Judul Buku : Jaket Kuning Sukirnanto
Pengarang : Eka Budianta, dkk.
Penerbit : Eugenia
Learning
Center untuk PDS H.B. Jassin
Cetakan Ke- : Pertama, 3 Oktober 2014
Tebal Buku : 142 halaman
ISBN : 978-602-17703-7-5
Harga : Tidak Diperdagangkan
“Tentang kasih, maut menagih”
Slamet Sukirnanto dalam puisi Kepadamu Kusampaikan (1967)
Kehidupan makhluk
hidup di dunia memang akan berakhir pada kematian. Itu pasti. Begitu juga pada
hari Sabtu, 23 Agustus 2014, Slamet Sukirnanto—penyair angkatan 66—ditagih
maut, kembali pulang kepada Tuhan.
Meninggalkan “jaket kuning”-nya yang dulu ia kenakan.
Walaupun
kematian adalah ketentuan mutlak, tidak semua orang dapat menerima kepergian
orang yang dicintainya. Biasanya akan terkenang peristiwa-peristiwa masa lampau
yang berkaitan dengan orang tersebut. Semakin tajam ingatan orang itu, semakin
banyak peristiwa yang akan dikenang, dan semakin lama melupakan.
Eka Budianta,
salah satu sahabat almarhum Slamet Sukirnanto (SS), beserta dua sahabat
lainnya—Bambang Widiatmoko dan Hasan Bisri BFC—menguratori pembuatan buku
dokumentasi yang bertajuk Jaket Kuning
Sukirnanto (JKS). Beberapa
penyair—baik sahabat SS, yang mengenal SS, atau yang “baru saja” mengenal SS,
mengirimkan karya-karyanya berupa biografi SS, puisi, dan cerpen, yang semuanya
ditujukan untuk mengenang SS. Tercatat ada 43 tulisan dalam JKS yang di antaranya
adalah karya Adri Darmadji Woko, Slamet Riyadi Sabrawi, dkk.
Semasa hidupnya, SS telah mengabdi untuk perkembangan
sastra Indonesia. Salah satu buktinya adalah buku antologi puisi Djaket Kuning (Djakarta:-Ikatan
Mahasiswa Sastra Indonesia FSUI, 1967) yang diserahkan pertama kali kepada H.B.
Jassin pada tanggal 1 April 1967—pada waktu itu masih berbentuk stensilan. Buku
ini ditulis SS dalam suasana aksi demonstrasi menumbangkan Orde Lama pada tahun
1966.
JAKSA
Meski tak bersekolah hukum ia berani menyelempangkan
jaksa di dadanya. Tubuhnya kecil tapi berselimut berondongan tuntutan
kemapanan. Menggoyang para dewa pemuja kata di kahyangan sastra.
Sebagai penuntut ia berdiri di depan tak perlu rasa
takut. Menuding akrobat kata yang penuh sengkarut. Sebuah pertunjukan butuh
tontonan. Dan sebuah tepuk tangan.
Sebuah pengadilan yang gamang
Terdakwa bebas merdeka. Tak ada tuntutan pemiskinan
kata. Dan tetap kaya.
Menyihir jiwa dan tubuh kita.
Yogyakarta 2014
(JKS
halaman 102)
Puisi
karya Slamet Riyadi Sabrawi di atas adalah potret kenangan dalam sastra
Indonesia. Kita akan teringat pada sebuah—yang menurut Adri Darmadji Wojo—“peristiwa
budaya” di Bandung, 8 September 1974 yang lalu, Pengadilan Puisi Indonesia
Mutakhir. Pada saat itu, SS bertindak sebagai “jaksa penuntut umum”. Dalam
posisi itu, SS menuntut beberapa hal, pertama,
bahwa kritikus yang tidak lagi mampu mengikuti perkembangan kehidupan puisi
mutakhir, khususnya H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung harus “dipensiunkan”. Kedua, para editor majalah sastra,
khususnya Horison (waktu itu Sapardi
Djoko Damono) harus “dicutibesarkan”. Ketiga,
para penyair mapan, seperti Subagyo, Rendra, dan Goenawan dilarang menulis
puisi, para epigonnya dikenakan hukuman pembuangan, dan bagi inkarnasinya
dibuang di pulau paling terpencil. Dan yang keempat,
bahwa Horison dan Budaya Jaya harus dicabut surat izin
terbitnya, dan yang sudah terbit tidak dianggap ada dan dilarang dibaca peminat
sastra karena dianggap mengisruhkan perkembangan sastra/puisi di Indonesia yang
diharapkan sehat dan wajar.
Acara
yang “guyon” itu mendapat tanggapan serius dari para tokoh yang dituntut SS,
sehingga diadakan “Jawaban Atas Pengadilan Puisi” di Rawamangun. Sebenarnya, SS
hanya ingin mengatakan bahwa menjadi sastrawan/penulis/penyair tidak harus
terlebih dahulu memuatkan karyanya dalam Horison,
Budaya Jaya, ataupun Basis, tetapi cukup di media massa
lainnya. Karena pada waktu itu, sastra Indonesia memang “dimonopoli” dan sebutan
sastrawan ditentukan figur tokoh sastra. Sehingga penulis/penyair baru susah
untuk menembus pandangan itu.
Jadi,
JKS bisa saja disebut sebagai “album kenangan”, karena membaca buku ini sama halnya
membaca “jaket kuning” SS, jaket kesayangan SS. Jaket yang menuliskan jejak
hidupnya di dunia, baik sebagai manusia, penyair, ataupun aktivis.
PKM FBS UNY, April 2015
Andrian Eksa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar