- Andrian Eksa
Mitos Indianisasi menjadi catatan tersendiri bagi Indonesia. Adanya kemiripan Indonesia (khususnya Jawa dan Bali) dengan India membuat mitos ini menjadi catatan yang menarik.
“Indianisasi” atau yang disebut “penjajahan India” di Indonesia pernah
diangkat Raffles menjadi topik untuk mengaitkan Jawa dengan kemaharajaan
“Hindia” Inggris. Dalam bukunya The History of Java, Raffles banyak menunjukkan
gambar-gambar patung dewa agama Hindu. Yang disebutnya sebagai indikasi bahwa
Indonesia secara tidak langsung dijajah oleh bangsa Arya, India.
Penyaduran naskah Mahabharata dan Ramayana pun berpengaruh
bagi masyarakat Indonesia. Seperti adanya sistem kasta yang sampai sekarang
masih digunakan di Bali. Penggunaan nama-nama tempat di Jawa juga berasal dari
bahasa Sansekerta. Dan nama gunung dan kerajaan-kerajaan pun dipinjam dari
naskah Mahabharata.
Selain Raffles, Indianisasi juga pernah diteliti oleh para sarjana
Belanda. Seperti J.L.A. Brandes (1857—1905), H. Kern (1833—1917), N.J. Krom
(1883—1945), dan W.F. Stutterheim (1892—1942), yang merupakan ahli Sansekerta.
Mereka juga berjasa menginterpretasikan masa lampau Jawa berdasarkan
pengetahuan tentang India Kuno. Bahwa prasasti-prasasti yang ada di Indonesia
semuanya ditulis dalam bahasa Sansekerta dan dicatat dengan tulisan yang dibuat berdasarkan aksara India.
Penanggalan sebagian juga didasarkan pada matahari, seperti di India,
dimulai dengan awal tarikh Saka (78 M). Ikonografi candi-candi ditafsirkan
dengan bantuan karya-karya Buddha dan Hindu. Aturan-aturan persajakan kakawin
hampir sama dengan yang dipakai dalam persajakan Sansekerta.
Mitos Indianisasi juga tercatat dalam legenda Raja Aji Saka, yang
mengisahkan tentang putra raja keturunan Brahmana datang dari India ke Jawa dan
menetap di Medang Kamulan. Ia mula-mula menghalau raksasa yang gentayangan di
Jawa dan menyebarkan ketertiban dan peradaban: dari seorang wanita pribumi ia
mendapat anak laki-laki berkepala ular, dan kemudian menciptakan aksara Jawa.
Dalam naskah Jawa abad ke-16, Tantu Panggelaran, yang merupakan
sejenis buku petunjuk pertapaan-pertapaan Hindu di Jawa. Menceritakan asal mula
Bhatara Guru (Siva) pergi ke Gunung Dieng untuk bersemedi dan meminta kepada
Brahma dan Wisnu kaum perempuan, lalu semua dewa memutuskan untuk menetap di
bumi baru itu dan memindahkan Gunung Meru yang sampai saat itu terletak “di
Negeri Jambudvipa”, di India. Sejak saat itu Jawa menjadi bumi kesayangan
dewata.
Rabindranath Tagore berkunjung ke Jawa pada tahun 1930 untuk membuktikan
mitos Indianisasi itu, lalu meninggalkan sebuah catatan bahwa “ia memang
merasakan kehadiran India di mana-mana, tetapi tidak sungguh-sungguh
menemukannya kembali”.
Kemiripan memang ada, tapi itu semua mengacu pada kekhasan Jawa. Para
pengarang Jawa kuno telah diilhami oleh India sebagaimana Corneille dan Racine
diilhami Yunani dan Roma. Bagaimana membayangkan tanah Jawa sebagai Hindu, jika
susu dan hasil pengolahan susu tidak pernah dipakai?
(Tulisan ini merupakan rangkuman dari buku Nusa Jawa: Silang Budaya karya
Denys Lombard pada sub-bab Batas-Batas “Indianisasi”)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar