Andrian Eksa |
Dewasa ini, dunia cyber atau dunia internet sudah mulai digemari masyarakat. Baik digunakan untuk pembelajaran, bisnis, ataupun kegiatan lainnya. Begitu juga dengan kesastraan di dunia.
Banyak
kegiatan diskusi dilakukan melalui media internet. Hal ini tentu dikarenakan
adanya jarak yang memisahkan antara masyarakat di belahan dunia yang satu
dengan yang lainnya. Tentu media ini sangat membantu. Melalui media internet,
setiap orang bisa saling mengapresiasi karya orang lain. Tanpa harus bertemu
secara langsung. Inilah yang selanjutnya dikenal dengan istilah e-Sastra.
Di
negara tetangga, Malaysia, keeksisan e-Sastra sudah begitu tinggi. Bahkan sudah
memasuki lembaga pendidikan. E-Sastra sudah menjadi salah satu mata kuliah
ataupun mata pelajaran di Malaysia. Sistem sastra online ini dipelopori oleh
Prof. Dr. Irwan Abu Bakar, seorang sastrawan Malaysia yang sangat memperhatikan
dunia e-Sastra. Bahkan banyak uang yang telah dikeluarkan untuk mengurus web e-Sastra.
Menurut Prof. Irwan—begitu beliau biasa disapa—e-Sastra akan lebih
menguntungkan daripada sastra hardcopy,
yang sering menghasilkan kerugian, terutama dalam finansial. Karena sastra hardcopy, seperti buku, majalah, dll.,
kurang digemari. Namun, bagaimana e-Sastra di Indonesia?
Di
Indonesia sendiri, sudah membludak
grup-grup kepenulisan sastra online. Namun, hal ini tidak terlepas dari yang
namanya bisnis. Banyak orang yang kurang bertanggungjawab, sehingga
memanfaatkan sastra online di Indonesia sebagai media penipuan. Beberapa minggu
yang lalu, ada sebuah perusahaan (S) yang mengadakan sebuah lomba menulis puisi
berhadiah 1 M. Namun, ternyata hal ini hanya sebuah trik penipuan. Untung saja,
para penyair yang sempat terlibat dalam lomba ini, segera mencium bau penipuan
itu.
Selain
banyaknya penipuan, sastra online di Indonesia sering digunakan untuk pencurian
karya. Atau sering kita menyebutnya dengan plagiarisme. Benar saja, dengan adanya internet,
kita bebas mengambil apa pun yang ada di dalamnya. Karena tidak ada aturan
tentang hal itu. Meski ada UU yang melindungi karya seseorang, tapi kalau karya
itu online, apa bisa dilacak? Mungkin bisa, tapi kalau karya itu adalah karya
orang baru, belum terkenal di ranah sastra, belum pernah dibaca orang lain, apa
kita punya bukti untuk melindungi karya kita?
Beberapa
hal inilah yang menyebabkan masyarakat Indonesia phobia terhadap e-Sastra. Padahal, Negara-negara lain sudah
menjadikan e-Sastra sebagai bidang baru dalam ranah sastra. Lalu, apa Negara
kita akan terus tertinggal? Bagaimana peran pemerintah terhadap hal ini? Apa
sastra sudah masuk dalam deretan program kerja Negara Indonesia? Sudahlah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar