Label

Jumat, 01 Maret 2013

LAUTAN SASTRA DAN PERAHU YANG TENGGELAM


“Tuhan menyuruh Muhammad dengan iqra’, ‘bacalah’, bukan ‘luluslah’.”

Suara itu terdengar lantang. Lalu suara tawa pecah di antara orang-orang yang hadir di dalam suasana yang redup-remang di Pendopo Tedjokusumo.

“Tapi, membacalah untuk lulus,” lanjutnya kemudian.


Muhammad Shodiq tersenyum. Suara tawa kembali pecah serupa tumpukan piring yang jatuh dari lemari kapal Titanic. Lalu Muhammad Shodiq melanjutkan pembacaan esainya sampai selesai.

Pukul 20.54 berakhirlah monolog dari mahasiswa Institute Seni Indonesia Yogyakarta tersebut. Berbagai penampilan terus berlangsung seperti Al Huda, Nafas Urban, Pembaca Puisi dan lainnya mengisi malam rutinitas Malam Perjamuan Sastra (MPS) FBS Universitas Negeri Yogyakarta. Acara MPS yang bertajuk “Panggung Bebas Ekspresi” Jum’at (1/3) bertempat di Pendopo Tedjokusumo. MPS hadir menjadi bagian yang menjaga tradisi apresiasi sastra di kampus ungu UNY.

MPS sengaja menghadirkan pentas di panggung bebas ekspresi untuk menunjukkan suasana baru. Acara tersebut bagian dari salah satu agenda kegiatan MPS seperti bedah karya, kajian tokoh, kajian film dan parade puisi. Rutinitas pelaksanaannya setiap Jum’at  malam di Fakultas Bahasa dan Seni.
Dalam agenda Performance Art, Dwi S Wibowo hadir membacakan puisi-puisi yang ada di koran Tempo, Kompas dan Jawa Pos. Setiap selesai membacakan puisi, koran di tangannya digelar berjajar-jajar di bawahnya. Terus begitu, dari puisi di Kompas, Jawa Pos hingga Tempo.

Ke atas panggung mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS UNY tersebut melakukan performance tentang eksistensi sastrawan menghadapi kepungan media massa. Sastrawan koran bukan lagi kabar asing bagi kalangan penulis di Indonesia. Sastrawan koran sebutan untuk penulis yang melalui karyanya dimuat di koran maka dirinya dianggap berhasil menyandang gelar sastrawan.

“Tidak setiap puisi yang dimuat di Tempo, Jawa Pos, Kompas itu bagus dan tidak setiap puisi yang dimuat di sana itu jelek,” ujar Dwi S Wibowo.


Dwi S Wibowo membuat perahu kertas dari koran. Perahu itu dipegangnya sembari mengarungi lembaran koran-koran yang berjajar tadi. Di tengah perjalanan perahu itu karam, tubuh perahunya tenggelam. (die)