Label

Kamis, 13 November 2014

E-SASTRA DAN TEROR-TEROR DI INDONESIA

Andrian Eksa |


Dewasa ini, dunia cyber atau dunia internet sudah mulai digemari masyarakat. Baik digunakan untuk pembelajaran, bisnis, ataupun kegiatan lainnya. Begitu juga dengan kesastraan di dunia.

Banyak kegiatan diskusi dilakukan melalui media internet. Hal ini tentu dikarenakan adanya jarak yang memisahkan antara masyarakat di belahan dunia yang satu dengan yang lainnya. Tentu media ini sangat membantu. Melalui media internet, setiap orang bisa saling mengapresiasi karya orang lain. Tanpa harus bertemu secara langsung. Inilah yang selanjutnya dikenal dengan istilah e-Sastra.

Di negara tetangga, Malaysia, keeksisan e-Sastra sudah begitu tinggi. Bahkan sudah memasuki lembaga pendidikan. E-Sastra sudah menjadi salah satu mata kuliah ataupun mata pelajaran di Malaysia. Sistem sastra online ini dipelopori oleh Prof. Dr. Irwan Abu Bakar, seorang sastrawan Malaysia yang sangat memperhatikan dunia e-Sastra. Bahkan banyak uang yang telah dikeluarkan untuk mengurus web e-Sastra. Menurut Prof. Irwan—begitu beliau biasa disapa—e-Sastra akan lebih menguntungkan daripada sastra hardcopy, yang sering menghasilkan kerugian, terutama dalam finansial. Karena sastra hardcopy, seperti buku, majalah, dll., kurang digemari. Namun, bagaimana e-Sastra di Indonesia?

Di Indonesia sendiri, sudah membludak grup-grup kepenulisan sastra online. Namun, hal ini tidak terlepas dari yang namanya bisnis. Banyak orang yang kurang bertanggungjawab, sehingga memanfaatkan sastra online di Indonesia sebagai media penipuan. Beberapa minggu yang lalu, ada sebuah perusahaan (S) yang mengadakan sebuah lomba menulis puisi berhadiah 1 M. Namun, ternyata hal ini hanya sebuah trik penipuan. Untung saja, para penyair yang sempat terlibat dalam lomba ini, segera mencium bau penipuan itu.

Selain banyaknya penipuan, sastra online di Indonesia sering digunakan untuk pencurian karya. Atau sering kita menyebutnya dengan plagiarisme. Benar saja, dengan adanya internet, kita bebas mengambil apa pun yang ada di dalamnya. Karena tidak ada aturan tentang hal itu. Meski ada UU yang melindungi karya seseorang, tapi kalau karya itu online, apa bisa dilacak? Mungkin bisa, tapi kalau karya itu adalah karya orang baru, belum terkenal di ranah sastra, belum pernah dibaca orang lain, apa kita punya bukti untuk melindungi karya kita?

Beberapa hal inilah yang menyebabkan masyarakat Indonesia phobia terhadap e-Sastra. Padahal, Negara-negara lain sudah menjadikan e-Sastra sebagai bidang baru dalam ranah sastra. Lalu, apa Negara kita akan terus tertinggal? Bagaimana peran pemerintah terhadap hal ini? Apa sastra sudah masuk dalam deretan program kerja Negara Indonesia? Sudahlah!

Jogja, November 2014

Tidak ada komentar: