Label

Jumat, 01 Mei 2015

Jaket Kuning Sukirnanto: Sebuah Album Kenangan





Judul Buku      : Jaket Kuning Sukirnanto
Pengarang       : Eka Budianta, dkk.
Penerbit           : Eugenia Learning Center untuk PDS H.B. Jassin
Cetakan Ke-    : Pertama, 3 Oktober 2014
Tebal Buku      : 142 halaman
ISBN               : 978-602-17703-7-5
Harga              : Tidak Diperdagangkan

Tentang kasih, maut menagih
Slamet Sukirnanto dalam puisi Kepadamu Kusampaikan (1967)

Kehidupan makhluk hidup di dunia memang akan berakhir pada kematian. Itu pasti. Begitu juga pada hari Sabtu, 23 Agustus 2014, Slamet Sukirnanto—penyair angkatan 66—ditagih maut, kembali pulang kepada Tuhan. Meninggalkan “jaket kuning”-nya yang dulu ia kenakan.
Walaupun kematian adalah ketentuan mutlak, tidak semua orang dapat menerima kepergian orang yang dicintainya. Biasanya akan terkenang peristiwa-peristiwa masa lampau yang berkaitan dengan orang tersebut. Semakin tajam ingatan orang itu, semakin banyak peristiwa yang akan dikenang, dan semakin lama melupakan.
Eka Budianta, salah satu sahabat almarhum Slamet Sukirnanto (SS), beserta dua sahabat lainnya—Bambang Widiatmoko dan Hasan Bisri BFC—menguratori pembuatan buku dokumentasi yang bertajuk Jaket Kuning Sukirnanto (JKS). Beberapa penyair—baik sahabat SS, yang mengenal SS, atau yang “baru saja” mengenal SS, mengirimkan karya-karyanya berupa biografi SS, puisi, dan cerpen, yang semuanya ditujukan untuk mengenang SS. Tercatat ada 43 tulisan dalam JKS yang di antaranya adalah karya Adri Darmadji Woko, Slamet Riyadi Sabrawi, dkk.
Semasa hidupnya, SS telah mengabdi untuk perkembangan sastra Indonesia. Salah satu buktinya adalah buku antologi puisi Djaket Kuning (Djakarta:-Ikatan Mahasiswa Sastra Indonesia FSUI, 1967) yang diserahkan pertama kali kepada H.B. Jassin pada tanggal 1 April 1967—pada waktu itu masih berbentuk stensilan. Buku ini ditulis SS dalam suasana aksi demonstrasi menumbangkan Orde Lama pada tahun 1966.

JAKSA

Meski tak bersekolah hukum ia berani menyelempangkan jaksa di dadanya. Tubuhnya kecil tapi berselimut berondongan tuntutan kemapanan. Menggoyang para dewa pemuja kata di kahyangan sastra.

Sebagai penuntut ia berdiri di depan tak perlu rasa takut. Menuding akrobat kata yang penuh sengkarut. Sebuah pertunjukan butuh tontonan. Dan sebuah tepuk tangan.

Sebuah pengadilan yang gamang
Terdakwa bebas merdeka. Tak ada tuntutan pemiskinan kata. Dan tetap kaya.

Menyihir jiwa dan tubuh kita.

Yogyakarta 2014
(JKS halaman 102)

Puisi karya Slamet Riyadi Sabrawi di atas adalah potret kenangan dalam sastra Indonesia. Kita akan teringat pada sebuah—yang menurut Adri Darmadji Wojo—“peristiwa budaya” di Bandung, 8 September 1974 yang lalu, Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir. Pada saat itu, SS bertindak sebagai “jaksa penuntut umum”. Dalam posisi itu, SS menuntut beberapa hal, pertama, bahwa kritikus yang tidak lagi mampu mengikuti perkembangan kehidupan puisi mutakhir, khususnya H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung harus “dipensiunkan”. Kedua, para editor majalah sastra, khususnya Horison (waktu itu Sapardi Djoko Damono) harus “dicutibesarkan”. Ketiga, para penyair mapan, seperti Subagyo, Rendra, dan Goenawan dilarang menulis puisi, para epigonnya dikenakan hukuman pembuangan, dan bagi inkarnasinya dibuang di pulau paling terpencil. Dan yang keempat, bahwa Horison dan Budaya Jaya harus dicabut surat izin terbitnya, dan yang sudah terbit tidak dianggap ada dan dilarang dibaca peminat sastra karena dianggap mengisruhkan perkembangan sastra/puisi di Indonesia yang diharapkan sehat dan wajar.
Acara yang “guyon” itu mendapat tanggapan serius dari para tokoh yang dituntut SS, sehingga diadakan “Jawaban Atas Pengadilan Puisi” di Rawamangun. Sebenarnya, SS hanya ingin mengatakan bahwa menjadi sastrawan/penulis/penyair tidak harus terlebih dahulu memuatkan karyanya dalam Horison, Budaya Jaya, ataupun Basis, tetapi cukup di media massa lainnya. Karena pada waktu itu, sastra Indonesia memang “dimonopoli” dan sebutan sastrawan ditentukan figur tokoh sastra. Sehingga penulis/penyair baru susah untuk menembus pandangan itu.
Jadi, JKS bisa saja disebut sebagai “album kenangan”, karena membaca buku ini sama halnya membaca “jaket kuning” SS, jaket kesayangan SS. Jaket yang menuliskan jejak hidupnya di dunia, baik sebagai manusia, penyair, ataupun aktivis.

PKM FBS UNY, April 2015
Andrian Eksa

Tidak ada komentar: