Label

Rabu, 06 November 2013

MENILIK PERAN (ORANG BILANG) MAHASISWA

Eka Rusdiana*

Berangkat dari sesuatu yang klise, ketika kita menyinggung peran penting mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa yang nanti katanya akan membawa Indonesia gemilang segemilang-gemilangnya. Sebuah kelompok elit yang paling diharapkan masyarakat di negeri ini, yang memiliki tempat berbeda di hati masyarakat. Dari nama saja sudah terlihat jelas, kata “mahasiswa” yang berasal dari gabungan dua kata “maha” dan “siswa”. Tipe kata “maha”, memiliki arti khusus dan di balik kata ‘maha’ ini sejatinya tersimpan harapan besar masyarakat Indonesia hingga penamaannya secara khusus pula hanya ada di Indonesia. Di Inggris mahasiswa hanya disebut student bukan great student.

Generasi yang dicetak dan dipersiapkan untuk tujuan mulia. Sebuah aset, cadangan, harapan bangsa untuk masa depan. Yang diharapkan dengan pemikiran kritis mereka akan menjadi motor penggerak kemajuan pembangunan. Sudah merupakan “hukum adat” bagi seorang atau sekelompok mahasiswa untuk aktif dalam menyoroti kebijakan-kebijakan pemerintah yang kurang bijak. Selanjutnya yang menjadi tanda tanya besar adalah, BENARKAH? Bisa jadi memang benar, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa itu hanya akan menjadi angan-angan saja.
Mengapa? Pada kenyataannya beberapa dari sekian ribu yang menyebut dirinya sebagai mahasiswa justru memberikan citraan yang buruk.

Sedikit frontal memang, tetapi apa lagi sebutannya ketika seorang atau sekelompok mahasiswa sudah tidak mampu lagi mengemban tanggung jawab besar yang seharusnya diemban setiap generasi yang mengaku sebagai mahasiswa? Apalagi sebutan yang pantas ketika kata mahasiswa yang diharap-harap bisa menjadi pondasi justru saling hantam? Lantas bagaimana dengan kalimat ini: “Sudah merupakan “hukum adat” bagi seorang atau sekelompok mahasiswa untuk aktif dalam menyoroti kebijakan-kebijakan pemerintah yang kurang bijak” ketika semuanya menjadi terbalik?

Sudah bukan shock therapy lagi ketika kita mendengar ada saja seorang atau sekelompok mahasiswa yang masuk koran bukan karena prestasi, tetapi sebaliknya. Bahkan mungkin sudah menjadi “makanan ringan” bagi penikmat berita ketika sosok yang dianggap menjadi harapan bangsa itu bukannya menjadi yang mengkritisi dan menyorot segala tindak tanduk pemerintah, tetapi malah menjadi yang disorot. Berurusan dengan aparat kepolisian karena saling “jotos” dan merusak sarana prasarana dengan mengatasnamakan demokrasi, mengutarakan pendapat sebagai seorang mahasiswa atau apalah itu namanya. Rasa-rasanya harapan untuk menjadi Indonesia gemilang segemilang-gemilangnya itu semakin mengerucut saja, dan pada akhirnya hanya akan menjadi harapan yang menggantung di depan jidat.


Sebagai generasi muda yang nantinya akan menjadi ujung tombak perubahan Indonesia kita tercinta ini, seharusnya bukan “kepal tangan yang didaratkan di wajah yang patut ditunjukkan”. Tetapi “kepal tangan di dada sebagai tekad pencapaian berbagai inovasi baru” yang bakalan berguna untuk kemajuan bangsa dan negara. Sebagai mahasiswa generasi penerus bangsa seharusnya bisa menjaga nilai-nilai kebanggaan yang terdapat di dalam kata “mahasiswa” itu sendiri, bukan malah menghilangkannya. 

Tidak ada komentar: