Label

Rabu, 16 Januari 2013

BATIN KUSUT MASAI


 Oleh: Ani

Diantara sekian banyak mitos yang ada, ada mitos yang menyebutkan bahwa pernikahan antara Suku Sunda dan Jawa itu dilarang. Kemungkinan akan terjadi ketidakbahagiaan, ketidaklanggengan, kemelaratan dan hal tidak baik lainnya, akan menimpa akibat tragedi perang bubat yang disebut-sebut itu.


Saya orang Sunda, dan setelah sekian tahun baru mendengar mitos tersebut ketika kuliah di Yogyakarta, mau tidak mau hati ini terasa sedikit terusik juga. Hampir semua mata tertuju pada saya ketika mitos itu diurai kisahnya, tersinggung secara tidak sengaja, dalam sebuah perkuliahan  sejarah sastra di awal semester pertama.

Sebagian dari mereka, dari pandangan yang tertuju, ada yang melayangkan pandangan sambil lalu, sebagian menambah sedikit senyumnya, entah mengisyaratkan apa, karena berpikir jernih saya mendadak tidak bisa. Pun ber-positif thinking terhadap si pencerita. Semua serasa kaku. Beku.  Ada yang menepuk bahu, : “Besok-besok ga usah nikah sama orang Jawa kalo pernikahannya bakal bikin melarat kayak gitu!”. Jleb! Sembilu.

Seingatku belum pernah ada sesuatu yang sesesuatu seperti ini, bahkan di masa putih biru. Didiskrimanasi cinta di semester pertama, berikut harapan dan rizki yang bagai diambil kuasa hanya oleh karena mitos manusia. Saat perkuliahan usai, jalan berubah gontai, batin kusut masai. Ah! mungkin terlalu lebay.

Di jalan pulang, cerita saat perkuliahan tadi masih terngiang-ngiang. Sunda dan Jawa yang dilarang. Diperparah teringat kampung halaman, keluarga, dan Ibu... Ah... Ibuku tersayang.  Benarkah Ibu? teriak batinmu selama ini memang karena ada hal terdahulu yang sama-sama tidak kita tahu? Ah... tapi Ibu... masih kuingat jawaban terindahmu dahulu.

Di kesendirian di atas kasur, dalam markas bercat pastel yang temaram cahaya lampu setelah beberapa hari berlalu dari peristiwa penceritaan mitos itu, pikiranku melayang sendiri. Ada yang menggedor pikiran dan hati yang sempat kalut terkunci. Mengajak diri kembali mengurai penjelasan yang belum selesai.

Berdua, hanya dengan pikiran dan hati sendiri, ada yang tersadari. Bahwa mungkin saat itu, di kelas, diri ini sedikit terbawa emosi. Membuat repot sendiri. Menjadi sedikit terlalu lebay itu tadi. Terbawa suasana yang menggema, tergesa menilai hanya berdasar apa yang dilihat oleh mata, tumpah ruah hanya pada covernya.

Si pencerita, dan juga teman-teman di sana serta si penepuk bahu, terlepas dari isi hati, percayalah tak kan ada maksud lain dibaliknya, karena mitos bukanlah suatu hal yang dapat dijadikan acuan. Karena mempercayainya sama halnya dengan meragukan kehendak dan kuasa Tuhan. Pun tidak tercantum di dalam Al-Quran. Aman. Pembuktian yang meyakinkan.

Seorang kakak, yang baru kutemui dewasa di Yogyakarta ini, juga menghiburku dengan kisah nyata keluarganya. Bibi dari kakakku yang orang Sunda itu juga sama menikah dengan orang Jawa sama seperti Ayah dan Ibuku. Dan kehidupan rumah tangga mereka tetap langgeng bahagia sampai bertahun-tahun. Bahkan memiliki banyak anak yang lucu-lucu.

Kembali teringat jawaban terindah Ibu, “Meski Ibu terkadang masih harus mengurut dada, sedari Ibu masih muda bersamanya bahkan sesekali sampai kau kini dewasa, Ibu masih percaya. Masih. Masih percaya, bahwa tak ada yang pernah salah dengan takdir-Nya. Sejatinya ada tersimpan kebaikan, kasih sayang, dan kelembutan dalam diri Ayahmu. Dia bertanggung jawab atas pendidikan dan segala kebutuhanmu sudah lebih dari cukup untuk sebuah bukti. Sungguh, sejatinya ada tersimpan kelembutan itu. Hanya saja tak muncul dengan mudah pada saat-saat tertentu. Dan kewajiban Ibu untuk terus menggalinya. Karena memahami seseorang, bukan hanya sesaat, setahun dua tahun—tetapi selama-lamanya.”

Ah... Ibu... ya,  aku tahu. Bukan berarti ada yang salah dan tak adil. Hanya ada sesuatu yang sama-sama belum kita tahu. Karena memahami seseorang adalah untuk selama-lamanya, maka menikahi orang yang dicintai itu kemungkinan, dan mencintai orang yang dinikahi itu kewajiban. (*)

Tidak ada komentar: