 Juni 2011

PUISI SISWA


Bingkisan
Telah ku belah matahari jadi
,delapan belas
ku kantongi dalam saku kemejaku
ku lipat bulan jadi
,sebelas
semesta jadi
,sembilan tiga
ku wadahi dalam
kotak kadoku
untuk mu


Wihdatul Wujud
:Jenar
Ingin Ku kawinkan :
siang dan malam
gunung dan laut
langit dan bumi
hitam dan putih
madu dan racun
baik dan buruk
cinta dan benci
api dan angin
air dan minyak
terang dan gelap
hidup dan mati
tapi tak ada yang mau
jadi penghulu dalam upacara
sakral mereka

sedang Tuhan dan Aku
kini menyatu


MEMBEKUKAN MATAHARI
Ida,
Aku takkan lagi mencintaimu
jika bulan membekukan
matahari
di dadaku





Siluet Sutardji Calzoum Bachri dan Universalitas Cinta
Oleh: Okta Adetya
Sebuah karya sastra, tak akan pernah ada yang murni, karena “mereka” hanya buah dari reduplikasi, tambal sulam, penggubahan, hasil identifikasi dan upaya mencacah-cacah raga kalimat. Artinya seorang penulis atau pun penyair, khususnya penulis pemula, pasti memiliki seseorang yang dijadikannya tempat berkaca. Bahkan seorang penulis Priangan Si Jelita, Ramadhan K.H pun mengaku tergila-gila dengan sastrawan Amerika Latin seperti Miguel Angel Asturias, Pablo Neruda, J. Luis Borges, dan terutama sekali F.G. Lorca, yang kemudian mempengaruhi karya-karyanya.
Membaca Wihdatul Wujud, akan mengingatkan kita pada bentuk atau style puisi yang diusung oleh Sutardji Calzoum Bachri. Sebuah gaya kontemporer, dengan bahasa-bahasa mantra yang cukup unik. Lihat saja pada larik siang dan malam, gunung dan laut, langit dan bumi, hitam dan putih, madu dan racun, baik dan buruk, cinta dan benci, api dan angin, air dan minyak, terang dan gelap, hidup dan mati. Ini mirip dengan puisi Sutardji berjudul “Batu”, adapun lariknya adalah sebagai berikut, batu mawar, batu langit, baru duka, batu rindu, batu janun, batu bisu, kaukah itu. Kemiripan kedua puisi ini terletak pada kepadatan diksi serta adanya perulangan. Hanya saja puisi Widhatul Wujud, lebih memiliki citarasa lantaran dibangun oleh kontradiksi.  
            Secara substansial, Widhatul Wujud tampaknya ingin menyisipkan pesan, bahwa hidup itu selalu memiliki dua sisi yang saling berlawanan. Terasa bagai minyak dengan air, tak akan pernah bisa menyatu. Hal ini coba diungkapkan penulis dalam larik yang cukup ritmis, yaitu pada kalimat Ingin Ku kawinkan. Sedangkan kegagalan atas usaha untuk melakukan pembauran kontradiksi tersebut, ditekankan pada kalimat tapi tak ada yang mau, jadi penghulu dalam upacara, sakral mereka, sedang Tuhan dan Aku, kini menyatu. Betapa penulis ingin sesuatu yang seragam, tanpa ada perbedaan-perbedaan, sehingga akan terbentuk cinta di sana. Penulis berpikir, bahwa dengan adanya keseragaman tersebut pertentangan-pertentangan dapat dihindari. Kendati kemudian dia kembali sadar, bahwa menginginkan hal tersebut sama saja dengan punguk merindukan bulan.
            Berbeda dengan puisi Mihdatul Wujud yang mencoba menguntit karya-karya Sutardji C.B, puisi Bingkisan terasa lebih kreatif dalam membungkus ide. Sekilas, puisi ini cukup sulit untuk dipahami. Akan tetapi, penggunaan kata bilangan di dalamnya, membuat esensi karya sastra bagai mengapung dalam deras alir sungai. Bingkisan yang dimaksud tak lain adalah ucapan selamat terhadap seseorang yang terlahir di tanggal 18 Desember 1993. hal ini dapat kita simak, pada penggalan-penggalan berikut Telah ku belah matahari jadi, delapan belas, ku lipat bulan jadi, sebelas, semesta jadi,sembilan tiga, ku wadahi dalam, kotak kadoku.18-11-1993.
            Betapa sebenarnya pesan cinta begitu erat mengikat. Sebuah cinta sederhana, yang diberikan seseorang terhadap orang lain. Entahlah, mungkin seorang teman, sahabat, atau kekasih. Sebuah cinta yang terasa universal.
            Ungkapan cinta yang lebih tekstual, tampaknya hadir dalam puisi Membekukan Matahari. Matahari di sini, bisa diinterpretasikan sebagai gelora cinta yang cukup besar. Apalagi bila dikaitkan dengan pertalian seluruh sajak. Mengapa penulis berani mengatakan, bahwa dia tak akan lagi mencintai seseorang bernama Ida, dengan syarat bulan mampu membekukan matahari di dadanya? Tentu karena penulis tahu bahwa matahari (cinta) di dadanya tidak akan redup, dan bulan pun tidak akan pernah bisa membekukannya. Dia mengatakan semua itu, untuk membuktikan dirinya sebagai sosok yang jantan, untuk tetap konsisten dan menjaga kesetiaan. Tema cinta kentara sekali bermain di dalam puisi ini.
Ketiga puisi tersebut cukup berhasil dan mengejutkan, karena dibuat oleh seseorang yang secara usia masih cukup muda. Akhirnya, tak ada alasan untuk tidak berproses dalam dunia penulisan. Sedikit menggubah sajak Membekukan Matahari, Aku akan berhenti berjuang dengan pena, jika bulan membekukan matahari di dadaku (dan saya berharap tak kan ada matahari yang mampu dibekukan). Atau janganlah menjadi Chairil Anwar yang sekali berarti, sudah itu mati. 
Oleh: Okta Adetya Kadiv. Litbang dan Jaringan LPPM Kreativa FBS UNY

Minggu, 26 Juni 2011

MENILIK KEADILAN HUKUM ISLAM DI ARAB


Pahlawan devisa, itulah nama yang cukup membanggakan, sebuah istilah yang sangat bagus dan mulia. Namun apa yang terjadi dengan mereka? Para TKI dan TKW mendapatkan perlakuan tak seindah namanya. Sebuah ironi dan kontradiksi segera tercipta.
Kekerasan terhadap para TKW kembali terjadi. Belum sempat reda isu-isu mengenai kekerasan yang dilakukan majikan di negeri jiran Malaysia, kini, sebuah realitas yang mengiris hati kembali terulang. Bukan lagi berasal dari negeri tetangga yang seringkali menyulut ketegangan antar dua negara, melainkan dari tanah para nabi, Arab Saudi.
Sepertinya isu keadilan masih juga dihembuskan dari nafas-nafas para TKW. Tak hanya sekedar ketidakadilan dari majikan yang mereka lakukan, bahkan ketidakadilan tersebut mereka dapatkan dari pemerintah setempat. Itulah yang harus mereka alami.
Pemancungan yang dilakukan tanpa sepengetahuan perwakilan dari Indonesia telah dilakukan atas nama Rumiyati. Seorang TKW asal Bekasi, Jawa Barat. Dia menerima hukum pancung lantaran membunuh majikannya sendiri. Memang sekilas apa yang dilakukan Rumiyati cukup kejam, membunuh dengan cara menusuk-nusukkan pisau ke tubuh korban.
Hukum kisas nyawa dibayar nyawa. Itulah hukum yang diterapkan di Arab. Namun apakah itu sudah memenuhi unsur keadilan? Mungkin benar ada kelalaian dari pemerintah, sehingga mereka kecolongan akan hukuman yang terjadi terhadap Rumiyati. Namun, pemerintah Arab pun seharusnya bisa mengkomunikasikan hal-hal urgen semacam ini, kepada Indonesia, selaku negara yang bertanggung jawab terhadap keselamatan Rumiyati.
Terkait dengan kelalaian ini, pemerintah Arab melalui perwakilannya pun sudah mengakui tentang adanya kelalaian, dan mereka sudah melakukan permintaan maaf secara terbuka. Sebuah sikap yang patut diapresiasi. Memang ini sangat terlambat dan tidak banyak membantu, namun bukankah pepatah mengatakan bahwa nasi telah menjadi bubur, tak dapat diubah menjadi nasi lagi?
Saya tak bermaksud menyalahkan pemerintah Arab dalam hal ini. Pemerintah kita pun sebenarnya masih kurang maksimal dalam melindungi TKI dan TKW, meskipun saya juga percaya bahwa pemerintah sudah berusaha sekeras mungkin untuk melakukannya. Akan tetapi yang menjadi persoalan dalam hal ini adalah tentang hukuman mati yang diberlakukan.
Berbicara hukum Arab akan sangat rasisme sekali kedengarannya, karena mau tak mau kita akan menyangkutkan hukum Arab tersebut dengan hukum Islam. Adapun yang menjadi dasar hukum pelaksanaan kisas adalah surat Al Baqarah ayat 178. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.
Tidak ada yang salah dengan ayat tersebut. Namun, yang perlu dicermati di sini adalah, sepanjang apa hukum itu relevan diberlakukan? Karena melihat sejarah turunnya ayat tersebut, kisas diberlakukan kepada kaum terdahulu yang sering melakukan perang antar suku, saling membunuh dan dirasa tidak adil. Yang jadi pertanyaan sekarang, apakah hukum kisas masih relevan untuk diberlakukan di zaman yang sudah sangat berkembang dengan pesatnya?
Kembali ke konteks permasalahan, mengenai hukum kisas. Sebenarnya akan lebih baik lagi, apabila Arab lebih terbuka dalam menjalankan hukum-hukumnya. Arab terlalu tekstual dalam membaca sebuah ayat untuk dijadikan dasar hukum, sementara mereka tidak mempertimbangkan aspek kelaziman zaman dan keadilan itu sendiri. Mengapa keadilan dalam hukum kisas di Arab dipertanyakan?
Sekarang lihat saja kasus Rumiyati, pengadilan Arab yang dinilai kurang memenuhi unsur transparansi hanya terpaku dan terfokus pada pembunuhan. Mereka tidak mau peduli tentang apa yang menjadi latar belakang Rumiyati membunuh. Apakah membunuh orang untuk alasan melakukan perlawanan, membela diri, dan juga mencapai kemerdekaan disalahkan? Mengingat Rumiyati membunuh pun didasarkan pada sikap majikan yang semena-mena terhadap dirinya, suka menyiksa. Jadi dimanakah hukum Islam yang katanya adil ini bisa dipahami?
Sudah dipekerjakan dengan semena-mena dan dizhalimi sekian bulan, sementara ketika dia membunuh sebagai jalan terakhir karena tak mampu melawan kezhaliman itu sendiri, Rumiyati pun harus dibunuh dengan cara yang semena-mena. Hukum pancung. Apakah ini adil? Dimana letak keadilannya? Bukankah di sini Rumiyati sebetulnya menjadi korban, akan tetapi menjadi hal aneh ketika pengadilan melihat dia dari sisi tersangka.
Selain hukuman pancung, apabila dia mendapatkan permaafan dari pihak terbunuh, maka dia harus mmbayar diat. Diat yang diajukan pun seringkali sangat besar. Memang diat diberikan sebagai permintaan maaf. Namun yang terjadi, diat seakan menjadi penebus nyawa orang yang telah meninggal. Seorang yang meminta diat bersikap tidak realistis, menginginkan pembayaran sampai bernilai miliar. Padahal dia tahu, bahwa orang yang mereka gugat, adalah orang yang berekonomi lemah. Karena alasan ekonomi ini pula, yang membuat mereka terpaksa harus menjadi pembantu rumah tangga di negeri orang. Lagi-lagi adakah keadilan di dalamnya?
Kalau permasalahan hukuman pancung dan diat terus dilestarikan, maka akan selalu ada celah untuk para majikan berbuat sewenang-wenang. Mereka tidak akan takut untuk mendzalimi pembantu. Kendati pembantu jauh berbeda dengan budak. Mereka akan merasa aman melakukan itu semua, karena kalau ada masalah apa-apa, bisa dipastikan bahwa pembantu mereka lah yang akan menanggungnya.
Untuk itulah perlindungan terhadap para pahlawan devisa ini mutlak diperlukan. Bukan hanya untuk mempertahankan harga diri kita sebagai bangsa yang besar, namun juga untuk meningkatkan bargaining position kita di negara tujuan. Atau kalau itu tak bisa dilaksanakan maka jawabannya adalah penyediaan lapangan kerja yang cukup di dalam negeri. Meskipun lagi-lagi untuk melakukan itu semua sangat sulit dan membutuhkan dukungan dari semua pihak.

Oleh: Okta Adetya, Kadiv. Litbang dan Jaringan LPPM Kreativa

Minggu, 29 Mei 2011

MAHASISWAKU SAYANG, MAHASISWAKU MALANG

Apa yang menjadi tugas utama seorang mahasiswa? Pertanyaan itu dilontarkan oleh seorang kakek tua asal kampung dengan pakaian lusuh, entahlah dia orang yang punya rumah tetap, atau hanya seorang gelandangan yang tak pernah dipedulikan oleh siap
Dengan lagak angkuh sok keturunan aristrokat, gaya petentang petenteng menaikan kerah baju dengan tidak sopan, berdehem-dehem sebentar seperti seorang proklamator hendak memulai orasi, lagaknya saja seperti orator ulung. Baju tak dimasukkan, ada yang sobek sana-sini entah tersangkut dimana. Celana jeans sobek di bagian dengkulnya yang menghitam, kasihan sekali tak punya uang untuk beli yang baru mungkin. Rambutnya kusut, tak keramas berapa tahun entahlah, seperti orang perempuan saja sebahu, lebih baik tersisir rapi, kalau model satu ini awut-awutan.
“Tentu saja bela rakyat seperti aki ini” jawabnya sok mantap, dan meyakinkan, kakek tadi hanya melengos, menatap tak percaya, kemudian sedikit menyindir, beliau bertanya apakah anak muda di depannya itu betul-betul mahasiswa atau bukan. Lha wong punya sebutan maha yang artinya besar begini kok, nggak kaya orang berpendidikan saja. Menghisap rokok sembarangan klepas klepus sesekali terbatuk.
“Kamu ini mahasiswa bukan?”
“Ya mahasiswa lah ki, ini bukti ktp saya di kampus”
“Lha terus kamu bilang membela aki ini apa? Kapan kamu pernah bela aki, kapan?” sampai terbatuk-batuk aki memprotes. Tubuhnya ikut terguncang-guncang. Dalam hatinya menggerutu kepada pemuda di depannya itu. Dia anggap kalau anak sekarang itu sama saja dengan para petinggi negara ini yang hanya bisa ngomong tanpa menyelesaikan masalah.
“Aduh, aki ini bagaimana sih, yang terus-terusan mengawasi pemerintah itu siapa, ki? Ya kita-kita ini?” tiba-tiba dari arah seberang jalan, seorang pemuda lainnya memanggil pemuda di depan aki sambil mengibar-kibarkan spanduk bekas penutup warung mungkin. Anak itu kembali lagi bicara.
“Kalau aki mau bukti, ni lihat saja” katanya sambil berlari.
Aki mencak-mencak juga, sudah tua begini kok diajak ngomongin politik, setengah mengusir dia menyuruh anak itu pergi, dongkol juga dia bahkan sempat menyumpah-nyumpah segala, bukti gudhulmu itu, bisanya cuman mengawasi thok, memang situ mandor apa? Lha mbok ya kerja yang lebih intelek sedikit, daripada hanya sebagai pengawas.
Kakek terus menatap ke arah jalanan itu, ratusan anak muda ter blok menjadi dua, ada yang pro dengan keputusan pemerintah, namun ada juga yang kontra. Suara mereka berbaur bercampur jadi satu tenggelam bersama tuntutan mereka yang entah darimana sumbernya. Mereka membela orang yang entah salah atau tidak, toh kalau pun orang yang di bela tidak bersalah apa untungnya bagi mereka? Apakah para petinggi itu juga akan peduli dengan rakyat seperti kita-kita ini? Dan kenapa juga ada yang menghujat toh belum tentu salah, memangnya para mahasiswa itu tahu sebab musababnya hanya terpancing koar-koar provokator yang tidak beranggung jawab.
“Orang bisanya kok ikut-ikutan, mau-maunya mereka turun ke jalanan yang panas. Memangnya ada yang bayar? Kalau pun di bayar paling dibayar dengan nasi kucing seharga seribu lima ratus rupiah. Orang kok bisanya ngritik, kaya dia itu bisa saja menggantikan tugas orang yang dikritik, lha mbok yo’o jadi orang itu intropeksi sebelum menginterupsi orang lain...!” cerocosnya pada seorang pemulung yang tengah istirahat. Pemulung tadi hanya mengangguk, takut dianggap durhaka kalau menyangkal. Lagian takut juga dia kalau sampai dikutuk batu seperti Malin Kundang di Sumatera Barat.
Belum lagi sempat melanjutkan omelan, dari arah seberang sana terdengar teriakan provokator-provokator kacangan yang saling ejek. Ah itu sudah biasa di Indonesia, gampang sekali terpecah belah. Ada yang jadi kompor bodhol saja, semuanya bisa meledak, lebih hebat dari ledakan tabung elpij ukuran 3 kilogram.
Kakek tua itu hanya mengelus dada. Belum sampai elusan dadanya sampai ke bawah, para mahasiswa yang entahlah kerasukan setan dari mana asalnya itu pontang-panting lari ke sana kemari saling lempar batu sembunyi tangan, saling pukul. Astaghfirullah, sekali lagi sang kakek mengurut dadanya.
Belum hilang keterkejutan kakek tadi, tiba-tiba di jalan, depan dia duduk-duduk sekarang ini mahasiswa-mahasiswa tersebut membakar macam-macam poster, terlibat bentrok dengan aparat, merusak fasilitas publik disekitarnya ketika menolak dibubarkan, beberapa mobil di bakar, kantor pengadilan dilempari menggunakan batu-batu, sebagian lagi menggunakan bom molotov untuk lebih menjadikan suasana. Wah...kakek ini hanya dapat memaki-maki dari tempat dia beristirahat, kemudian teriaknya lantang.
“Woe anak muda edan, tidak eling lagi. Itu katamu yang disebut membela kami? Cih...” dia mulai meludah umpatan-umpatannya sudah tak terkontrol lagi, dia sudah kepalang jengkel dengan para mahasiswa yang seumuran dengan cucunya tersebut. Pemulung yang tadi di dekatnya hanya mampu geleng-geleng kepala “Kalian benar-benar tidak menghargai pendahulu kalian, Bapak seperti ini, itu veteran, jangan main-main”
Lantas saja dia marah. Bagaimana dia tak marah, melihat dengan mata kepala sendiri kalau generasi penerusnya adalah generasi ondel-ondel yang tak punya kemampuan babar pisan. Bagaimana dia tak jengkel, mendengar langsung umpatan-umpatan mereka yang justru memperlihatkan kebodohan dan ketololan mereka? Pakai acara anarkis, merusak fasilitas umum. Apa itu tugas utama seorang mahasiswa? Kemana saja pelajaran yang mereka peroleh dari bangku kuliah, sama saja jadi bedebah.
Benar-benar merasa ngenes, dulu dia dan kawan-kawan berjuang mati-matian hanya untuk mempertahankan kemerdekaan, mempertaruhkan segalanya, harta, nyawa. Tapi apa yang di dapat sekarang, hanya kotoran yang di lempar ke muka sendiri. Anak turunnya justru hanya mampu menjajah bangsa mereka sendiri, dengan dalih demokrasi, revolusi. Apa itu? Bukan begitu demokrasi dan revolusi, itu cermin orang yang tak pernah makan bangku sekolah.
Keringatnya mengucur deras, dari tadi mengacung-acungkan tongkat yang menyangga bentuk tubuh tambunnya. Dia berpikir, tentu akan bangga sekali kalau sampai mampu melihat generasi muda Indonesia membangun negara ini menjadi negara yang lebih maju dan bermartabat, membuat Indonesia setidaknya dikagumi negara-negara sekitar. Dan betapa bangganya juga kalau generasi muda ini mampu berpikir menggunakan otak dan mempertimbangkannya menggunakan hati, daripada mereka-mereka yang berpikir menggunakan dengkul dan mempertimbangkan menggunakan otot. Apaan itu, ini bukan jaman perang bung.
Kalau memang mereka anggap negara ini sudah bobrok, ya pikir bagaimana solusinya agar negara ini kembali menjadi negara yang lurus, bukan malah menambah bobrok dan menyalahkan pemerintah. Apa-apa kok menyalahkan pemerintah, padahal kadang warganya sendiri yang susah diatur. Oh cucuku tersayang, cucu-cucuku yang malang begitu batinnya dalam hati
Oleh: Okta Adetya  Kadiv.Litbang dan Jaringan LPPM Kreativa

Selasa, 03 Mei 2011

RANAH 3 WARNA: ANTARA RELIGIUSITAS DAN REALITAS

JudulRanah 3 Warna
SeriNegeri 5 Menara
ISBN / EAN9789792263251 / 9789792263251
AuthorAhmad Fuadi
PublisherGramedia Pustaka Utama (GPU)
Publish23 Januari 2011
Pages488
Weight175 gram
Dimension (mm)130 x 200
TagFiksi,
Satu lagi novel inspiratif, Ranah 3 Warna, bercerita mengenai perjuangan seseorang untuk meraih mimpinya. Alif, tokoh utama dalam novel ini, yang baru saja menyelesaikan studinya di Pondok Madani (PM) kembali ke kampung halamannya, Maninjau. Alif masih dengan mimpinya untuk kuliah di ITB dan menjadi seperti Habibie. Ia juga bertahan dengan mimpinya untuk bisa pergi ke Amerika.


Sayangnya Alif hanya lulusan pondok, tidak memiliki ijazah, sehingga harus mengikuti ujian persamaan SMA. Randai, sahabat kecil Alif, yang sudah lebih dahulu diterima di ITB menjadi motivasi terbesarnya. Ia belajar keras seperti orang kesetanan, tapi ia memang lebih menonjol di bidang bahasa daripada ilmu pasti cukup banyak mengalami kesulitan saat menghadapi soal ilmu pasti.

Menghindari kelemahannya, ilmu pasti, Alif memilih jurusan IPS saat UMPTN. Pilihannya jatuh pada jurusan Hubungan Internasional Universitas Padjajaran, dengan mantera man jadda wajada dan usaha kerasnya ia akhirnya diterima.

Diceritakan Alif mengalami berbagai masalah ketika memasuki perkuliahan. Puncak permasalahan Alif adalah sang Ayah meninggal dunia. Sebagai anak lelaki tertua ia merasa memiliki kewajiban untuk mmbantu Amaknya membiayai sekolahnya dan adik-adiknya.


Alifpun mencoba bekerja se-rabutan, prestasi akademiknya berantakan. Ia hanya bermodal Man Jadda Wajada waktu itu. Namun kemudian ia teringat satu mantera lagi yang diajarkan sewaktu dirinya di PM. Mantera itu adalah Man Shabara Zhafira. Barang-siapa yang sabar, akan ber-untung.

Mantera ini terbukti sangat manjur. Kehidupan berat yang dialami-nya di tanah rantau Alif lewati dengan sabar, ia pun beruntung. Sedikit demi sedikit permasalahan yang ada terselesaikan. Berkat kegemarannnya sejak di PM, jurnalistik, di kampus Alif bertemu Togar, redaksi senior pers di kampusnya. Togar memberikan banyak ilmu dan latihan super keras untuk Alif, hasilnya tulisan Alif dimuat di media kampus bahkan media lokal Bandung. Mulai dari sana Alif  tidak lagi bekerja serabutan, ia hanya perlu menulis untuk menghidupi dirinya.


Diceritakan di tengah banyak hal yang ia alami, Alif masih terobsesi untuk pergi ke Amerika. Hingga pada akhirnya ia bisa mengalahkan Randai pada seleksi pertukaran mahasiswa ke luar negeri. Alif pun terbang ke Kanada. Di Kanada Alif pun beruntung karena bisa bekerja magang di salah satu stasiun televisi di Quebec, salah satu kota kecil di sana. Berbagai pengalaman ia dapatkan selama di Kanada. Mendapat teman serta keluarga baru. Sampai ia kembali pulang ke tanah air dan menyelesaikan studinya di Unpad.


Tak ada kehidupan yang sempurna, meskipun banyak impiannya terpenuhi, Alif harus berbesar hati dengan mengakui kekalahannya dari Randai dalam merebut hati Raisa. Randai yang lebih dulu lulus dan telah bekerja lebih dulu melamar Raisa, dan Raisa  menerimanya. Alif berusaha tegar, bagaimana pun Randai adalah Sahabatnya sejak kecil dan Raisa adalah sahabatnya saat di Kanada.


Beberapa orang berpendapat novel ini kalah bagus dari novel sebelumnya. Namun tidak terlepas dari pendapat pribadi beberapa orang, Novel ini masih bisa menginspirasi pembacanya. Inspirasi dan motivasi untuk bisa mengejar mimpi dan cita-cita. Dari novel ini kita kembali diingatkan dalam bermimpi yang dibutuhkan bukan hanya kerja keras dan usaha, tapi juga kesabaran.


Novel ini disajikan apik dan menarik, mungkin ini juga karena Ahmad Fuadi seperti bertutur mengenai nostalgia kehidupannya. Patut dibaca, selain nuansa religiusitas yang dibangun tergarap secara matang, pengarang menyampaikan relitas sosial yang dihadapinya secara nyata.

Kamis, 10 Maret 2011

Kreativa Online


STRUKTUR ORGANISASI LPPM KREATIVA
2013-2014

“kreativa online” merupakan perluasan dari produk LPPM Kreativa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. Selama ini produk Kreativa lebih banyak berwujud cetak. Di antaranya buletin bulanan Kreativa (Aksara), jurnal tahunan (Kreativa), dan Kreativa Book Edition (KBE).

Sehubungan dengan pesatnya perkembangan teknologi dan informasi, akses mobile yang begitu mudah serta luasnya jaringan yang akan kita rambah, menjadi pertimbangan tersendiri munculnya produk baru kami ini. Sekilas mengenai lahirnya “kreativa online”.

PELINDUNG
Dekan FBS Universitas Negeri Yogyakarta

MAJELIS PERTIMBANGAN ORGANISASI
Latif Pungkasniar (2008)
Lisna Mutia Kartika (2009)
Muhammad Haikal (2009)
Erni Yuliansari (2009)
Amalia Riantika (2010)
Siwi Sukmawati (2010)

PENGURUS INTI
Ketua
Emy Lestari Istianah (10201241020)
-Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Sekretaris
Aisa Sri Rejeki (11210141012)
-Bahasa dan Sastra Indonesia

Bendahara
Yeni Istari (11211141039)
-Bahasa dan Sastra Inggris


DIVISI PERUSAHAAN
Kadiv Perusahaan
Umay Humaeroh (11210141014)
-Bahasa dan Sastra Indonesia

Anggota
Rachma Lismaylani Handoyo (11210141042)
-Bahasa dan Sastra Indonesia
M. Setiawan N. C (12210144028)
-Bahasa dan Sastra Indonesia
Wafratur Rochmah (122110144035)       
-Bahasa dan Sastra Indonesia


DIVISI REDAKSI
Kadiv Redaksi
Okta Adetya (10201241016)
-Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Anggota
Rio Anggoro Pangestu (11201244007)
-Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Nur Muhammad (11210141006)
-Bahasa dan Sastra Indonesia
Wahyu Dwi Purnomo (11210141019)
-Bahasa dan Sastra Indonesia
Mawaidi (11210141015)
-Bahasa dan Sastra Indonesia
Nilam Sulistiana Barani (12206244009)
-Pendidikan Seni Rupa
Kurniani Oktaviani (12201241027)
-Pendidikan  Bahasa dan Sastra Indonesia
Indah Afiani (12210141017)          
-Bahasa dan Sastra Indonesia


DIVISI PSDM
Kadiv PSDM
Sely Indraswari (11201244046)
-Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Anggota
Ghinna Kurniafi (12211144011)
-Bahasa dan Sastra Inggris
Dyotra Nurul B. (12211144006)
-Bahasa dan Sastra Inggris
Erin Cahyaning (12210141031)
-Bahasa dan Sastra Indonesia
Eka Rusdiana (12210144004)
-Bahasa dan Sastra Indonesia
Raodatul Hasanah (11207244024)
-Pendidikan Seni Rupa


DIVISI LITBANG DAN JARINGAN
Kadiv Litbang dan Jaringan
Nuri Riyantini (11210141026)
-Bahasa dan Sastra Indonesia

Anggota
Khilda Nuril Khotimah (11204244026)
-Pendidikan Bahasa Perancis
Monica Dwi Lestari (12210141007)
-Bahasa dan Sastra Indonesia
Kholid Khoirul Fahmi (112011244029)
-Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


Alamat redaksi:
Sekretariat LPPM Kreativa Gedung PKM
Lantai 3 sayap depan, Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Yogyakarta
Kode pos 55281.

Email:
kreativafbs@gmail.com
kreativafbs@yahoo.co.uk

“kreativa online” menerima kiriman tulisan berupa berita seni & sastra, opini, cerpen, resensi buku & film dan esai dari pembaca.