Label

Jumat, 10 Agustus 2012

JEJAK KEMELUT MEDIA CETAK


Oleh Mawaidi
Tidak di mana-mana, media cetak pengaruhnya tidak seberapa dibanding orasi kepemimpinan para calon bupati, gubernur, presiden atau jika di ranah kampus para calon ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), dekan dan rektor. Alih-alih inisiatif membaca kualitas informasinya, mengapresiasi untuk sekadar mengoleksi media tersebut saja tidak ada. Tak pelak, di tempat umum akan banyak koran berserakan, dan ironisnya di kalangan kampus media cetak milik kampusnya sendiri juga berserakan di mana-mana.
Koran menjadi alat pembungkus nasi itu adalah sisi lain fungsi dari sebuah media cetak. Namun bila koran berserakan di lorong-lorong, pasar, stasiun, terminal “sangat amat” memiriskan fenomena demikian bagi rakyat Indonesia selaku bangsa yang beradab. Lebih mengiris ulu hati lagi jika fenomena ini terjadi di lingkungan orang-orang yang jelas berpendidikan dan bermoral tinggi seperti halnya kampus.
Dua alasan yang mungkin bisa mewakili suara hati orang-orang yang berpendidikan itu, sebut saja mahasiswa, adalah yang pertama karena media cetak tersebut tidak berbobot baik dari segi kualitas informasinya dan perusahaan yang memegangnya. Kedua, karena tidak ada selera untuk membaca media tersebut sehingga akibatnya media cetak yang diberikan secara “cuma-cuma” itu bernasib hangus di atas tanah.
Urgensi membaca dalam hal ini jadikan sebagai catatan samping terlebih dahulu. Sebab publik tahu, bila tak ada apresiasi untuk mengoleksinya berarti fakta tersebut mencerminkan kegiatan membaca menjadi barang langka.

Yang lalu biarlah berlalu
Menengok sejarahnya, perkembangan pers Indonesia sangat berpengaruh terhadap bangsa. Evolusi pers bisa dibilang sejak kemerdekaan, pengakuan kedaulatan, sampai saat ini di masa reformasi semuanya dipengaruhi oleh pers. Namun sejauh ini, meski perkembangan pers di Indonesia mempunyai masa perkembangan dari beberapa periode, di mana setiap periodenya mewakili satu masa atau era, polemik menyangkut pers kerap terjadi hingga ada pembrendelan.
Tahun 1776 bulan Juni media cetak Bataviasche Nuvelles en Politique Raisonnementen yang terbit  di era kolonial (pada tahun 1744 sampai awal abad 19) di brendel. Tambahan sejarah perkembangan pers Indonesia juga terjadi di masa kepemimpinan Soeharto. Saat itu, pers dalam memuat berita tidak boleh bertentangan dengan pemerintah atau menyinggung peranan pemerintah.
Banyak opini publik mengatakan pers mengalami kecelakaan sejarah dan itu menjadi new challenge (tantangan baru) sekaligus bahan evaluasi terhadap pers masa sekarang. Hingga kecelakaan sejarah yang semestinya disebut yang lalu biarlah berlalu, dengan adanya virtualisasi penyepelehan pers menjadi tidak absah. Hal ini dibuktikan dengan kurangnya apresiasi mahasiswa terhadap media cetak yang terbit di lingkungan kampusnya sendiri.

Mahasiswa is agent of change?
Lisna Mutia Kartika menuliskan dalam opininya pada Aksara edisi  I Ospek (tanggal 6Agustus 2012) bahwa, menjadi mahasiswa adalah sebuah kehormatan. Kaum mahasiswa menempati posisi yang cukup istimewa atau diistimewakan oleh masyarakat, baik disadari secara langsung ataupun tidak langsung. Bagaimana tidak, masyarakat banyak menggantungkan harapan dan keinginannya pada mahasiswa. Hal ini karena mahasiswa dianggap kaum muda yang berintelektual tinggi sehingga mampu memberi perubahan yang baik. Sampai tercetuslah sebuah kalimat yang harus mahasiswa pertanggungjawabkan yakni agent of change atau agen perubah.
Realitas sosial masyarakat juga mengamini perspektif seperti itu. Menjadi mahasiswa sudah mampu berpikir dewasa dan mengatasi segala pertimbangan suatu masalah melalui pikiran dingin dan cerdas. Terlebih adanya organisasi pergerakan yang menegakkan kesejahteraan masyarakat dari gorong-gorong kemiskinan. Kemudian berapa banyakkah mahasiswa yang mampu berperan sebagai agent of change?
Agent of change tidak hanya bisa disandang atau dijadikan gelar ketika mahasiswa mampu berbuat sesuatu yang bodoh menjadi pintar, miskin menjadi kaya dan kuno menjadi modern, menggulingkan rezim, atau menjadi penyalur aspirasi masyarakat. Perubahan tidak serta merta serupa dengan membalikkan telapak tangan. Agen of change tersebut adalah proses yang dilakukan dari fase ke fase, dari kecil ke yang besar. Jika melakukan perubahan dengan cara acuh tak acuh kepada media cetak yang gratis tersebut tidak bisa, bagaimana bisa menciptakan sosok pribadi yang berkarakter, cendikia dan toleran?
Mari cari jawaban tersebut dalam benak kita masing-masing dan tentukan siapa jati diri kita sebagai mahasiswa sebenarnya.
MAWAIDI,
Pimpinan Redaksi Buletin Aksara

Tidak ada komentar: