Label

Minggu, 22 Maret 2015

Mitos Indianisasi Sebagai Penjajahan Bangsa Arya di Indonesia?


- Andrian Eksa

Mitos Indianisasi menjadi catatan tersendiri bagi Indonesia. Adanya kemiripan Indonesia (khususnya Jawa dan Bali) dengan India membuat mitos ini menjadi catatan yang menarik.

“Indianisasi” atau yang disebut “penjajahan India” di Indonesia pernah diangkat Raffles menjadi topik untuk mengaitkan Jawa dengan kemaharajaan “Hindia” Inggris. Dalam bukunya The History of Java, Raffles banyak menunjukkan gambar-gambar patung dewa agama Hindu. Yang disebutnya sebagai indikasi bahwa Indonesia secara tidak langsung dijajah oleh bangsa Arya, India.

Penyaduran naskah Mahabharata dan Ramayana pun berpengaruh bagi masyarakat Indonesia. Seperti adanya sistem kasta yang sampai sekarang masih digunakan di Bali. Penggunaan nama-nama tempat di Jawa juga berasal dari bahasa Sansekerta. Dan nama gunung dan kerajaan-kerajaan pun dipinjam dari naskah Mahabharata.

Selain Raffles, Indianisasi juga pernah diteliti oleh para sarjana Belanda. Seperti J.L.A. Brandes (1857—1905), H. Kern (1833—1917), N.J. Krom (1883—1945), dan W.F. Stutterheim (1892—1942), yang merupakan ahli Sansekerta. Mereka juga berjasa menginterpretasikan masa lampau Jawa berdasarkan pengetahuan tentang India Kuno. Bahwa prasasti-prasasti yang ada di Indonesia semuanya ditulis dalam bahasa Sansekerta dan dicatat dengan  tulisan yang dibuat berdasarkan aksara India.

Penanggalan sebagian juga didasarkan pada matahari, seperti di India, dimulai dengan awal tarikh Saka (78 M). Ikonografi candi-candi ditafsirkan dengan bantuan karya-karya Buddha dan Hindu. Aturan-aturan persajakan kakawin hampir sama dengan yang dipakai dalam persajakan Sansekerta.

Mitos Indianisasi juga tercatat dalam legenda Raja Aji Saka, yang mengisahkan tentang putra raja keturunan Brahmana datang dari India ke Jawa dan menetap di Medang Kamulan. Ia mula-mula menghalau raksasa yang gentayangan di Jawa dan menyebarkan ketertiban dan peradaban: dari seorang wanita pribumi ia mendapat anak laki-laki berkepala ular, dan kemudian menciptakan aksara Jawa.

Dalam naskah Jawa abad ke-16, Tantu Panggelaran, yang merupakan sejenis buku petunjuk pertapaan-pertapaan Hindu di Jawa. Menceritakan asal mula Bhatara Guru (Siva) pergi ke Gunung Dieng untuk bersemedi dan meminta kepada Brahma dan Wisnu kaum perempuan, lalu semua dewa memutuskan untuk menetap di bumi baru itu dan memindahkan Gunung Meru yang sampai saat itu terletak “di Negeri Jambudvipa”, di India. Sejak saat itu Jawa menjadi bumi kesayangan dewata.

Rabindranath Tagore berkunjung ke Jawa pada tahun 1930 untuk membuktikan mitos Indianisasi itu, lalu meninggalkan sebuah catatan bahwa “ia memang merasakan kehadiran India di mana-mana, tetapi tidak sungguh-sungguh menemukannya kembali”.

Kemiripan memang ada, tapi itu semua mengacu pada kekhasan Jawa. Para pengarang Jawa kuno telah diilhami oleh India sebagaimana Corneille dan Racine diilhami Yunani dan Roma. Bagaimana membayangkan tanah Jawa sebagai Hindu, jika susu dan hasil pengolahan susu tidak pernah dipakai?

(Tulisan ini merupakan rangkuman dari buku Nusa Jawa: Silang Budaya karya Denys Lombard pada sub-bab Batas-Batas “Indianisasi”)

Tidak ada komentar: