Siapa pun boleh menulis
puisi. Siapa pun boleh mengekspresikan sesuatu dengan puisi. Namun, siapa saja
yang menulis puisi, ambillah tema yang dekat dengan diri penyairnya, yang
dikuasai oleh diri penyairnya, agar setiap selesai menulis puisi, hasilnya
tidak dangkal karena diperoleh dari ide yang dangkal. Penuturan itu disampaikan
oleh Ira Komang Puspitaningsih dalam launching antologi ‘Musim yang Berjalan
pada Kota Waktu’.
Semarak apresiator sastra
bergema di aula Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) FBS yang terletak di lantai 2,
Jum’at malam Sabtu (11/13). Musikalisasi puisi yang dibawakan oleh Teater
Mishbah mampu mengundang tepuk tangan memecah keheningan. Tidak hanya itu,
penyair Gunadi mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia ini juga menyaingi
suasana malam dengan pembacaan puisinya yang panjang. Pertemuan sastra kadang
memang terdengar ribut dan ramai. Begitulah sastra, yang hening menjadi pecah
dan yang pecah menjadi bergairah.
Si rambut keriting berwajah
tirus, lelaki ini sangat populer di kalangan Keluarga Mahasiswa Sastra
Indonesia (KMSI) karena keuletannya mengonsep acara. Pendiriannya seolah-olah
tidak serius, tapi sebenarnya sangat serius. “Malam launching antologi puisi
ini diharapkan membawa keistimewaan tersendiri bagi pemenang dan peserta yang
hadir saat ini.” Singkat dan padat. Kalimat tadi disampaikan oleh Muhammad
Farid Anshari selaku ketua panitia pada acara itu.
“Malam launching antologi
puisi yang bertajuk ‘Musim yang Berjalan pada Kota Waktu’ merupakan tindak
lanjut dari peringatan Haul Chairil Anwar 2012 lalu, yang salah satu agendanya
adalah Lomba Cipta Puisi Se-DIY,” kata Kepala Suku KMSI Fakultas Bahasa dan
Seni UNY, Avesina Wisna Burhana.
Banyak kalangan pecinta dan
pemerhati sastra yang hadir pada malam tersebut, karenak peserta dalam antologi
puisi tersebut banyak dari kalangan pemerhati sastra senior di kalangan
mahasiswa, semisal Margito Widiatmaka, Budhi Setyawan dan Vera Rodiah W.S.
Malam itu Ira Komang Puspitaningsih tidak sendirian. Dia ditemani Armada
Nurliansyah sebagai juara 1 dalam lomba
itu. Ira memberikan beberapa pandangan mengenai proses penjurian dalam
menentukan pemenang 1, 2 dan 3. Penjurian melibatkan Anwar Efendi, dosen sastra
UNY dan Indrian Koto, penyair Jogja. Dari ratusan naskah yang dibaca oleh juri,
‘Musim yang Berjalan pada Kota Waktu’ karya Armada Nurliansyah menyandang gelar
sebagai puisi terbaik.
Ira juga berbicara seputar
penjurian, bahwa naskah pemenang tidaklah yang terbaik dari keseluruhan puisi
yang masuk. Naskah puisi yang menang sesuai dengan selera juri dengan berbagai
pertimbangan yang ada dalam puisi tersebut, dari segi estetika, kedalaman makna
dan keunikan tema. “Sangat disayangkan kalau menulis puisi mengambil tema yang
universal, sedangkan penggarapannya dilakukan dengan pendalaman yang dangkal.
Alangkah lebih baik menulis tentang semut yang tidak sengaja diinjak atau
lainnya yang lebih sederhana,” ujar Ira sembari mengepulkan asap rokoknya.
Kehebatan seorang pengarang
tidak terletak pada kepopuleran nama pengarangnya, tapi kehebatan seorang pengarang
terletak pada seberapa besar apresiasi orang terhadap karyanya. Kira-kira
kalimat tak berasal itu perlu dijadikan sebagai tanda atas terbitnya antologi
puisi ‘Musim yang Berjalan pada Kota Waktu’ dan peserta kajian sastra bersama
Ira Komang Puspitaningsih. Avesina Wisda menuturkan, kegiatan lomba dan
launching antologi pada malam itu merupakan yang pertama diadakan oleh KMSI.
(maw)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar