Oleh: Mawaidi D. Mas
Secara gamblang ketika pertanyaan itu dihidangkan di depan
orang-orang, jawaban yang diperoleh adalah hal-hal yang bersifat personal dan
konvensional, seperti menangis, merutuk, marah, sakit, gila, dan mengakhiri
hidup—bunuh diri.
Tom Hansen, seorang lelaki dari Margate, New Jersey tokoh utama
dalam film 500 Days Of Summer, ia meyakini bahwa tidak pernah merasa bahagia.
Dan keyakinan itu terbentuk karena mendengarkan lagu pop sedih Inggris dan
salah persepsi terhadap film The Graduate. Dalam perjalanan hidup Tom Hansen,
ia bertemu seorang gadis cantik bernama Summer Finn dari Shinnecock, Micighan.
Tom Hansen menyukai Summer Finn. Dan Tom Hansen menganggap Summer Finn adalah
kekasihnya. Namun dari pada itu, Summer Finn meskipun menyukai (bahkan keduanya
pernah melakukan seks dalam kamar mandi) Tom Hansen, tetap saja ia tidak akan
menganggap hubungan dengannya sebagai hubungan yang serius atau diberi istilah
pacaran. Terjadilah kegelisahan dalam hati Tom Hansen, apa artinya ciuman
Summer Finn? Apa artinya tubuh Summer Finn?
Itulah kesedihan yang pertama. Yang kedua, dalam film Malaikat Tanpa
Sayap tokoh utama bernama Fino yang semraut dengan keadaan keluarga yang
miskin, ayah-ibunya cerai, adik kandungnya kecelakaan, dan pacarnya yang sakit
kanker jantung. “Dalam hidup, nggak ada jaminan buat terus hidup bahagia. Nggak
ada kepastian buat apa pun. Setiap orang bisa keluar dari kotak rasa nyamannya.”
Kata hati Fino.
Barangkali orang-orang terdekat kita, saya dan Anda pernah mengalami
kesedihan dan sangat “menggalau” sekali kesedihan itu. Seolah-olah sebuah
perjuangan, harapan dan doa yang dipanjatkan oleh kita nihil. Baik dalam hal
bisnis, pendidikan, hidup, kuliah, cinta, dan sebagainya. Dan betapa kesedihan
itu usianya amat panjang dijalani. Bahkan, bisa jadi dalam keadaan seperti itu
masih banyak masalah yang bertubi datang, seakan tidak ada kasih sayang dari
Tuhan.
Motif dan ragam yang melatarbelakangi munculnya kesedihan terjadi
secara batin kemudian muncul sebagai gejala yang zhahir. Faktor dari dalam diri
seseorang sangat kuat menyimpan kesedihan dan membentuknya menjadi
gundah-gulana, remuk-redam, carut-marut.
Andai kesedihan itu bisa dilukiskan melalui kanvas—yang mungkin diberi
nama kanvas kesedihan—kemudian si subjek akan memberikan bukti atas
kesedihannya itu kepada si objek. Bukan apa-apa sebenarnya, agar si objek tahu
tentang keadaan hatinya yang sebenarnya. Namun apa daya, ingin hati memeluk
gunung dan apa daya tangan tak sampai. Manusia pada hakikatnya diberi kelebihan
dan kekurangan dan tak dipungkiri manusia ditempeli keterbatasan.
Keterbatasan itulah yang mengekang keinginan, harapan, jiwa manusia
ketika hendak melakukan perbuatan (yang) agar kesedihan itu dapat diatasi dan
terleraikan. Namun, lagi-lagi manusia diliputi keterbatasan. Manusia tidak
bebas.
Manusia antara keterbatasan dan kebebasan merupakan siklus waktu
yang saling bergesekan. Persepsi manusia yang dibatasi dan dikekang jalan
keluarnya agar ia bebas adalah satu: merasa jiwanya tidak terkekang dan bebas.
Itu saja. Jika diri kita dikekang oleh sesuatu yang mengakibatkan tertundanya
meleraikan kesedihan maka perbuatlah jiwa dalam diri manusia menjadi bebas.
“Hanya jiwa yang bebas saja yang menganggap dirinya tidak terkekang. Dan hanya
jiwa tidak bebas saja yang merasa dirinya selalu dikekang.”
Kesedihan oh kesedihan: ia begitu indahnya dan begitu mengerikan.
Andai dan andai hati yang mengalami kesedihan ini kita hadapkan ke wajah
samudra atau laut yang luas, walau dikuras hingga berkali-kali dan dijejali apa
pun bertubi-tubi, tetap saja yang namanya lautan akan menampung segala yang
terbuang. Begitu pula dengan hati jika hanya dihadapkan pada segelas air maka
ia akan tumpah dan meluap bila ada benda yang lebih besar dicelupkan.
Bila ada yang bertanya dan yang bertanya itu adalah orang di antara
sekian yang mengalami kesedihan, “Adakah di suatu tempat, apa pun itu, yang
melebihi kesedihan?” Tentu. Iya, tentu saja ada, yaitu bersyukur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar