Label

Rabu, 16 Januari 2013

SEMUT TAK SENGAJA DIINJAK DI MUSIM YANG BERJALAN PADA KOTA WAKTU


Siapa pun boleh menulis puisi. Siapa pun boleh mengekspresikan sesuatu dengan puisi. Namun, siapa saja yang menulis puisi, ambillah tema yang dekat dengan diri penyairnya, yang dikuasai oleh diri penyairnya, agar setiap selesai menulis puisi, hasilnya tidak dangkal karena diperoleh dari ide yang dangkal. Penuturan itu disampaikan oleh Ira Komang Puspitaningsih dalam launching antologi ‘Musim yang Berjalan pada Kota Waktu’.

Semarak apresiator sastra bergema di aula Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) FBS yang terletak di lantai 2, Jum’at malam Sabtu (11/13). Musikalisasi puisi yang dibawakan oleh Teater Mishbah mampu mengundang tepuk tangan memecah keheningan. Tidak hanya itu, penyair Gunadi mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia ini juga menyaingi suasana malam dengan pembacaan puisinya yang panjang. Pertemuan sastra kadang memang terdengar ribut dan ramai. Begitulah sastra, yang hening menjadi pecah dan yang pecah menjadi bergairah.

Si rambut keriting berwajah tirus, lelaki ini sangat populer di kalangan Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia (KMSI) karena keuletannya mengonsep acara. Pendiriannya seolah-olah tidak serius, tapi sebenarnya sangat serius. “Malam launching antologi puisi ini diharapkan membawa keistimewaan tersendiri bagi pemenang dan peserta yang hadir saat ini.” Singkat dan padat. Kalimat tadi disampaikan oleh Muhammad Farid Anshari selaku ketua panitia pada acara itu.

“Malam launching antologi puisi yang bertajuk ‘Musim yang Berjalan pada Kota Waktu’ merupakan tindak lanjut dari peringatan Haul Chairil Anwar 2012 lalu, yang salah satu agendanya adalah Lomba Cipta Puisi Se-DIY,” kata Kepala Suku KMSI Fakultas Bahasa dan Seni UNY, Avesina Wisna Burhana.


Banyak kalangan pecinta dan pemerhati sastra yang hadir pada malam tersebut, karenak peserta dalam antologi puisi tersebut banyak dari kalangan pemerhati sastra senior di kalangan mahasiswa, semisal Margito Widiatmaka, Budhi Setyawan dan Vera Rodiah W.S. Malam itu Ira Komang Puspitaningsih tidak sendirian. Dia ditemani Armada Nurliansyah sebagai  juara 1 dalam lomba itu. Ira memberikan beberapa pandangan mengenai proses penjurian dalam menentukan pemenang 1, 2 dan 3. Penjurian melibatkan Anwar Efendi, dosen sastra UNY dan Indrian Koto, penyair Jogja. Dari ratusan naskah yang dibaca oleh juri, ‘Musim yang Berjalan pada Kota Waktu’ karya Armada Nurliansyah menyandang gelar sebagai puisi terbaik.

Ira juga berbicara seputar penjurian, bahwa naskah pemenang tidaklah yang terbaik dari keseluruhan puisi yang masuk. Naskah puisi yang menang sesuai dengan selera juri dengan berbagai pertimbangan yang ada dalam puisi tersebut, dari segi estetika, kedalaman makna dan keunikan tema. “Sangat disayangkan kalau menulis puisi mengambil tema yang universal, sedangkan penggarapannya dilakukan dengan pendalaman yang dangkal. Alangkah lebih baik menulis tentang semut yang tidak sengaja diinjak atau lainnya yang lebih sederhana,” ujar Ira sembari mengepulkan asap rokoknya.

Kehebatan seorang pengarang tidak terletak pada kepopuleran nama pengarangnya, tapi kehebatan seorang pengarang terletak pada seberapa besar apresiasi orang terhadap karyanya. Kira-kira kalimat tak berasal itu perlu dijadikan sebagai tanda atas terbitnya antologi puisi ‘Musim yang Berjalan pada Kota Waktu’ dan peserta kajian sastra bersama Ira Komang Puspitaningsih. Avesina Wisda menuturkan, kegiatan lomba dan launching antologi pada malam itu merupakan yang pertama diadakan oleh KMSI. (maw)

Tidak ada komentar: