Oleh: Ani
Diantara sekian banyak mitos
yang ada, ada mitos yang menyebutkan bahwa pernikahan antara Suku Sunda dan
Jawa itu dilarang. Kemungkinan akan terjadi ketidakbahagiaan,
ketidaklanggengan, kemelaratan dan hal tidak baik lainnya, akan menimpa akibat
tragedi perang bubat yang disebut-sebut itu.
Saya orang Sunda, dan
setelah sekian tahun baru mendengar mitos tersebut ketika kuliah di Yogyakarta,
mau tidak mau hati ini terasa sedikit terusik juga. Hampir semua mata tertuju
pada saya ketika mitos itu diurai kisahnya, tersinggung secara tidak sengaja,
dalam sebuah perkuliahan sejarah sastra
di awal semester pertama.
Sebagian dari mereka, dari
pandangan yang tertuju, ada yang melayangkan pandangan sambil lalu, sebagian
menambah sedikit senyumnya, entah mengisyaratkan apa, karena berpikir jernih
saya mendadak tidak bisa. Pun ber-positif thinking terhadap si pencerita. Semua
serasa kaku. Beku. Ada yang menepuk
bahu, : “Besok-besok ga usah nikah sama orang Jawa kalo pernikahannya bakal
bikin melarat kayak gitu!”. Jleb! Sembilu.
Seingatku belum pernah ada
sesuatu yang sesesuatu seperti ini, bahkan di masa putih biru. Didiskrimanasi
cinta di semester pertama, berikut harapan dan rizki yang bagai diambil kuasa
hanya oleh karena mitos manusia. Saat perkuliahan usai, jalan berubah gontai,
batin kusut masai. Ah! mungkin terlalu lebay.
Di jalan pulang, cerita saat
perkuliahan tadi masih terngiang-ngiang. Sunda dan Jawa yang dilarang.
Diperparah teringat kampung halaman, keluarga, dan Ibu... Ah... Ibuku
tersayang. Benarkah Ibu? teriak batinmu
selama ini memang karena ada hal terdahulu yang sama-sama tidak kita tahu?
Ah... tapi Ibu... masih kuingat jawaban terindahmu dahulu.
Di kesendirian di atas
kasur, dalam markas bercat pastel yang temaram cahaya lampu setelah beberapa
hari berlalu dari peristiwa penceritaan mitos itu, pikiranku melayang sendiri.
Ada yang menggedor pikiran dan hati yang sempat kalut terkunci. Mengajak diri
kembali mengurai penjelasan yang belum selesai.
Berdua, hanya dengan pikiran
dan hati sendiri, ada yang tersadari. Bahwa mungkin saat itu, di kelas, diri
ini sedikit terbawa emosi. Membuat repot sendiri. Menjadi sedikit terlalu lebay
itu tadi. Terbawa suasana yang menggema, tergesa menilai hanya berdasar apa
yang dilihat oleh mata, tumpah ruah hanya pada covernya.
Si pencerita, dan juga
teman-teman di sana serta si penepuk bahu, terlepas dari isi hati, percayalah
tak kan ada maksud lain dibaliknya, karena mitos bukanlah suatu hal yang dapat
dijadikan acuan. Karena mempercayainya sama halnya dengan meragukan kehendak
dan kuasa Tuhan. Pun tidak tercantum di dalam Al-Quran. Aman. Pembuktian yang
meyakinkan.
Seorang kakak, yang baru
kutemui dewasa di Yogyakarta ini, juga menghiburku dengan kisah nyata
keluarganya. Bibi dari kakakku yang orang Sunda itu juga sama menikah dengan
orang Jawa sama seperti Ayah dan Ibuku. Dan kehidupan rumah tangga mereka tetap
langgeng bahagia sampai bertahun-tahun. Bahkan memiliki banyak anak yang
lucu-lucu.
Kembali teringat jawaban
terindah Ibu, “Meski Ibu terkadang masih harus mengurut dada, sedari Ibu masih
muda bersamanya bahkan sesekali sampai kau kini dewasa, Ibu masih percaya.
Masih. Masih percaya, bahwa tak ada yang pernah salah dengan takdir-Nya.
Sejatinya ada tersimpan kebaikan, kasih sayang, dan kelembutan dalam diri
Ayahmu. Dia bertanggung jawab atas pendidikan dan segala kebutuhanmu sudah
lebih dari cukup untuk sebuah bukti. Sungguh, sejatinya ada tersimpan
kelembutan itu. Hanya saja tak muncul dengan mudah pada saat-saat tertentu. Dan
kewajiban Ibu untuk terus menggalinya. Karena memahami seseorang, bukan hanya
sesaat, setahun dua tahun—tetapi selama-lamanya.”
Ah... Ibu... ya, aku tahu. Bukan berarti ada yang salah dan
tak adil. Hanya ada sesuatu yang sama-sama belum kita tahu. Karena memahami
seseorang adalah untuk selama-lamanya, maka menikahi orang yang dicintai itu
kemungkinan, dan mencintai orang yang dinikahi itu kewajiban. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar