Oleh Mawaidi
Tidak di mana-mana, media cetak pengaruhnya tidak seberapa dibanding
orasi kepemimpinan para calon bupati, gubernur, presiden atau jika di ranah
kampus para calon ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), dekan dan rektor. Alih-alih
inisiatif membaca kualitas informasinya, mengapresiasi untuk sekadar mengoleksi
media tersebut saja tidak ada. Tak pelak, di tempat umum akan banyak koran
berserakan, dan ironisnya di kalangan kampus media cetak milik kampusnya
sendiri juga berserakan di mana-mana.
Koran menjadi alat pembungkus nasi itu adalah sisi lain fungsi dari
sebuah media cetak. Namun bila koran berserakan di lorong-lorong, pasar,
stasiun, terminal “sangat amat” memiriskan fenomena demikian bagi rakyat
Indonesia selaku bangsa yang beradab. Lebih mengiris ulu hati lagi jika
fenomena ini terjadi di lingkungan orang-orang yang jelas berpendidikan dan
bermoral tinggi seperti halnya kampus.
Dua alasan yang mungkin bisa mewakili suara hati orang-orang yang
berpendidikan itu, sebut saja mahasiswa, adalah yang pertama karena media cetak
tersebut tidak berbobot baik dari segi kualitas informasinya dan perusahaan yang
memegangnya. Kedua, karena tidak ada selera untuk membaca media tersebut
sehingga akibatnya media cetak yang diberikan secara “cuma-cuma” itu bernasib
hangus di atas tanah.
Urgensi membaca dalam hal ini jadikan sebagai catatan samping
terlebih dahulu. Sebab publik tahu, bila tak ada apresiasi untuk mengoleksinya
berarti fakta tersebut mencerminkan kegiatan membaca menjadi barang langka.
Yang lalu
biarlah berlalu
Menengok sejarahnya, perkembangan pers Indonesia sangat berpengaruh
terhadap bangsa. Evolusi pers bisa dibilang sejak kemerdekaan, pengakuan
kedaulatan, sampai saat ini di masa reformasi semuanya dipengaruhi oleh pers. Namun
sejauh ini, meski perkembangan pers di Indonesia mempunyai masa perkembangan
dari beberapa periode, di mana setiap periodenya mewakili satu masa atau era,
polemik menyangkut pers kerap terjadi hingga ada pembrendelan.
Tahun 1776 bulan Juni media cetak Bataviasche Nuvelles en
Politique Raisonnementen yang terbit
di era kolonial (pada tahun 1744 sampai awal
abad 19) di brendel. Tambahan sejarah perkembangan pers
Indonesia juga terjadi di masa kepemimpinan Soeharto. Saat itu, pers dalam
memuat berita tidak boleh bertentangan dengan pemerintah atau menyinggung
peranan pemerintah.
Banyak opini publik mengatakan pers mengalami kecelakaan sejarah dan
itu menjadi new challenge (tantangan baru) sekaligus bahan evaluasi
terhadap pers masa sekarang. Hingga kecelakaan sejarah yang semestinya disebut
yang lalu biarlah berlalu, dengan adanya virtualisasi penyepelehan pers menjadi
tidak absah. Hal ini dibuktikan dengan kurangnya apresiasi mahasiswa terhadap
media cetak yang terbit di lingkungan kampusnya sendiri.
Mahasiswa is agent
of change?
Lisna Mutia Kartika menuliskan dalam opininya pada Aksara edisi I Ospek (tanggal 6Agustus 2012) bahwa,
menjadi mahasiswa adalah sebuah kehormatan. Kaum mahasiswa menempati posisi
yang cukup istimewa atau diistimewakan oleh masyarakat, baik disadari secara
langsung ataupun tidak langsung. Bagaimana tidak, masyarakat banyak menggantungkan
harapan dan keinginannya pada mahasiswa. Hal ini karena mahasiswa dianggap kaum
muda yang berintelektual tinggi sehingga mampu memberi perubahan yang baik.
Sampai tercetuslah sebuah kalimat yang harus mahasiswa pertanggungjawabkan
yakni agent of change atau agen perubah.
Realitas sosial masyarakat juga mengamini perspektif seperti itu.
Menjadi mahasiswa sudah mampu berpikir dewasa dan mengatasi segala pertimbangan
suatu masalah melalui pikiran dingin dan cerdas. Terlebih adanya organisasi
pergerakan yang menegakkan kesejahteraan masyarakat dari gorong-gorong
kemiskinan. Kemudian berapa banyakkah mahasiswa yang mampu berperan sebagai
agent of change?
Agent of change tidak hanya bisa disandang atau dijadikan gelar
ketika mahasiswa mampu berbuat sesuatu yang bodoh menjadi pintar, miskin
menjadi kaya dan kuno menjadi modern, menggulingkan rezim, atau menjadi
penyalur aspirasi masyarakat. Perubahan tidak serta merta serupa dengan
membalikkan telapak tangan. Agen of change tersebut adalah proses yang dilakukan
dari fase ke fase, dari kecil ke yang besar. Jika melakukan perubahan dengan
cara acuh tak acuh kepada media cetak yang gratis tersebut tidak bisa,
bagaimana bisa menciptakan sosok pribadi yang berkarakter, cendikia dan
toleran?
Mari cari jawaban tersebut dalam benak kita masing-masing dan
tentukan siapa jati diri kita sebagai mahasiswa sebenarnya.
MAWAIDI,
Pimpinan Redaksi Buletin Aksara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar